Mohon tunggu...
Hendro Adrian
Hendro Adrian Mohon Tunggu... Insinyur - Penggemar 'Dream Theater'

Pecinta cerita 'mountaineering'

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kopassus Penakluk Everest (6 of 8)**

19 Januari 2022   18:55 Diperbarui: 19 Januari 2022   19:36 1167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pratu Asmujiono di puncak Everest (Sumber: merdeka.com, 24 April 2014)

Misirin, meski gerakannya lambat, tapi masih bisa berinteraksi dengan baik. Sebaliknya Asmujiono, meski bergerak lebih cepat, tapi gerakannya sudah menyerupai zombie dan kesadarannya seperti berada jauh di dalam lubuk hatinya.

Sedangkan Iwan, gerakannya lambat dan koordinasinya mulai goyah, tapi mentalnya masih berfungsi dengan baik. Dari ketiganya, saya pikir Misirin adalah yang paling mungkin berhasil mencapai puncak.

Karena kemerosotan mental Asmujiono yang semakin mengkhawatirkan, saya lalu minta Dr. Vinogradski untuk mengawalnya. Saya minta dia untuk secara medis terus mengawasi kondisi Asmujiono.

Bashkirov dan Misirin berjalan paling depan, saya bersama Iwan mengikuti dan paling belakang adalah Asmujiono yang terus dikawal Dr. Vinogradski.

Saya tahu ketiga pendaki ini semuanya ingin mencapai puncak. Tapi - demi suksesnya ekspedisi dan keselamatan team - satu pendaki saja yang akan saya pandu hingga puncak, yang lain kembali turun. Saya akan putuskan siapa yang ke puncak setelah sampai di bagian atas Hillary Step.

Kondisi punggungan menjelang Hillary Step ini terlihat berbeda dengan tahun lalu. Sekarang terlihat salju jauh lebih tebal, membuat jalur tampak seperti lebih curam.

Saat melewati jalur ini, Iwan salah menapakkan kaki dan hampir terjatuh, secara reflek meraih tali pengaman yang sudah usang untuk berpegangan. Ini jelas berbahaya.

Saya lalu menunjukkan cara menggunakan kapak es dengan benar. Di sini saya baru sadar bahwa saya sedang berhadapan dengan orang yang belum pernah melihat salju sampai 4 bulan yang lalu.

Sebenarnya kami sudah merencanakan pemasangan tali baru di bagian jalur ini, sehingga tidak perlu menggunakan kapak es saat melewatinya. Sekarang, saat anak muda pemberani ini berusaha untuk berdiri, saya harus memberikan kursus kilat teknik pemakaian kapak es. Perlahan, Iwan akhirnya bisa berdiri dan kembali ke jalur pendakian.

Dalam hati, saya jadi bertanya apa arti pendakian ini bagi anak-anak muda yang gigih ini. Saya seorang atlet pendaki, saya tidak pernah menganggap puncak gunung sebagai pencapaian yang sepadan dengan nyawa.

Para prajurit ini memiliki pola pikir yang berbeda. Komitmen mereka terhadap tugas sungguh luar biasa, hingga rela mengorbankan nyawa demi keberhasilan mencapai puncak.

Jenazah di Hillary Step

Kami terus beringsut perlahan sepanjang igir punggungan gunung. Sampai di bagian bawah Hillary Step, kami dihadapkan pada pemandangan yang menyedihkan : jenazah seorang pendaki pria.

Jenazah tersebut terbaring dengan lilitan tali di dasar Hillary Step. Cramponnya menghadap ke atas, seolah gerakannya terhenti saat akan naik. Kondisi di sini sangat sulit, saya tidak bisa melihat ciri apapun yang dapat dipakai untuk mengenali jenazah (*). Saya hanya bisa memastikan bahwa celana panjang gunung-nya berwarna biru.

Saya tidak bisa mengurus jenazah ini dengan layak, begitu juga anggota team pendaki yang lain. Untuk itu kami mohon maaf. Kami selalu memberikan rasa hormat yang setinggi-tingginya kepada pendaki yang tidak berhasil pulang. Namun saat itu, saya sendiri sedang bertugas menjaga tiga pendaki Indonesia yang kerlipan cahaya kehidupannya hampir padam. Situasi kami sendiri sedang sulit.

Tidak Ada Yang Mau Menyerah

Setiba di bagian atas Hillary Step, saya berbicara dengan Bashkirov. Saat itu Misirin juga sudah berada di bagian atas Hillary Step. Kami putuskan untuk terus mendaki ke puncak hanya dengan Misirin saja, yang lain kembali turun. Sementara itu Apa dan Dawa sudah sampai puncak. Asmujiono masih merayap di Hillary Step.

Vinogradski mencoba mengajak Iwan turun. Iwan menolak, malah mulai merayap di Hillary Step di belakang Asmujiono. Tidak satupun dari 3 pendaki Indonesia ini yang mau menyerah.

Saya khawatir mereka akan segera kehabisan tenaga. Mendaki ke puncak adalah satu hal, tapi turun adalah hal yang lain. Saat turun, mereka harus mampu begerak dengan kekuatan sendiri, tidak ada yang bisa membantu.

Perlahan, kami tinggal berjarak 100 m dari puncak. Sekali lagi saya minta Iwan dan Asmujiono untuk berhenti, berbalik arah dan turun. Mereka kembali menolak.

Akhirnya kami semua tetap bergerak ke arah puncak. Saya yang berjalan paling depan berpapasan dengan Apa dan Dawa yang sudah turun dari puncak. Saya katakan ke mereka bahwa kemungkinan besar kami akan menggunakan camp-5.

Saya sangat khawatir dengan kondisi Asmujiono dan Iwan yang makin menurun. Mereka benar-benar sudah seperti zombie, tidak bisa berpikir pada hal lain kecuali puncak. Saya ingin mereka kembali saat masih bisa bergerak sendiri. Saya ingin meninggalkan puncak secepat mungkin.

Saya tiba di puncak, Misirin dan Bashkirov berada sekitar 30 m di belakang saya. Ketiga pendaki Indonesia ini, setiap satu langkah selalu diikuti dengan istirahat satu menit. Dengan cara seperti itu, mereka baru akan sampai puncak dalam 30 menit.

Puncak Everest

Sekarang sudah jam 3 sore, sudah sangat terlambat untuk sampai di puncak. Cuaca masih mendukung, tapi saya lihat awan tipis mulai bergerak ke arah puncak.

Tiba-tiba Misirin roboh. Tapi yang mencengangkan, mendadak saya lihat Asmujiono bergerak melewati Misirin. Asmujiono menyerbu puncak dengan gerakan berlari yang diperlambat, seperti dalam adegan film. Dia lalu memeluk tripod yang dipenuhi bendera kecil warna-warni, yang merupakan tanda resmi puncak Everest.

Asmujiono kemudian mengganti kupluk gunung dengan baret militer-nya yang berwarna merah. Menarik bendera yang sudah dia siapkan dari balik jaket gunungnya lalu mengibarkannya. Bendera merah-putih, bendera Indonesia. Saya benar-benar kagum dengan kegigihannya.

Indonesia telah berhasil menapakkan kakinya di puncak Everest, yang diwujudkan dengan penuh perjuangan oleh prajurit hebat ini. Saya lalu mengambil beberapa photo Asmujiono.

Next : Harus Segera Turun

* Agak mengherankan Boukreev tidak mengetahui bahwa jenazah tersebut adalah Bruce Herrod. Mereka berada di Everest pada waktu yang bersamaan saat pendakian Mei 1996. Boukreev bersama team Fischer, Herrod bersama team Afrika Selatan. Silahkan baca 'Into Thin Air'.

** Terjemahan bebas dari 'The Return to Everest' yang dimuat dalam 'The Climb' karya Anatoli Boukreev dan Weston deWalt

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun