Mohon tunggu...
Hendriko Handana
Hendriko Handana Mohon Tunggu... Freelancer - Orang biasa, menulis suka-suka

Pria berdarah Minang. Seorang family man humble. Hobi membaca, menulis, dan berolahraga lari. "Tajamkan mata batin dengan mengasah goresan pena"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Asrama Tua Menuju Istana Merdeka (7): Kisah Misteri Asrama Tua

3 Agustus 2019   23:29 Diperbarui: 23 Agustus 2019   20:16 802
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Paskibraka Putra di Depan Asrama Cempaka (dok. pribadi)

Paskibraka Putri di Depan Asrama Amarilis (dok. pribadi)
Paskibraka Putri di Depan Asrama Amarilis (dok. pribadi)

Asrama latihan kami terletak di Taman Wiladatika Cibubur. Asrama satu lantai ini memilili kamar-kamar tersusun memanjang ke belakang. Posisi kamar-kamar ada di kiri dan kanan. Ada satu lorong diantaranya. Terlihat lebih mirip sebuah bangsal di rumah sakit. Ruang rawat inap.

Paling belakang adalah balkon dan kamar mandi. Tempat kami mandi bersama. Upsss... maksudnya mandi bersama, masing-masing di kamar mandi yang berbeda. 🤭

Asrama putra dan putri tentunya tak sama. Kami Paskibraka putra menempati asrama bernama Cempaka. Asrama putri berada di sebelahnya. Amarilis, begitu tertulis pada dinding di depannya.

Bangunan tua ini pastinya sangat bersejarah bagi semua Paskibraka tahun-tahun sebelumnya. Aku tak paham betul asrama ini dipakai sejak tahun berapa. Yang jelas penampakannya begitu tua. Sebelumnya, saat kutonton video latihan Paskibraka tahun 1999 milik Bang Dika, kondisi asrama ini persis sama. Tak ada beda.

Jangan sekali-kali bayangkan asrama Paskibraka itu layaknya hotel bintang lima. Ia lebih persis layaknya barak tentara. Kehidupan dan jadwal kamipun diatur dan di tata sedemikian rupa.

Baik... baik.. aku akan ubah gaya bahasanya. Tak lagi pakai akhiran 'a'.

Ada 13 kamar berjejer dari depan menuju belakang. Sepuluh kamar di gunakan oleh peserta. Satu kamar milik pembina, berada paling depan. Di depan kamar pembina ada ruang tamu tempat kami berkumpul dan berbagi cerita. Satu kamar berfungsi sebagai mushalla. Nah, satu kamar lagi selalu terkunci. Posisinya paling belakang sebelah kanan, persis di samping mushalla. Nah, kamar ini sumber perkara.

Aku tak paham betul, namun kabar angin itu jamak beredar. Kamar ini sengaja selalu dikunci karena tersimpan misteri.

"Jangan sekali-kali diganggu. Di kamar itu dulu ada yang meninggal gantung diri. Makanya sampai sekarang dikunci." Aku dengar berita itu dari beberapa rekan.

"Ah... kalian jangan mengada-ada. Belum tau kebenarannya. Mungkin itu cuma gosip. Ngga ada buktinya," jawabku sok berani, sok bijaksana.

Padahal... urat takutku ciut juga. Di saat malam tiba, aku bepikir sekian kali hendak melewati kamar itu. Sialnya, kamar tersebut mesti dilewati jika hendak ke toilet atau kamar mandi.

Suatu kali, tengah malam buta, aku terbangun dari tidur. Kebelet pipis luar biasa. Malam-malam sebelumnya, aku lebih memilih bertahan sampai pagi sampai azan Subuh tiba. Akan ramai, karena seluruh Paskibraka muslim diwajibkan shalat berjamaah di masjid. Kali ini tidak mungkin kutunggu pagi. Tidak lucu kalau aku mengompol di kasur. Rusak reputasiku di hadapan mereka-mereka itu. Lantas muka kerenku ini akan ditaruh di mana.

Rendra dan Wawan, rekan sekamarku, tertidur dengan pulasnya. Rendra nyenyak dengan ngoroknya. Wawan mungkin bermimpi entah berada di mana.

Aku terpaksa segera keluar kamar sendirian. Perlahan, berjalan ke belakang menuju kamar mandi. Melewati beberapa kamar, kulihat langit-langit asrama yang berloteng tinggi.

Ah... Aku bisa mati kaku kalau tiba-tiba sesosok perempuan berbaju putih terbang melayang di udara. Ataupun jika raksasa hitam tertawa sinis muncul tiba-tiba. Atau... bagaimana kalau ada yang mencolek pundakku dari belakang?

Bangunan mirip bangsa rumah sakit ini bahkan mengingatkanku pada suster ngesot yang terlanjur melekat di kepala. Imaginasiku melihatnya menyereret kaki, ngesot dari balkon ke arah lorong di antara kamar-kamar sunyi.

"Astaghfirullah... itu dongeng belaka," aku tersadar dari lamunan yang tak berguna.

Hmmm... Aku mendengar gesekan-gesekan bunyi. Samar-samar, seperti ada gerakan manusia. Dari arah belakang sumbernya.

"Semoga saja bukan dari kamar kosong itu," aku mulai curiga.

Kulangkahkan kaki perlahan. Berusaha seolah tidak takut apa-apa. Kulihat kamar kosong sebelah belakang. Pintunya tertutup rapat.

"Tak mungkin ada suara dari sana," pikirku.

Kulayangkan pandangan segera pada ruangan di sebelahnya. Ada mushalla. Pintu setengah terbuka. Kuberani diri mengintip, melihat situasi.

"Ah... Indra, Kau rupanya". Kulihat lelaki asal Pontianak itu sedang shalat tahajud dengan khusyuknya. Sendirian. Tak ditemani siapa-siapa.

"Gila. Berani sekali dia. Tengah malam di tempat sepi seperti ini," bisikku dalam hati. Aku salut melihat keberaniannya. Kagum juga melihat taat ibadahnya. Dia pemuda harapan bangsa. 

Aku berlalu. Meninggalkan Indra. Rasa takutku perlahan sedikit hilang, walau tak kunjung sirna. Namun, biarlah bacaan shalat tahajud Indra mengusir setan-setan yang ada di asrama.

"Untung ada kau, Ndra"

Menyelesaikan hajatku, aku kembali ke menuju kamar. Melewati mushalla kulihat Indra sedang berdoa, mata terpejam dalam sekali.

Aku tak sempat mendengar bisik-bisik doanya. Mungkin saja dia berdoa agar berhasil mendapat posisi kelompok 8. Kalau itu, tentu aku takkan mengamini. Persaingan kami berebut posisi sedang seru-serunya. Tentang ini, nanti kita kisahkan di bagian berbeda.

Analisaku paling mendekati, mungkin dia sedang berdoa agar bisa menggaet gebetan seorang Paskibraka putri. Nah, ini patut diduga. Hehe... Ah... sudahlah.

Aku bersegera kembali ke kamar sebelum rasa takutku kembali datang. Lanjut tidur ditemani dengkur Rendra dan mimpi indahnya Wawan.

(bersambung...)

Silakan simak cerita berseri lengkapnya di:

https://www.kompasiana.com/tag/atmim

Berikut foto-foto mutakhir saya bersama beberapa tokoh dalam cerita:

Pertemuan tidak sengaja dengan Indra, pria yang rajin tahajud di asrama. Di tengah kesibukannya menyelesaikan Pendidikan Instruktur Penerbang Angkatan
Pertemuan tidak sengaja dengan Indra, pria yang rajin tahajud di asrama. Di tengah kesibukannya menyelesaikan Pendidikan Instruktur Penerbang Angkatan

Pertemuan di dunia maya dengan sahabat sekamar saya, Wawan, seorang team emergency handal di sebuah perusahaan tambang terkemuka.
Pertemuan di dunia maya dengan sahabat sekamar saya, Wawan, seorang team emergency handal di sebuah perusahaan tambang terkemuka.

Sayangnya, foto pertemuan saya dengan Rendra di penghujung 2011 hilang entah kemana. Kala itu, kami bertemu saat kunjungan kerja saya ke Indramayu.

"Ren, sorry kau belum beruntung"

Saya ganti tampilkan foto Rendra lainnya.

Rendra, utusan Jawa Barat. Seorang TNI AD berdedikasi tinggi.Note: Tolong abaikan saja kumis narsisnya. 😊
Rendra, utusan Jawa Barat. Seorang TNI AD berdedikasi tinggi.Note: Tolong abaikan saja kumis narsisnya. 😊

Suasana lorong asrama. Penuh canda tawa. Namun mengerikan saat malam tiba
Suasana lorong asrama. Penuh canda tawa. Namun mengerikan saat malam tiba

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun