Aku berkacamata sejak duduk di MTsN kelas satu, tepatnya catur wulan kedua. Duduk di bangku barisan paling belakang, menyadarkanku bahwa mataku tak sejernih kawan-kawanku. Melihat cewek cantik pun burem saat itu. Ah... deritaku.
Sejak memulai proses seleksi di tingkat kota, bagiku, pemeriksaan kesehatan mata adalah momok yang begitu menakutkan. Betapa tidak, salah satu syarat menjadi Paskibraka adalah memiliki kesehatan yang mumpuni. Dengan mata minus satu seperempat, membaca huruf dan angka di papan tulis, sama sekali aku tak mampu.
Mengikuti seleksi di tingkat kota, mau tak mau aku lepas kacamata itu. Beruntung, panitia tak satupun mengenalku. Jadi aman, sangat kecil kemungkinan rahasia bisa ketahuan.
Beruntung di tingkat kota tak ada seleksi kesehatan. Mataku pun lolos dari pemeriksaan.
Mengikuti tes lanjutkan di propinsi kutemui dua kali pemeriksaan kesehatan. Pertama saat proses seleksi awal di Lubuk Selasih, sebuah daerah berhawa dingin di Kabupaten Solok. Di sini proses seleksi berlangsung paling ketat. Seratusan siswa/siswi dari 15 kabupaten/kota di Sumatera Barat, dipilih 56 orang sebagai Paskibraka propinsi. Kedua, saat seleksi pantukhir (pemantauan akhir) di Padang setelah masuk sebagai 3 pasangan kandidat utusan nasional.
Seleksi tahap awal, aku nyaris gagal. Persis pada tes kesehatan.
Lima orang kandidat masing-masing masuk secara bergantian. Cek fisik, kesehatan, dan postur dilakukan di dalam sebuah kamar tertutup.
"Wa'ang pakai kacomato yo? (Kamu pakai kacamata ya?)", tiba-tiba pertanyaan Kak Hendrika, seorang pelatih kawakan bersuara berat, pada seorang peserta seleksi yang berdiri di sebelah kiriku.
"Siap. Tidak, Kak", ia membantah.
"Mangaku se lah, kaliliang mato waang tu itam bekas kacomato. (Mengaku saja, keliling matamu hitam bekas kacamata). Nggak usah bohong," suara Kak Hendrika mulai sinis.
"Biarlah... mungkin seleksi ini yang akan menghentikan langkahku," bisikku sendiri dalam hati.