3. Peran Konvensi dalam Konstitusi Indonesia
Konvensi dalam konteks ketatanegaraan adalah suatu kebiasaan atau tradisi yang menjadi bagian integral dari penyelenggaraan negara, walaupun tidak selalu diatur secara tegas dan terperinci dalam undang-undang dasar. Di Indonesia, tradisi-tradisi ini telah ada saat masa kemerdekaan sampai era Orde Baru, walaupun jumlahnya tidak begitu banyak. Namun, sejak saat era reformasi, jumlah konvensi ketatanegaraan cenderung berkurang. Sebagai negara yang menganut sistem hukum civil law, Indonesia memiliki banyak tradisi ketatanegaraan yang tidak selalu tercantum dalam aturan tertulis, seperti praktik di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Meskipun tidak diatur secara kaku dalam hukum tertulis, semua tradisi ini berlangsung secara rutin dan menjadi bagian penting dari proses penyelenggaraan negara (Talatie dan Teniwut, 2023).
Mulai era reformasi menjadikan konvensi ketetanegaraan tergerus oleh formalisasi hukum sebagai hukum tertulis. Hampir seluruh tradisi bernegara di Indonesia saat ini dinormakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Walaupun berada di negara A civil law, keberadaan konvensi seharusnya dapat dipertahankan sebagai salah satu sumber hukum. Di Indonesia sendiri keberadaan konvensi perlahan demi perlahan mulai tergerus, hal ini terjadi karena semua konvensi memiliki kecenderungan dalam peraturan tertulis. Apabila kondisi ini terjadi secara terus menerus, maka konvensi sebagai salah satu sumber hukum akan punah (Gelora, 2019).
Konvensi ketatanegaraan dapat dipahami sebagai kebiasaan atau tindakan ketatanegaraan yang mendasar dan dapat bersifat dinamis dalam pelaksanaan konstitusi. Namun, kendala utama dalam menerapkan konvensi ketatanegaraan adalah tidak adanya sanksi yang mengikat bagi lembaga atau pejabat negara untuk selalu mematuhi kebiasaan ketatanegaraan yang berlaku. Ini berarti bahwa, meskipun konvensi tersebut menjadi bagian penting dari sistem hukum dan penyelenggaraan negara, mereka tidak memiliki kekuatan hukum yang sama dengan undang-undang yang diatur secara resmi negara  Jenis-jenis konvensi dapat dibagi menjadi dua kelompok utama yaitu (Mochtar 2007 dalam Talatie dan Teniwut, 2023) :
- Konvensi Nasional: Konvensi nasional adalah jenis aturan tak tertulis yang berlaku di dalam suatu negara. Pihak yang terlibat dalam konvensi ini adalah warga negara dan pemerintah yang ada di dalam negara tersebut. Konvensi ini mencakup kebiasaan, tradisi, dan praktik yang menjadi bagian integral dari sistem hukum dan penyelenggaraan negara. Contohnya termasuk praktik musyawarah untuk mufakat dalam pengambilan keputusan di tingkat nasional, atau prosedur informal dalam pengangkatan pejabat tertentu.
- Konvensi Internasional: Konvensi internasional adalah jenis aturan tak tertulis yang melibatkan warga negara dan pemerintah dari setiap negara yang turut menandatangani suatu konvensi. Konvensi ini mencakup perjanjian atau kesepakatan formal antara dua negara atau lebih, yang biasanya mengatur hubungan antar-negara dalam berbagai aspek, seperti perdagangan, lingkungan, atau hak asasi manusia. Jumlah negara yang turut serta menandatangani konvensi internasional bisa bertambah dari waktu ke waktu, dan konvensi ini sering kali memiliki mekanisme penegakan dan penyelesaian sengketa antar-negara.
Dengan demikian, konvensi nasional berlaku di dalam suatu negara dan melibatkan warga negara serta pemerintah di dalamnya, sementara konvensi internasional melibatkan negara-negara yang turut menandatangani suatu perjanjian internasional. Konvensi ini memiliki peran yang penting dalam membentuk dan mengatur sistem hukum dan hubungan antar-negara di tingkat nasional maupun internasional.
Contoh konvensi nasional adalah proses pemilihan menteri oleh Presiden dan Wakil Presiden. Meskipun tidak diatur secara eksplisit dalam undang-undang, proses ini menjadi bagian dari kebiasaan atau tradisi dalam sistem pemerintahan Indonesia. Meskipun tidak ada ketentuan tertulis yang mengatur proses ini, pemilihan menteri oleh Presiden dan Wakil Presiden dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan efisien. Pengaturan informal seperti ini sering kali menjadi ciri khas dari konvensi nasional. Meskipun tidak diatur secara formal, proses pemilihan menteri biasanya melibatkan konsultasi dan kesepakatan antara Presiden, Wakil Presiden, dan partai politik atau koalisi politik yang mendukung pemerintahan. Kesepakatan ini mencerminkan praktik demokratis dalam pembentukan kabinet yang mewakili berbagai kepentingan politik di dalam negeri.
4. Sistem Pemerintahan Negara Hukum dalam Konstitusi Indonesia
Konsep negara hukum yang dianut dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun1945 adalah negara hukum yang aktif dan dinamis. Dalam model negara hukum ini, negara berperan sebagai pihak yang aktif dan berorientasi pada pemenuhan serta perwujudan kesejahteraan rakyat sesuai dengan prinsip welvaarstaat (Ridlwan, 2012 dalam Bobi dan Raisah, 2019). Sebagai negara hukum, setiap tindakan yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan warga negara harus sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Hukum, dalam hal ini, adalah hierarki tatanan norma yang memiliki puncak pada konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Selain itu, hukum yang diterapkan dan ditegakkan harus mencerminkan kehendak rakyat, sehingga harus menjamin adanya peran serta warga negara dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan. Hukum tidak dibuat semata untuk menjamin kepentingan segelintir orang yang berkuasa, melainkan untuk menjamin kepentingan seluruh warga negara (Gaffar, 2012 dalam Bobi dan Raisah, 2019). Dengan demikian, prinsip negara hukum yang aktif dan dinamis yang dianut dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menekankan pentingnya keadilan, partisipasi publik, dan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama dalam penyelenggaraan negara.
Dalam konteks Indonesia, istilah "negara hukum" seringkali dipadankan dengan konsep rechtsstaat atau rule of law. Semua konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia menegaskan bangsa Indonesia sebagai negara hukum. Sebelum mengalami perubahan, istilah yang digunakan dalam UUD 1945 adalah "negara yang berdasarkan atas hukum" (rechtsstaat). Selanjutnya, untuk menunjukkan ciri khas bangsa Indonesia, istilah negara hukum sering ditambahkan dengan atribute Pancasila, sehingga sering disebut sebagai negara hukum Pancasila.Prinsip negara hukum yang berkembang pada abad ke-19 cenderung mengarah pada konsep negara hukum formal, yang mana negara hukum dilihat dalam artian yang sempit. Dalam konsep ini, peran dan ruang gerak negara hukum dianggap kecil atau terbatas (Wahyuni, 2022).
Dengan demikian, konsep negara hukum di Indonesia mencakup prinsip-prinsip rechtsstaat atau rule of law, yang menekankan bahwa negara harus tunduk pada hukum, serta prinsip-prinsip Pancasila yang menjadi landasan filosofis bagi negara Indonesia. Konsep ini memastikan bahwa negara bertindak sesuai dengan hukum dan nilai-nilai yang diamanatkan oleh Pancasila, serta menjamin keadilan, kebebasan, dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Negara hukum memiliki sejumlah ciri yang melekat di dalamnya, yaitu (Wahyuni, 2022) :
- HAM terjamin oleh undang-undang
- Supremasi hukum
- Pembagian kekuasaan demi kepastian hukum
- Kesamaan kedudukan di depan hukum
- Peradilan administrasi dalam perselisihan
- Kebebasan menyatakan pendapat, bersikap, dan berorganisasi
- Pemilihan umum yang bebas
- Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.