"Ah... kalian jangan mengada-ada. Belum tau kebenarannya. Mungkin itu cuma gosip. Ngga ada buktinya," jawabku sok berani, sok bijaksana.
Padahal... urat takutku ciut juga. Di saat malam tiba, aku bepikir sekian kali hendak melewati kamar itu. Sialnya, kamar tersebut mesti dilewati jika hendak ke toilet atau kamar mandi.
Suatu kali, tengah malam buta, aku terbangun dari tidur. Kebelet pipis luar biasa. Malam-malam sebelumnya, aku lebih memilih bertahan sampai pagi sampai azan Subuh tiba. Akan ramai, karena seluruh Paskibraka muslim diwajibkan shalat berjamaah di masjid. Kali ini tidak mungkin kutunggu pagi. Tidak lucu kalau aku mengompol di kasur. Rusak reputasiku di hadapan mereka-mereka itu. Lantas muka kerenku ini akan ditaruh di mana.
Rendra dan Wawan, rekan sekamarku, tertidur dengan pulasnya. Rendra nyenyak dengan ngoroknya. Wawan mungkin bermimpi entah berada di mana.
Aku terpaksa segera keluar kamar sendirian. Perlahan, berjalan ke belakang menuju kamar mandi. Melewati beberapa kamar, kulihat langit-langit asrama yang berloteng tinggi.
Ah... Aku bisa mati kaku kalau tiba-tiba sesosok perempuan berbaju putih terbang melayang di udara. Ataupun jika raksasa hitam tertawa sinis muncul tiba-tiba. Atau... bagaimana kalau ada yang mencolek pundakku dari belakang?
Bangunan mirip bangsa rumah sakit ini bahkan mengingatkanku pada suster ngesot yang terlanjur melekat di kepala. Imaginasiku melihatnya menyereret kaki, ngesot dari balkon ke arah lorong di antara kamar-kamar sunyi.
"Astaghfirullah... itu dongeng belaka," aku tersadar dari lamunan yang tak berguna.
Hmmm... Aku mendengar gesekan-gesekan bunyi. Samar-samar, seperti ada gerakan manusia. Dari arah belakang sumbernya.
"Semoga saja bukan dari kamar kosong itu," aku mulai curiga.
Kulangkahkan kaki perlahan. Berusaha seolah tidak takut apa-apa. Kulihat kamar kosong sebelah belakang. Pintunya tertutup rapat.