Mohon tunggu...
Hendry Syafaruddin
Hendry Syafaruddin Mohon Tunggu... Konsultan - sosial budaya

pemerhati sosial dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kemandirian BUM Desa Bersama dan Pengembangan Kawasan Perdesaan

7 Oktober 2019   12:05 Diperbarui: 7 Oktober 2019   13:44 775
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kopi salah satu komoditi unggulan di Toba Samosir

1. Pengantar

Dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 5 Tahun 2016 tentang Pembangunan Kawasan Perdesaan, Kawasan perdesaan didefinisikan sebagai kawasan perdesaan yang mempunyai kegiatan utama pertanian termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan perdesaan sebagai tempat pemukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.

Tujuan utama pembangunan kawasan perdesaan adalah untuk akselerasi desa dalam membangun, serta meningkatkan skala ekonomi dengan adanya kerjasama antar desa yang memiliki hamparan yang sama akan mampu meningkatkan nilai tambah dari komoditas yang dihasilkan dari kawasan perdesaan tersebut. Pembangunan kawasan perdesaan secara strategis dilaksanakan di Direktorat Jenderal Pembangunan Kawasan Perdesaan (PKP), kebijakan tersebut diturunkan ke Provinsi dan Kabupaten dengan hadirnya Peraturan Bupati dan Surat Keputusan Bupati tentang Pembangunan Kawasan Perdesaan dan di tataran kawasan perdesaan ada kesepakatan kepala-kepala desa mengenai kerjasama antar desa dan kawasan perdesaan.

Dalam Buku Indek Perkembangan Kawasan Perdesaan (IPKP) tahun 2018 disebutkan bahwa, hingga 2019 telah berkembang 40 pusat pertumbuhan yang berada di 60 kabupaten, yang kemudian disebut Kawasan Perdesaan Prioritas Nasional (KPPN). Disamping KPPN tersebut, Kemendesa PDT dan Transmigrasi mendorong daerah untuk mengembangkan Kawasan Perdesaan Prioritas Daerah. Saat ini jumlah Kawasan Perdesaan Prioritas Daerah yang difasilitasi Kementerian Desa PDT dan Transmigrasi dan inisiatif Pemerintah Daerah sekitar 239 kawasan perdesaan.

Dalam penyelenggaraan Pembangunan Kawasan Perdesaan tersebut, Pemerintah Kabupaten/Kota (Bupati/Walikota) diberi kewenangan untuk menetapkan dokumen Rencana Pembangunan Kawasan Perdesaan (RPKP) sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Pemerintahan Kabupaten/Kota juga diberi amanah oleh UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa untuk membuat Peraturan Daerah yang mengatur perencanaan, pelaksanaan pembangunan kawasan perdesaan, pemanfaatan, dan pendayagunaan aset desa yang dimanfaatkan dalam pembangunan kawasan perdesaan.

Pembangunan Kawasan Perdesaan meliputi: 1) Penggunaan dan pemanfaatan wilayah Desa dalam rangka penetapan kawasan perdesaan pembangunan sesuai dengan tata ruang Kabupaten/Kota; 2) Pelayanan yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan; 3) Pembangunan infrastruktur, peningkatan ekonomi perdesaan, dan pengembangan teknologi tepat guna; dan 4) Pemberdayaan masyarakat desa untuk meningkatkan akses terhadap pelayanan dan kegiatan ekonomi. 

2. Empat Tahun Pembangunan Kawasan Perdesaan

Pembangunan kawasan perdesaan telah dimulai tahun 2015, selama 4 (empat) tahun tersebut telah dilaksanakan pembangunan melibatkan multi sektor, multilevel pemerintahan dan multi sumber pendanaan. Tentunya upaya ini sangat menggembirakan karena ada indikasi keberhasilan dan keseriusan dukungan terhadap penyelenggaraan pembangunan kawasan perdesaan tersebut.

