Mohon tunggu...
Hendriko Handana
Hendriko Handana Mohon Tunggu... Freelancer - Orang biasa, menulis suka-suka

Pria berdarah Minang. Seorang family man humble. Hobi membaca, menulis, dan berolahraga lari. "Tajamkan mata batin dengan mengasah goresan pena"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Asrama Tua Menuju Istana Merdeka (9): Dua Bola Mataku

5 Agustus 2019   15:00 Diperbarui: 23 Agustus 2019   20:22 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana kelas pada malam hari. Dari materi karakter sampai seni.

Bagian 9: Dua Bola Mataku

Oleh: Hendriko Handana

"Yoan...", aku berbisik memanggil Yoan, seorang capaska putri asal Tarakan yang duduk di sebelah kananku. "Kamu bisa bantu aku, bacain tulisan di papan tulis itu? Aku nggak bisa lihat, burem."

"Aku juga ndak bisa lihat, Ko. Aku ndak bisa lihat kalau ndak pakai kacamata" sahut Yoan berbisik pelan sambil tangannya setengah menutup mulut. Berusaha merahasiakan pembicaraan.

"Oya? Benarkah?" selidikku.

Aku surprise. Ternyata ada rekan lain berkacamata selainku.

"Iya, waktu seleksi aku lepas kacamata. Syukurnya nggak ketahuan," jawab Yoan sambil membenarkan poni rambut pirang legendarisnya itu.

"Aku juga pakai kacamata. Minus satu seperempat," lanjutku. "Bahkan lolos Paskibraka terasa begitu beruntung. Aku nggak nyangka, dengan mata minus aku bisa lolos sampai tahap ini."

Itu pembicaraan kami saat mengikuti sesi kelas malam di ruang kelas, tidak jauh dari Asrama. Kelas yang kerap bikin mata menjadi berat. Ngantuk. Akibat, ditiup dinginnya AC setelah kegiatan fisik seharian.

~~~

Aku berkacamata sejak duduk di MTsN kelas satu, tepatnya catur wulan kedua. Duduk di bangku barisan paling belakang, menyadarkanku bahwa mataku tak sejernih kawan-kawanku. Melihat cewek cantik pun burem saat itu. Ah... deritaku.

Sejak memulai proses seleksi di tingkat kota, bagiku, pemeriksaan kesehatan mata adalah momok yang begitu menakutkan. Betapa tidak, salah satu syarat menjadi Paskibraka adalah memiliki kesehatan yang mumpuni. Dengan mata minus satu seperempat, membaca huruf dan angka di papan tulis, sama sekali aku tak mampu.

Mengikuti seleksi di tingkat kota, mau tak mau aku lepas kacamata itu. Beruntung, panitia tak satupun mengenalku. Jadi aman, sangat kecil kemungkinan rahasia bisa ketahuan.

Beruntung di tingkat kota tak ada seleksi kesehatan. Mataku pun lolos dari pemeriksaan.

Mengikuti tes lanjutkan di propinsi kutemui dua kali pemeriksaan kesehatan. Pertama saat proses seleksi awal di Lubuk Selasih, sebuah daerah berhawa dingin di Kabupaten Solok. Di sini proses seleksi berlangsung paling ketat. Seratusan siswa/siswi dari 15 kabupaten/kota di Sumatera Barat, dipilih 56 orang sebagai Paskibraka propinsi. Kedua, saat seleksi pantukhir (pemantauan akhir) di Padang setelah masuk sebagai 3 pasangan kandidat utusan nasional.

Seleksi tahap awal, aku nyaris gagal. Persis pada tes kesehatan.

Lima orang kandidat masing-masing masuk secara bergantian. Cek fisik, kesehatan, dan postur dilakukan di dalam sebuah kamar tertutup.

"Wa'ang pakai kacomato yo? (Kamu pakai kacamata ya?)", tiba-tiba pertanyaan Kak Hendrika, seorang pelatih kawakan bersuara berat, pada seorang peserta seleksi yang berdiri di sebelah kiriku.

"Siap. Tidak, Kak", ia membantah.

"Mangaku se lah, kaliliang mato waang tu itam bekas kacomato. (Mengaku saja, keliling matamu hitam bekas kacamata). Nggak usah bohong," suara Kak Hendrika mulai sinis.

"Biarlah... mungkin seleksi ini yang akan menghentikan langkahku," bisikku sendiri dalam hati.

Namun ambisi berkecamuk. Sisi lain membantah nuraniku untuk bertahan. "Aku bohong saja, nggak bakal ketahuan," bisikan naluri nakal itu menghantuiku.

Belum sempat kuberikan kuputuskan, lantas tiba giliranku.

Kak Hendrika bergerak ke menatapku, lanjut memberondong dengan beberapa soalan. Diselingi dengan pemeriksaan langsung oleh tim kesehatan.

"Dan... ajaib," batinku. Sampai Kak Hendrika berlalu, ia tak menyuguhiku pertanyaan tentang kacamata itu. Sama sekali. Hufffff... aku lolos.

Aku penasaran sekadar ingin tahu, apakah peserta berikutnya sebelah kananku diinterogasi masalah yang sama?

"Kamu pakai kacamata?" Ternyata benar pertanyaan yang sama kudengar. Lanjut Kak Hendrika interogasi dengan hal yang sama.

Aku merasa lolos dari lubang jarum. Padahal nyaris aku sudah nekat untuk berbohong. Tapi, tunggu dulu. Proses berikutnya masih panjang. Ini baru tes kesehatan tahap awal.

Perjalanan panjang menuju pantukhir. Setelah lolos pemilihan 56 personil propinsi di Lubuk Selasih, beberapa minggu berikutnya kami melanjutkan panggilan seleksi di Padang. Hari itu dipilih 5 besar. Kemudian panitia seleksi menyaring kembali. Ujungnya, pantukhir penyisakan 3 pasangan putra dan putri.

Nah, saat pantukhir ini aku dihadapkan lagi pada tes kesehatan. Kembali masuk ruangan. Deg-degan. Dan... masyaAllah beruntung, sampai akhir, sama sekali mataku tak tersentuh pemeriksaan. 

Bagiku, ini benar-benar keajaiban. Namun, jika Yang Maha Kuasa memberikan ketetapan, hal apapun bisa kejadian.

Ah... Ini hanya seuntai lika-liku cerita tentang kedua bola mataku.

(bersambung...)

Silakan simak cerita berseri lengkapnya di:

https://www.kompasiana.com/tag/atmim

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun