Namun ambisi berkecamuk. Sisi lain membantah nuraniku untuk bertahan. "Aku bohong saja, nggak bakal ketahuan," bisikan naluri nakal itu menghantuiku.
Belum sempat kuberikan kuputuskan, lantas tiba giliranku.
Kak Hendrika bergerak ke menatapku, lanjut memberondong dengan beberapa soalan. Diselingi dengan pemeriksaan langsung oleh tim kesehatan.
"Dan... ajaib," batinku. Sampai Kak Hendrika berlalu, ia tak menyuguhiku pertanyaan tentang kacamata itu. Sama sekali. Hufffff... aku lolos.
Aku penasaran sekadar ingin tahu, apakah peserta berikutnya sebelah kananku diinterogasi masalah yang sama?
"Kamu pakai kacamata?" Ternyata benar pertanyaan yang sama kudengar. Lanjut Kak Hendrika interogasi dengan hal yang sama.
Aku merasa lolos dari lubang jarum. Padahal nyaris aku sudah nekat untuk berbohong. Tapi, tunggu dulu. Proses berikutnya masih panjang. Ini baru tes kesehatan tahap awal.
Perjalanan panjang menuju pantukhir. Setelah lolos pemilihan 56 personil propinsi di Lubuk Selasih, beberapa minggu berikutnya kami melanjutkan panggilan seleksi di Padang. Hari itu dipilih 5 besar. Kemudian panitia seleksi menyaring kembali. Ujungnya, pantukhir penyisakan 3 pasangan putra dan putri.
Nah, saat pantukhir ini aku dihadapkan lagi pada tes kesehatan. Kembali masuk ruangan. Deg-degan. Dan... masyaAllah beruntung, sampai akhir, sama sekali mataku tak tersentuh pemeriksaan.Â
Bagiku, ini benar-benar keajaiban. Namun, jika Yang Maha Kuasa memberikan ketetapan, hal apapun bisa kejadian.
Ah... Ini hanya seuntai lika-liku cerita tentang kedua bola mataku.