Mohon tunggu...
Hendriko Handana
Hendriko Handana Mohon Tunggu... Freelancer - Orang biasa, menulis suka-suka

Pria berdarah Minang. Seorang family man humble. Hobi membaca, menulis, dan berolahraga lari. "Tajamkan mata batin dengan mengasah goresan pena"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Asrama Tua Menuju Istana Merdeka (4): Modal "Bansi Palayaran"

22 Februari 2019   18:19 Diperbarui: 23 Agustus 2019   21:38 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://gadangdirantau.com

img-20190222-wa0014-5c6fdc2c6ddcae7030429334.jpg
img-20190222-wa0014-5c6fdc2c6ddcae7030429334.jpg
Oleh: Hendriko Handana

Bagian 4: Modal "Bansi Palayaran"


Malam begitu terang. Wajah rembulan penuh tersingkap di kolong langit tempat ia menetap. Dingin terasa merasuk pori menghantam tulang.


Di sebuah pondok kayu di pinggir baruah bertebing. Pepohonan berbalut rindang. Sesosok pria paruh baya berkumis rimbun meniup bansi seruling. Perlahan dan mengalun merdu. Andai bansi itu makhluk hidup, tentu ia tergelitik menahan geli akibat tusukan rambut di bibir tuannya.


Irama merdu dinikmati seorang remaja. Duduk bersila mendengar seksama. Matanya tak lepas dari garitiak demi garitiak jari seiring cengkok irama. Nada mengalun susul-menyusul, napas bersambung.  Irama 'Bansi Palayaran' menyihir hening mengisi sepi.


Pria paruh baya itu bernama Adri Sandra. Meski hobi bermain bansi, sejatinya ia bukan musisi. Melainkan seorang penulis dan penyair. Itu juga sebabnya paragraf pembuka bagian ini kubuat berhati-hati. Walau tak bakal jua menyaingi tulisan kental seorang penyair. Ia bukan penyair sembarangan, karyanya melincur menembus antologi Asia Tenggara.


Remaja yang duduk bersila itu adalah aku. Seorang buta nada, punya seni secuil tak berjiwa. Tiba-tiba kerasan belajar bermain bansi. Ada apa?


~~~


Sejak keterpilihanku mewakili Payakumbuh untuk seleksi propinsi, semua persiapan kujalani. Ada materi belajar bersama dengan tim dan materi persiapan masing-masing. Materi bersama utamanya teori dan praktek baris-berbaris, kemampuan fisik, penampilan hiburan kelompok, etika Paskibraka, dan wawasan Paskibraka. Materi persiapan masing-masing diantaranya kemampuan bahasa Inggris dan kesenian. Nah, satu materi terakhir ini yang membuatku bingung bukan kepalang.


Dari dulu aku memang penikmat seni, namun jiwa terlalu kaku untuk menggeluti dunia ini. Pengalaman tari gelombang di masa SD, bukan jaminan. Gerakan-gerakan tari yang 'mengancam' kegagahperkasaan pinggang dan badan, itupun aku sudah lupakan. Jika memaksa bernyanyi, tentu suaraku akan merusak keberadaan dunia hiburan. Tidak enak didengar, hanya pantas kubawakan di panggung kamar mandi. 

Bermain drama bisa jadi salah satu pilihan. Satu hal, keberhasilanku dua kali memerankan karakter antagonis di drama sekolah bisa saja kutampilkan. "Tapi sama sekali tidak menarik untuk kuunjukkan", pikirku. Terus saja kuputar otak untuk apa yang mesti kupersiapkan.


Suatu sore di sekolah kami, jam pelajaran usai. Aku belum bergegas pulang. Masih ada keperluan. Aku duduk di lobi sekolah menghadap jalanan kecil beraspal. Jalan ini membentang memisah dua kelurahan, Balai Nan Duo dan Tanjung Gadang.


Sesosok penjual 'aia aka' bergerobak dorong berjalan perlahan. Kita Indonesia-kan 'air akar' meski tidak tepat, terasa mengganjal. Air akar adalah sejenis cincau khas berwarna hijau yang dipadu dengan air asam atau santan dengan manisan gula aren. Tentu nikmat bukan? Jenis ini adalah peringkat kedua favoritku di kala dahaga menyerang. Peringkat satu yang memikatku adalah es tebak di Pokan Sotu dan Pokan Komih, tak jauh dari rumah kami. Tapi, cerita ini bukan tentang jenis minuman itu.


Penjual air akar membawa musik berbunyi merdu. Rekaman kaset yang diputar mendendangkan suara musik bansi, sebuah alat musik tiup khas Minang sejenis seruling terbuat dari bambu berjenis khusus.


Sebagai sesama alat musik tiup, saluang tentu lebih jamak terdengar. Nah..., dua alat ini mirip berganding-ganding. Saluang memiliki empat lubang. Bambu dibuat bolong ujung ke ujung. Agar dapat menemukan bunyi, iya mesti ditiup dari ujung dengan sudut tiup yang pas sehingga menjadi booming. Eh... ngawur. 

Sedangkan bansi, bentuknya lebih pendek. Lubangnya ada tujuh. Enam di sisi atas, satu lagi di bawah. Salah satu ujung dibuat lancip. Bansi gampang ditiup, segampang seruling plastik yang dijual di pasaran. Jika Anda mengaku berdarah Minang tentunya mengetahui dua alat musik ini.

Gambar Bansi Sumber: www.silontong.com
Gambar Bansi Sumber: www.silontong.com

Gambar SaluangSumber: www.silontong.com
Gambar SaluangSumber: www.silontong.com

Suara khas musik bansi mengantarkan lamunanku agak jauh menuju pemandangan sawah menghampar luas diiringi keliling pegunungan. Terselip rumah gadang berdiri kokoh, didampingi dua bangunan rangkiang kiri kanan, penyimpan padi di kala panen. 

Tiba-tiba aku sadar tertegun. Lamunanpun buyar. Pedagang air akar berlalu. Namun alunan bansi masih terngiang di telinga, merasuk di sanubari. Ah, ngga usah lebay.


"Nah, ini petunjuk," pikirku.


Aku teringat beberapa bulan lalu. Om Ad, sapaanku terhadap penyair Adri Sandra, pernah memamerkan kemampuannya bermain bansi. Sepertinya menarik jika aku kuasai barang 1 atau 2 alunan nada untuk keperluan seleksi. Tentu aku akan raih poin bagus, terkesan menguasai alat musik Minang Kabau.


Satu hari berlalu. Aku mendatangi rumahnya, tak genap tiga menit bersepeda motor dari rumahku.


Kudapati ia sedang manggilai ayam jago peliharaannya. Kami berbincang di halaman rumah.


"Om, apakah Engkau bisa mengajarkanku bermain bansi?". Hush..., tentu pembicaraan kami bukan memakai bahasa Indonesia yang baik dan benar macam itu. Kami sama-sama penutur totok bahasa asli daerah Payakumbuh arah ke mudik.


"Untuak kaa dek Riko?" (Untuk keperluan apa?). Jawabnya dengan gaya bicara jelas dan khas, bak pelakon sandiwara.


"Untuk seleksi Paskibraka, Om."


"Haa..., itu yo ebat deh," (Nah, itu hebat) katanya bersemangat.


Ini kisahku saat mulai belajar bermain bansi.

Kupadatkan jadwal macam kursus privat intensif. Waktu padat kurang dari tiga minggu harusnya tidak terlalu singkat. Yang sulit adalah melemaskan jari nan kaku, mengajaknya berkelit mengikuti irama cengkok lagu. Melatih indra pendengaran dan penjiwaan jadi kerumitan tersendiri. Bunyi nada sering peleset jadi tantangan berarti.


"Kiranya ini ndak semudah lagu Ibu Kita Kartini," kesalku.


Sebuah bansi lama milik Om Ad itu dia pinjamkannya untukku. Selama itu juga kubawa kemana-mana. Saat waktu senggang melanda, kududuk bersila dilantai macam pemain saluang handal. Terasa berdendang di atas pentas. Padahal nada-nada itu berserakan entah kemana.


Bansi tua itu terus kupinjam untuk belajar. Sulit mendapatkan alat musik langka ini. Di Payakumbuh tidak satupun beredar di pasaran. Aku bahkan menjelajah sampai Bukittinggi, sebuah kota wisata berjarak 30 km arah timur Payakumbuh. Bersama seorang sahabat, Samsi Hasan, kami mendapatkan alat ini di Pasar Atas Bukittingi dari seorang penjual kaki lima.


Kubeli juga kaset rekaman mirip kepunyaan penjual air akar. Agar pembelajaran makin sempurna, sebuah walkman menyala tiap saat, demi mengikuti irama lagu.


Hari berlalu, berjalan kian dekat. Besok kami mesti berangkat menuju perjuangan berikutnya. Lubuk selasih menunggu dengan aroma persaingan, begitu ketat. Harapan bergantung, salah satu ada di bansi ini. Padahal, aku baru menguasai satu lagu, hanya Bansi Palayaran.


"Ngga apa-apa itu saja kutampilkan, berulang-ulang biar panjang," cetusku. "Konyol memang. Bukannya fokus urusan baris-berbaris, aku malah sibuk belajar musik."

(bersambung...)

Silakan simak cerita berseri lengkapnya di:

https://www.kompasiana.com/tag/atmim

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun