Hari Sabtu tiba dengan suasana yang sama kelamnya. Hujan pagi yang mengguyur kota semakin mempertebal kabut yang menyelimuti rumah Rendra. Dia duduk di ruang tamu, matanya sesekali melirik ke arah jam dinding. Amira berjanji akan tiba sebelum makan siang, dan meskipun Rendra menantikan kehadirannya, rasa cemas tak kunjung hilang dari benaknya.
Ada sesuatu yang berbeda dari pesan Amira. Ia jarang meminta waktu untuk bicara secara khusus, apalagi dengan nada serius seperti itu. Biasanya, percakapan mereka lebih ringan---tentang kuliahnya, teman-temannya, atau rencananya untuk masa depan. Tetapi kali ini, pesan itu terasa seperti tanda bahwa ada sesuatu yang besar sedang menanti.
Winda masuk ke ruang tamu, rambutnya masih basah setelah mandi. Dia membawa secangkir teh, namun langkahnya lambat, nyaris tanpa suara. Seperti biasanya belakangan ini, kehadirannya tidak membawa kenyamanan. Sebaliknya, setiap gerakan Winda terasa seperti bayangan yang memisahkan mereka lebih jauh.
"Amira bilang dia akan tiba jam berapa?" tanya Winda dengan suara datar, tanpa menatap Rendra.
"Sebelum makan siang," jawab Rendra singkat. Dia berharap pertanyaan itu akan menjadi pembuka percakapan, tetapi seperti biasa, Winda tidak melanjutkan. Dia hanya duduk di kursi, menyesap tehnya tanpa berkata apa-apa lagi.
Rendra ingin sekali bertanya, ingin mengungkapkan kekhawatirannya tentang Amira, tetapi ketegangan di antara mereka membuatnya ragu. Apa pun yang dia katakan sepertinya tidak akan mengubah apa yang sudah terjadi. Winda sudah berada di dunianya sendiri, dan Rendra tidak tahu bagaimana cara untuk menjangkau dirinya lagi.
Beberapa jam kemudian, suara mobil terdengar di depan rumah. Rendra segera bangkit, melangkah menuju pintu depan. Amira keluar dari mobilnya dengan langkah cepat, payung di tangannya melindungi tubuhnya dari hujan gerimis. Wajahnya terlihat serius, tetapi dia tersenyum kecil ketika melihat ayahnya.
"Papa," katanya, memeluk Rendra dengan hangat. Pelukan itu terasa seperti secercah cahaya di tengah kegelapan yang menyelimuti hidupnya. "Maaf kalau aku mendadak. Tapi ada yang harus kita bicarakan."
Rendra mengangguk, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya. "Tentu. Masuk dulu, Papa buatkan teh."
Amira mengikuti ayahnya masuk ke dalam rumah, menurunkan payungnya di teras. Ketika dia masuk, matanya segera bertemu dengan Winda yang masih duduk di ruang tamu. Wajah Winda tetap datar, tetapi ada ketegangan yang terlihat jelas di matanya.
"Hai, Ma," sapa Amira dengan suara pelan. Winda hanya mengangguk kecil, tidak mengatakan apa-apa. Amira melirik ayahnya, seolah mencari petunjuk tentang suasana dingin di antara mereka, tetapi Rendra hanya menggelengkan kepala sedikit, seolah meminta Amira untuk tidak membahasnya.
Setelah Amira duduk, Rendra membawa secangkir teh untuknya. Dia duduk di seberang putrinya, berusaha terlihat tenang meskipun hatinya terus berdebar. "Jadi, ada apa, Amira? Ada yang kamu ingin bicarakan?"
Amira menarik napas dalam, menatap cangkir tehnya untuk beberapa saat sebelum akhirnya berbicara. "Aku ingin tahu... apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini."
Pertanyaan itu membuat suasana semakin tegang. Winda menatap Amira dengan tajam, sementara Rendra terdiam. "Apa maksudmu, Amira?" tanya Winda akhirnya, suaranya lebih tegas dari biasanya.
"Aku tahu ada sesuatu yang tidak beres antara Papa dan Mama," kata Amira, suaranya terdengar serius. "Aku sudah merasakannya sejak beberapa bulan lalu, tapi tidak ada yang pernah bilang apa-apa padaku. Jadi, aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Rendra merasa terjebak. Dia ingin melindungi Amira dari masalah ini, tetapi dia tahu bahwa putrinya sudah cukup dewasa untuk memahami situasi. "Amira, kami sedang mencoba mencari jalan keluar," katanya, berusaha terdengar meyakinkan. "Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."
"Benarkah, Pa?" Amira menatapnya dengan mata yang penuh keraguan. "Karena dari apa yang aku lihat sekarang, kalian berdua seperti orang asing di rumah ini."
Winda menghela napas panjang, menaruh cangkir tehnya di meja dengan sedikit kasar. "Ini bukan urusanmu, Amira. Mama dan Papa akan menyelesaikannya sendiri," katanya, suaranya tegas tetapi penuh dengan ketegangan yang jelas.
"Tapi ini rumahku juga, Ma," jawab Amira dengan suara yang sedikit gemetar. "Aku berhak tahu apa yang terjadi. Aku tidak mau hanya pulang ke rumah untuk menemukan semuanya sudah berantakan."
Rendra ingin menyela, tetapi kata-kata itu tidak keluar. Dia hanya bisa melihat percakapan itu berlanjut, ketegangan antara ibu dan anak yang semakin memanas.
"Amira, ini lebih rumit dari yang kamu kira," kata Rendra akhirnya, suaranya penuh dengan rasa bersalah. "Kami sedang mencoba memperbaikinya, tapi... ini tidak mudah."
Amira menatap mereka berdua dengan tatapan penuh emosi. "Aku hanya ingin kalian jujur, Papa, Mama. Kalau ada sesuatu yang salah, aku ingin tahu. Karena aku tidak bisa pura-pura semuanya baik-baik saja ketika jelas-jelas tidak."
Winda berdiri dari kursinya, wajahnya terlihat lebih tegang dari sebelumnya. "Mama tidak ingin membahas ini sekarang," katanya, berjalan keluar dari ruang tamu tanpa berkata apa-apa lagi.
Amira menunduk, menggenggam cangkir tehnya erat-erat. "Maaf, Pa," katanya pelan. "Aku tidak bermaksud memperburuk keadaan. Tapi aku harus tahu apa yang terjadi."
Rendra menatap putrinya dengan rasa bersalah yang semakin dalam. "Papa mengerti, Amira. Papa akan mencoba menjelaskan... tapi tidak sekarang. Ini terlalu rumit."
Amira mengangguk pelan, tetapi Rendra bisa melihat kekecewaan di matanya. Hari itu berakhir dengan ketegangan yang semakin nyata, sebuah perasaan yang menggantung di udara tanpa jawaban.
Namun, di dalam hati Rendra, ada satu pertanyaan yang terus menghantuinya: Apa yang sebenarnya menyebabkan semua ini? Dan bagaimana dia bisa memperbaikinya sebelum semuanya benar-benar hancur?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H