Mohon tunggu...
Hendy Adinata
Hendy Adinata Mohon Tunggu... Freelancer - Sukanya makan sea food

Badai memang menyukai negeri di mana orang menabur angin | Email: hendychewadinata@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Indonesia Belum Sungguh-sungguh Merdeka!

17 Agustus 2019   14:13 Diperbarui: 25 Juni 2021   07:10 3101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Indonesia Belum Sungguh-sungguh Merdeka! | SUmber: pacificatrocities.org

Pendeknya mental inlander tidak cocok dimiliki oleh seseorang yang statusnya adalah majikan dan orang-orang merdeka. Memang negara Singapur maju, negara Australia maju, tapi faktanya tidak semua bangsa jajahan Inggris maju, misalnya Zimbabwe dan Burma. Hal ini membantah anggapan yang menyatakan bahwa bangsa jajahan Inggris maju semua.

Bangsa yang maju pastilah bukan bangsa yang terjajah. Mental suka membanding-bandingkan ini jelas tidak sehat malah sebaliknya salah dan tidak patut untuk dipertahankan pada bangsa yang katanya 'sudah merdeka selama 74 tahun'.

Bukan penjajah yang membuat negara jajahan maju (rugi besar), melainkan bangsa yang dijajah itu sendiri yang membuat dirinya maju. Keinginan untuk merdeka membuat bangsa jajahan berjuang dan memanfaatkan kesempatan demi kesempatan untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan. Harusnya visi seperti itu yang menjadi motor penggerak dalam memajukan bangsa, bukan yang terus membanding-bandingkan!

Kedua, banyak anak bangsa yang lebih cinta akan budaya luar daripada budaya yang ada di dalam bangsanya sendiri. 

Ini merupakan krisis terbesar bangsa ini. Anggapan 'orang kuno/ketinggalan zaman', tidak diimbangi dengan kesadaran dan pemahaman mengapa budaya itu harus dilestarikan. Pemerintah dan orang-orang tua sesungguhnya pun tidak terlalu mengerti sehingga tidak dapat berbuat banyak.

Dalam industri hiburan, tiap orang bebas untuk memilih (sebagai penikmat seni) apa yang dianggapnya menarik. Namun, sangat miris ketika jumlah peminat tari kontemporer asal negara tertentu lebih banyak peminatnya dari tari klasik (tari etnis).

Dalam hal seni tari, masyarakat atau pemerintah lebih memilih mementaskan tarian kontemporer karena dianggap lebih mudah dan akrab disbanding tarian klasik yang kaku. Padahal seni tari klasik memiliki makna yang lebih dalam tentang kehidupan dan rasa syukur yang diungkapkan masyarakat lewat tarian, terutama kalangan ningrat.

Saat ini kita dapat jumpai di mana-mana, seorang etnis tertentu lebih akrab dengan budaya negara Korea Selatan, Jepang atau Amerika. Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah dididik tentang budaya sendiri dan lebih banyak menerima budaya luar. Salah siapa?

Perasaan tidak tergantung kepada pihak lain tidak hadir di sektor ini. Masyarakat kita tidak cukup untuk hidup dengan jati dirinya sendiri sehingga masih 'tergantungan' (bukan terbuka, tapi tergantung) kepada sajian dari luar.

Tentu ada yang salah di sini. Budaya etnis sendiri makin terlupakan, sedangkan budaya bangsa lain makin berkembang tanpa kontrol dan lama-kelamaan budaya lokal tersebut akan punah. Bila tidak segera ditanggulangi, mungkin ketakutan ini akan menjadi kenyataan dalam 10 tahun yang akan datang.

Ketiga, masih adanya diskriminasi terhadap etnis/golongan tertentu di tanah air.

Penulis ambil contoh masyarakat etnis Tionghoa. Mungkin mereka yang paling mengerti akan hal ini.

Dalam kehidupan politik, masyarakat etnis Tionghoa selalu di jadikan kambing hitam, isu asing dan 'aseng' kerap kali digoreng dan nyata-nyatanya isu tersebut sangat laku untuk dibeli.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun