Kudapati ia sedang manggilai ayam jago peliharaannya. Kami berbincang di halaman rumah.
"Om, apakah Engkau bisa mengajarkanku bermain bansi?". Hush..., tentu pembicaraan kami bukan memakai bahasa Indonesia yang baik dan benar macam itu. Kami sama-sama penutur totok bahasa asli daerah Payakumbuh arah ke mudik.
"Untuak kaa dek Riko?" (Untuk keperluan apa?). Jawabnya dengan gaya bicara jelas dan khas, bak pelakon sandiwara.
"Untuk seleksi Paskibraka, Om."
"Haa..., itu yo ebat deh," (Nah, itu hebat) katanya bersemangat.
Ini kisahku saat mulai belajar bermain bansi.
Kupadatkan jadwal macam kursus privat intensif. Waktu padat kurang dari tiga minggu harusnya tidak terlalu singkat. Yang sulit adalah melemaskan jari nan kaku, mengajaknya berkelit mengikuti irama cengkok lagu. Melatih indra pendengaran dan penjiwaan jadi kerumitan tersendiri. Bunyi nada sering peleset jadi tantangan berarti.
"Kiranya ini ndak semudah lagu Ibu Kita Kartini," kesalku.
Sebuah bansi lama milik Om Ad itu dia pinjamkannya untukku. Selama itu juga kubawa kemana-mana. Saat waktu senggang melanda, kududuk bersila dilantai macam pemain saluang handal. Terasa berdendang di atas pentas. Padahal nada-nada itu berserakan entah kemana.
Bansi tua itu terus kupinjam untuk belajar. Sulit mendapatkan alat musik langka ini. Di Payakumbuh tidak satupun beredar di pasaran. Aku bahkan menjelajah sampai Bukittinggi, sebuah kota wisata berjarak 30 km arah timur Payakumbuh. Bersama seorang sahabat, Samsi Hasan, kami mendapatkan alat ini di Pasar Atas Bukittingi dari seorang penjual kaki lima.
Kubeli juga kaset rekaman mirip kepunyaan penjual air akar. Agar pembelajaran makin sempurna, sebuah walkman menyala tiap saat, demi mengikuti irama lagu.