Untuk mengukur keberhasilan penyelenggaraan pembangunan kawasan perdesaan, pada tahun 2018 Kementerian Desa PDT dan Transmigrasi yang dituangkan dalam Keputusan Dirjen Pembangunan Kawasan Perdesaan Nomor 46/DPKP/SK/04/2018 tentang Indeks Perkembangan Kawasan Perdesaan (IPKP), telah melakukan pengukuran terhadap IPKP di 60 KPPN dan 15 Kawasan Perdesaan Prioritas Daerah (KPPD).

Dalam IPKP ada 5 dimensi yang digunakan untuk mengukurnya, dimana masing-masing dimensi memiliki sejumlah variabel dan indikator. Adapun kelima dimensi tersebut dimulai dengan pemberian bobot terbesar hingga terkecil adalah dimensi Ekonomi, Kelembagaan, Sosial Budaya, Jejaring Prasarana dan Sarana serta dimensi Lingkungan. Berdasarkan pengukuran lima dimensi tersebut, kawasan perdesaan dapat digolongkan pada 5 status perkembangan yakni;

  • Kawasan Perdesaan Inisiasi adalah Kawasan Perdesaan yang mulai berkembang dicirikan dengan teridentifikasinya seluruh variabel dimensi di kawasan perdesaan, namun kelembagaan kawasan perdesaan belum berjalan dengan baik;
  • Kawasan Perdesaan Konsolidasi adalah Kawasan Perdesaan yang ditandai dengan kelembagaan kawasan perdesaan yang mulai bekerja, komoditas unggulan mulai dikembangkan, infrastruktur telah dibangun, namun belum didukung oleh Pendidikan vokasi;
  • Kawasan Perdesaan Mandiri adalah Kawasan Perdesaan yang kelembagaannya sudah bekerja mengembangkan komoditas unggulan dan produksinya telah dipasarkan dan dipromosikan, namun pengembangan komoditas unggulan belum terpadu dengan sektor lainnya. Produk-produk budaya mulai dimanfaatkan untuk pengembangan komoditas unggulan;
  • Kawasan Perdesaan Berdaya Saing adalah Kawasan perdesaan yang komoditas unggulannya telah berkembang secara terpadu, dipromosikan dan dipasarkan di aras nasional maupun internasional, serta memanfaatkan produk budaya dengan memperhatikan lingkungan dengan baik.

Selain bertujuan untuk mengetahui status perkembangan kawasan, pengukuran juga sebagai dasar untuk intervensi lanjutan yang dibutuhkan. Hasilnya menunjukkan bahwa Indeks Perkembangan KPPN didominasi oleh status konsolidasi yaitu sebanyak 32 KPPN atau sebesar 55%, status mandiri sebanyak 26 KPPN atau sebesar 41,66%, sedangkan status inisiasi dan berdaya saing masing-masing sebanyak 1 KPPN atau sebesar 1,67%.

Sementara itu, Kawasan Perdesaan Prioritas Daerah memiliki status IPKP konsolidasi dan mandiri dengan rincian 12 Kawasan Perdesaan Prioritas Daerah dengan status mandiri atau sebesar 80%, dan sisanya 3 Kawasan Perdesaan Prioritas Daerah memiliki status konsolidasi atau sebesar 20%.

Bila digabungkan jumlah status yang diperoleh lokasi KPPN dengan lokasi KPPD maka status Mandiri mendominasi yakni sebanyak 38 Kawasan Perdesaan, disusul dengan status Konsolidasi 35 Kawasan Perdesaan, status Inisiasi dan Berdaya Saing masing-masing 1 Kawasan Perdesaan. Artinya ini menunjukkan bahwa sebagian besar Kawasan Perdesaan berstatus Mandiri.

3. BUM Desa Bersama Kelembagaan Ekonomi Antar Desa di Kawasan Perdesaan

Di tataran kawasan perdesaan terdapat kerjasama desa-desa dengan kelembagaan ekonominya yang diwujudkan dalam bentuk Badan Usaha Milik Desa Bersama (BUM Desa Bersama). BUM Desa Bersama merupakan pelaku utama dalam penyelenggaraan pembangunan kawasan perdesaan. Hal ini disebabkan karena pengembangan potensi ekonomi Kawasan Perdesaan roh utamanya adalah kerjasama antar-desa. Dalam proses kerjasama, masing-masing desa melakukan pemetaan potensi di wilayahnya. Hal ini dilakukan untuk memberikan gambaran secara menyeluruh agar potensi yang ada akan menjadi sumber-sumber penghidupan masyarakat desa dan Kawasan Perdesaan secara berkelanjutan.

Kesejahteraan serta kemandirian bukanlah hal yang serta-merta terjadi begitu saja, dibutuhkan langkah dan tahapan dalam proses pencapaiannya. BUM Desa Bersama sebagai perwujudan pelembagaan ekonomi Antar-Desa dalam rangka perluasan skala ekonomi yang terintegrasi, saling mendukung dan saling menguatkan yang bermuara pada kesejahteraan dan kemandirian masyarakat desa. BUM Desa Bersama merupakan wujud kehadiran negara dalam bentuk penciptaan kondisi yang bersifat inklusif, artinya melayani seluruh elemen masyarakat desa dengan misi utama meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memperkuat daya saing desa.

Pengembangan BUM Desa Bersama juga menjadi kebijakan Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi, yakni Direktorat Jenderal Pembangunan Kawasan Perdesaan (PKP) dengan turut mendorong pengembangan BUM Desa Bersama di sejumlah kawasan perdesaan melalui berbagai kegiatan yang terintegrasi.

4. Tantangan BUM Desa Bersama dalam Pengembangan Ekonomi Kaawasan

Dalam perjalanannya, saat ini BUM Desa Bersama sebagai basis pengembangan ekonomi antar desa di kawasan perdesaan masih menghadapi berbagai tantangan. Di Jawa Tengah misalnya, dana yang terbatas menjadi salah satu sebab BUM Desa/BUM Desa Bersama tak bergerak. Inisiatif pemberian modal dari pemerintah pusat bahkan bagi sebagian besar desa, dana yang mereka alokasikan untuk mendirikan BUM Desa Bersama masih terlalu kecil sebagai modal bagi lahirnya sebuah usaha yang sustain dan produktif (http://lamonganberdesa.blogspot.com).

Lain lagi di Kabupaten Gunungkidul, Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Gunungkidul mencatat dari 12 desa yang memproklamirkan diri sebagai desa wisata, hanya sekitar 60 persen yang bertahan dan itupun tidak menghasilkan income yang bisa menghidupi aktivitas usahanya.

Berbeda dengan Jawa Tengah, di Kutai Timur bukan hanya masalah dana yang menjerat manajemen BUM Desa/BUM Desa Bersama hingga sulit bernafas tetapi juga karena keterbatasan Sumber Daya Manusia. BUM Desa Bersama yang seharusnya dikelola orang-orang desa yang memiliki kapabilitas mengelola usaha, karena keterbatasan SDM di desa sehingga sulit mencarinya. Dengan demikian pengurus BUM Desa/BUM Desa Bersama harus memiliki kapabilitas untuk mengelola usaha dengan perhitungan atau memiliki perencanaan bisnis yang jelas, mengenai apa dan bagaimana unit usaha akan dikelola.

Selain persoalan tersebut diatas, masih banyak persoalan yang menjadi tantangan bagi BUM Desa Bersama seperti:

  1. Pengembangan produk dan pemasaran

Pengembangan produk dan pemasaran ditenggarai juga menjadi tantangan tersendiri bagi BUM Desa Bersama dalam mengembangkan usahanya. Misalnya saja bagi BUM Desa Bersama yang mendirikan usaha toko grosir. Ibarat membuat toko, kedatangan pengunjung salah satunya ditentukan oleh kelengkapan item produk yang dijual toko itu, selain harga dan sistem pelayanannya. Bagaimana toko bisa menarik pengunjung bila di dalam toko hanya ada beberapa item barang saja yang dipajang di rak.

2.   Perizinan produk atau sertifikasi produk

Sebagian BUM Desa Bersama mengalami hambatan ketika produknya akan dipasarkan pada wilayah yang lebih luas dan harus bersaing dengan produk yang sama dari daerah lain, terutama produk makanan (pangan), karena produk ini mendapatkan pengawasan dari pihak berwenang. Sehingga tidak dapat secara bebas dijual kepada konsumen, tanpa adanya izin yang menyatakan bahwa makanan tersebut aman untuk dikonsumsi masyarakat. Begitupun di mata pembeli, untuk produk ini tentunya mereka akan lebih selektif memilih mana makanan yang layak untuk dibeli. Sebagai pedoman bagi konsumen salah satunya dengan adanya sertifikasi produk makanan oleh Dinas Kesehatan. Dari berbagai sertifikat yang dikeluarkan, khusus untuk produk makanan hasil usaha berskala kecil menengah ada yang disebut dengan perizinan Pangan Industri Rumah Tangga atau disingkat menjadi PIRT. Dengan memiliki serifikasi PIRT, makanan yang dipasarkan telah melewati berbagai tahap uji hingga benar-benar aman untuk dikonsumsi. Bagi pelaku usaha tentunya hal ini akan menjadi poin tersendiri karena produknya tidak akan lagi diragukan oleh pembeli.

Hasil pengukuran IPKP juga menunjukkan bahwa leverage (pengaruh) untuk dimensi ekonomi terhadap kawasan perdesaan yang berstatus Mandiri menemukan bahwa terdapat dua variabel dominan yang memilki nilai sensitivitas tinggi yaitu Sertifikasi/Standarisasi Produk yang dihasilkan dan variabel Pengembangan Jejaring Klaster artinya komoditas unggulan masih perlu dikembangkannya jejaring klaster yang akan mendukung pengembangan komoditas unggulannya karena suatu Kawasan Perdesaan Mandiri yang ideal adalah kawasan perdesaan yang klasternya sudah bekerja mengembangkan komoditas unggulan dan produksinya sudah disertifikasi/standarisasi, dipasarkan dan dipromosikan.

Perpajakan

BUM Desa Bersama merupakan Badan Usaha yang dibentuk dari kekayaan atau harta desa yang dipisahkan seperti halnya dengan BUMN dan BUMD. Dengan demikian, pengenaan pajak untuk BUM Desa Bersama sama dengan pajak Badan secara umum.

Pajak harus memenuhi dua unsur yakni subjek pajak dan objek pajak. Subjek pajak yang dimaksud adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha seperti Perseroan Terbatas, BUMN, BUMD, BUMDes, Firma dan lain sebagainya. Berkaitan dengan hal ini, pengurus BUM Desa Bersama belum mengetahui ketentuan pajak terhadap BUM Desa Bersama, komponen-komponen yang menjadi objek perhitungan pajak dan kewajiban perpajakan lainnya.

Berbagai permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam mengelola dan mengembangkan unit-unit bum Desa Bersama, secara umum dapat dikategorikan ke dalam beberapa issue yang paling sering ditemui, pertama adalah manajemen usaha, pengembangan dan pemasaran produk, permodalan, pelaporan keuangan, perpajakan, sertifkasi /standarisasi produk serta jejaring dan kemitraan dan terakhir  kelembagaan.

Upaya memperkuat BUM Desa Bersama kiranya issue-issue tersebut diatas mendapat perhatian bersama sehingga BUM Desa Bersama menjadi kelembagaan ekonomi antar desa yang mandiri dan berdaya saing dalam pengembangan kawasan perdesaan.

Salam Kawasan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun