Mohon tunggu...
Hendy Adinata
Hendy Adinata Mohon Tunggu... Freelancer - Sukanya makan sea food

Badai memang menyukai negeri di mana orang menabur angin | Email: hendychewadinata@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hari Kematian Orang Tua, Sudah Siapkah?

15 Oktober 2017   08:49 Diperbarui: 15 Oktober 2017   09:28 2078
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di dalam segala jaman, berpisah dengan orang yang dicintai merupakan saat-saat paling mengharukan, paling sedih dan paling tidak diinginkan. Mengapa disebut perpisahan? Sederhananya ya karena ada seseorang yang pergi. Kepergian yang paling panjang dan menyedihkan adalah kematian. Setujukah pembaca dengan kalimat ini?

Setiap manusia menyadari bahwa suatu hari nanti dirinya akan mati, tetapi tak seorang pun tahu kapan persisnya itu terjadi, pada saat dia umur berapa, lagi di mana, sedang apa dan seterusnya. Pengecualian untuk mereka yang dipidana mati (sudah tahu waktu eksekusi), penderita HIV/AIDS atau penyakit mematikan lain yang belum ada obatnya, dan para lansia yang kondisinya sudah payah.

Selain ketidakpastian di atas, saat ini pun manusia terlalu dibuai oleh kesenangan hidup (hedonisme), mereka berlomba-lomba mengumpulkan harta benda dunia, menghalalkan segala cara demi kehormatan setinggi-tingginya, maka manusia cendrung lupa akan dirinya sendiri, lupa akan kesehatannya, lupa akan hidupnya dan lupa bahwa orang-orang di sekitarnya tidak selamanya berada bersama dia. Sampai maut datang ke rumahnya, mereka menjadi terkejut, tercengang, dan menangis menyesali kepergian orang itu. Menangisi karena kepergian seseorang yang terlalu cepat kah?

Penulis pernah berpikir pada waktu penulis masih usia taman kanak-kanak, "Suatu saat kalau kakak yang membantu di rumah (pembantu) telah pergi, bagaimana ya jadinya?" Penulis tidak tahu dapat firasat dari mana, tetapi pikiran semacam itu tiba-tiba muncul. Pikiran ini pun terjawab beberapa minggu kemudian, anak TK ini menangis sejadi-jadinya, tidak menginginkan perpisahan. Sedih sekali karena kakak itu harus pergi. Penulis akui rasa sayang yang terlampau sayang membuat penulis tidak rela kehilangan dia, sampai-sampai ayah pun marah.

Pernah juga penulis memelihara seekor anjing betina, warnanya hitam dengan les warna cokelat dan dipanggil Kubi (nama yang standar lah). Anjing ini kemudian hari mengandung dan melahirkan 6 ekor anak yang lucu-lucu nan menggemaskan. Akhirnya penulis beserta adik mengambil masing-masing 1 anak anjing, yang jantan berwarna cokelat diberi nama Gobi dan yang betina berwarna putih diberi nama Cika. Wah, anak anjing ini gemuk-gemuk karena kami sangat sayang sekali. Porsi makan berdua ini berbeda dari yang lainnya. Di mana sang induk berada, kami selalu membawa 2 ekor kesayangan kami ini untuk disusui sang induk. Pokoknya cinta secinta-cintanya.

Dikarenakan rumah tempat kami memelihara adalah rumah toko, dan malah pernah kejadian seorang pembeli digigit oleh induk anjing kami (waktu itu hujan, dan sang pembeli memakai jaket hitam dan berhelm), maka sangat tidak memungkinkan untuk memelihara anjing di rumah, apalagi dalam jumlah yang tidak sedikit. Maka, anak anjing yang kami pelihara pun tidak diperbolehkan tinggal di rumah karena dinilai terlalu banyak. Oleh seorang bibi yang galak, anjing kami terpaksa kami berikan kepada om untuk menjaga rumahnya yang sedang dalam proses pembangunan, sedang yang lainnya diberikan pada orang lain. Anak anjing kami nanti akan menjaga di rumah om kalau rumahnya sudah jadi. Saat itu anjing kami telah berumur 3 bulan dan gemuk-gemuk, rumah om masih dalam pembangunan.

Dengan tidak rela dan air mata, kami memberikan anak anjing kami. Mereka diangkut dengan mobil pickup dan kami ikut bersamanya. Hampir setiap hari kami pasti mengunjungi anak anjing kami, karena rumah om tidaklah terlampau jauh, masih dapat dijangkau. Jika melihat kami datang, cepat berdua itu menggonggong, lompat dan lari ke arah kami, kami sangat senang karena rindu kami terobati. Kami akan habiskan hampir 1 jam bermain di situ. Akan tetapi sayang, leher mereka dirantai sehingga mereka tidak bebas. Sampai suatu ketika kami dapati anak anjing kami sakit, berdua itu murung, tidak selincah beberapa minggu yang lalu, buang air besarnya pun beda, "berbusa dan encer" maka kami sedih sekali. Kata orang-orang sih karena diracun. Ada juga yang bilang perlu divaksin karena masih kecil.

Dan hari-hari menyedihkan itu pun datang. Ketika penulis datang pada waktu magrib, penulis tidak melihat Gobi bangun, sedangkan Cika menggong-gong, dan riang. Dengan firasat tidak enak, penulis memegang tubuh Gobi yang terbaring, badannya. dingin, kaku, mulutnya tidak tertutup, tahulah penulis jika Gobi mati! Maka dari itu penulis membawa Gobi pulang dengan sepeda sambil panik dan menangis tidak percaya. Sesampainya di rumah, adik penulis juga menangis, tangisnya kencang sekali, kasihan sekali "Mengapa Gobi yang mati!" sambil mengutuki bibi kami yang galak dan tega merampas anak anjing itu dari kami "Kalau ndak dikasi waktu itu kan sekarang dia ndak mati! Huuuu huuuuu." sedih sekali.

"Anjing itu untuk disuka, bukan untuk disayang!" ini adalah kata-kata bibi galak yang masih penulis ingat sampai saat ini! Singkat cerita mayat Gobi pun dibuang ke sungai, kami tidak diijinkan untuk lihat. Tidak ingin nasib Cika demikian, penulis pun menjemput Cika pulang. Anjing itu senang bukan main sesampainya dirumah, tetapi malang hanya satu jam saja saat itu karena malam itu Cika dibawa paksa oleh bibi galak. Dan seminggu setelah itu, Cika tidak terlihat lagi di tempat om, menurut kakak yang tinggal di situ, Cika mati. Penulis dan adik berduka sekali, kehilangan anjing-anjing kesayangan yang kami rawat dengan cinta kasih tulus seorang kanak-kanak selama 3 bulan. Malah sang induk anjing juga dibunuh pada saat penulis sekeluarga sedang liburan, dan otak pembunuhannya adalah orang yang sama, bibi!

Setiap hari ada saja anak-anak yang dilahirkan dan setiap hari banyak pula orang-orang yang meninggal. Lahir dan mati adalah masalah biasa dalam kehidupan. Meskipun begitu, banyak perbedaan besar dalam menanggapi kedua fenomena ini. Peristiwa kelahiran biasanya mendatangkan sukacita, senyuman lebar, dan ucapan selamat. Sebaliknya kematian umumnya disambut dengan dukacita, air mata, kain kabung, dan ucapan belasungkawa.

Jika pada hewan saja kita bisa sebegitunya sayang dan merasakan kehilangan, apalagi kepada manusia, terlebih kepada keluarga dan orang yang dicintai.

Penuaan adalah proses yang tidak dapat dihindari secara biologis. Kehidupan manusia dimulai dari kelahiran, kanak-kanak, remaja, dewasa dan tua. Semakin bertambah umur seseorang, semakin matang fungsi organ-organ dalam tubuhnya (lahir-dewasa) hingga memasuki fase penuaan maka semua fungsi tadi akan menurun. Ilmu tentang penuaan adalah Gerontologi, yaitu bidang studi yang mempelajari, mencari, dan mengklarifikasi penyebab penuaan. Sedangkan Geriatri adalah bidang studi yang berhubungan dengan masalah penuaan serta cara pengobatannya.

Kategori lanjut usia:

65-74 tahun disebut lanjut usia muda

75-84 tahun disebut lanjut usia menengah

85+ tahun disebut sebagai lanjut usia tua

Hingga abad ke-21, manusia telah mengembangkan berbagai teknologi canggih. Mulai dari mesin bermotor, koneksi internet, ponsel genggam, dsb, sampai pada teknologi di bidang kesehatan. Fasilitas kesehatan, obat-obatan dan sistem sanitasi semakin baik, lengkap dan terjangkau bagi umat manusia. Di tambah perekonomian yang semakin baik dan kebijakan pemerintah yang mulai pro rakyat kecil, maka banyak masyarakat yang merasakan kebaikan (angka usia hidup bertambah). Walaupun terknologi berkembang pesat, kematian tetaplah menjadi suatu realitas yang pasti terjadi, miskin atau kaya, terpelajar atau sederhana, terhormat atau terhina, muda atau tua, pada akhirnya semua akan kembali ke tanah.

Penulis pernah berpikir "Bagaimana kalau 20 tahun yang akan datang, mama meninggal dan tidak bersama aku lagi?" tidak sampai di situ, pertanyaan lain ikut muncul "Bagaimana nanti kalau kakak dan adik meninggal lebih dulu dari aku?"

Setelah papa meninggal pada tahun 2007, pertanyaan di atas ini sewaktu-waktu akan mengusik penulis, memikirkannya saja bisa membuat mata berlinang. "Apakah sudah siap untuk kehilangan mereka?" Masa kanan-kanak yang bahagia, semua anggota keluarga lengkap dan kita satu persatu harus pergi.

Akuilah bahwa kita sering malakukan tawar menawar dengan Tuhan. "Tuhan, jangan ambil mereka sekarang, karena aku belum lulus dari perguruan tinggi." Setelah lulus, "Tuhan, jangan ambil mereka sekarang, tunggulah sampai aku bekerja dan menikah." Setelah bekerja, mapan dan menikah, ternyata belum juga siap. "Tuhan jangan ambil mereka dulu ya, tunggu sampai aku memiliki anak, supaya mama dan papa bisa gendong cucu." Memikirkan kondisi di mana kita sudah punya keluarga, anak dan kemapanan, penulis juga merasa janganlah sekarang, karena belum bisa membahagiakan mereka. Membahagiakan dengan apa, itu juga kurang jelas, apakah mereka bahagia atau tidak, yang jelas Tuhan jangan ambil mereka dulu!

Pada kenyataannya kita tidak akan pernah siap. Percayalah, kita egois untuk masalah ini. Kita tidak memikirkan mereka yang mungkin sudah lelah menjalani hidup ini, kita terlalu memaksa dan memonopoli mereka. Kalau bisa Tuhan ambil orang tua orang lain, tapi jangan ambil punya kita. Bukankah begitu?

Sampai kapan pun kita tidak akan pernah benar-benar siap. Tapi itulah kenyataannya.. Perlu diketahui bahwa mereka bukan dimonopoli oleh diri kita, mereka adalah milih Tuhan sendiri. Tuhan mau ambil kapan saja, itu terserah pada Tuhan. Rencana Tuhanlah yang mengirim mereka pada kita, juga sebaliknya Tuhan mengirim kita kepada mereka.

Sampai di sini, ada dari kita yang tetap tidak bisa menerima jika orang tua kita adalah milik Tuhan atau mulai merasa rela karena mengerti akan hal ini?

Saran penulis adalah, mari kita bersiap diri saja. Saat ini janganlah menyia-nyiakan waktu lagi, perbanyaklah waktu bersama mereka, nikmati saat-saat itu, dan berdoa bagi mereka. Dari pada melarang Tuhan untuk mengambil mereka, lebih baik berdoa agar Tuhan melindungi mereka, memberi kesehatan pada mereka dan doakan agar Tuhan memampukan mereka dalam menyelesaikan tugas mereka terhadap kita di dunia ini. Karena satu hal yang harus diingat, Tuhan lebih baik dan lebih sayang pada mereka "papa mama" daripada kita sayang sama mereka.

Ingatlah, mereka mungkin ingin makan sesuatu yang mereka sukai, atau melakukan sesuatu yang menyenangkan. Sadarilah bahwa mereka akan berat untuk meninggalkan orang yang mereka kasihi di dunia ini. Mereka harus berdamai dengan orang-orang yang pernah menyakiti hati mereka sebelum tiba saatnya mereka berpulang. Temani mereka karena para lansia sering ditinggalkan sendirian. Bantu mereka agar mereka tenang, maka tugas sudah selesai.

"Kematian adalah jembatan yang menghubungkan orang yang mencintai dengan yang dicintainya" Jalaluddin Rumi.

Selamat mempersiapkan dan merelakan. Salam.

Sumber:

Debora K. Tioso, 2010, Pergi Dalam Damai Sejahtera: Mendampingi Orang Yang Menghadapi Kematian, Gloria Graffa, Yogyakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun