Dalam hati, saya jadi bertanya apa arti pendakian ini bagi anak-anak muda yang gigih ini. Saya seorang atlet pendaki, saya tidak pernah menganggap puncak gunung sebagai pencapaian yang sepadan dengan nyawa.
Para prajurit ini memiliki pola pikir yang berbeda. Komitmen mereka terhadap tugas sungguh luar biasa, hingga rela mengorbankan nyawa demi keberhasilan mencapai puncak.
Jenazah di Hillary Step
Kami terus beringsut perlahan sepanjang igir punggungan gunung. Sampai di bagian bawah Hillary Step, kami dihadapkan pada pemandangan yang menyedihkan : jenazah seorang pendaki pria.
Jenazah tersebut terbaring dengan lilitan tali di dasar Hillary Step. Cramponnya menghadap ke atas, seolah gerakannya terhenti saat akan naik. Kondisi di sini sangat sulit, saya tidak bisa melihat ciri apapun yang dapat dipakai untuk mengenali jenazah (*). Saya hanya bisa memastikan bahwa celana panjang gunung-nya berwarna biru.
Saya tidak bisa mengurus jenazah ini dengan layak, begitu juga anggota team pendaki yang lain. Untuk itu kami mohon maaf. Kami selalu memberikan rasa hormat yang setinggi-tingginya kepada pendaki yang tidak berhasil pulang. Namun saat itu, saya sendiri sedang bertugas menjaga tiga pendaki Indonesia yang kerlipan cahaya kehidupannya hampir padam. Situasi kami sendiri sedang sulit.
Tidak Ada Yang Mau Menyerah
Setiba di bagian atas Hillary Step, saya berbicara dengan Bashkirov. Saat itu Misirin juga sudah berada di bagian atas Hillary Step. Kami putuskan untuk terus mendaki ke puncak hanya dengan Misirin saja, yang lain kembali turun. Sementara itu Apa dan Dawa sudah sampai puncak. Asmujiono masih merayap di Hillary Step.
Vinogradski mencoba mengajak Iwan turun. Iwan menolak, malah mulai merayap di Hillary Step di belakang Asmujiono. Tidak satupun dari 3 pendaki Indonesia ini yang mau menyerah.
Saya khawatir mereka akan segera kehabisan tenaga. Mendaki ke puncak adalah satu hal, tapi turun adalah hal yang lain. Saat turun, mereka harus mampu begerak dengan kekuatan sendiri, tidak ada yang bisa membantu.
Perlahan, kami tinggal berjarak 100 m dari puncak. Sekali lagi saya minta Iwan dan Asmujiono untuk berhenti, berbalik arah dan turun. Mereka kembali menolak.