Mohon tunggu...
Hendri Muhammad
Hendri Muhammad Mohon Tunggu... Wiraswasta - Welcome Green !! Email: Hendri.jb74@gmail.com

... biarlah hanya antara aku dan kau, dan puisi sekedar anjing peliharaan kita

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Bung Towel dalam Antagonisme Sepak Bola Indonesia

15 April 2024   21:17 Diperbarui: 23 April 2024   12:06 1252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Kompas.com

Antagonisme adalah keniscayaan. Kekuatan antagonisme akan berperan saat konflik dengan tokoh protagonis yang dibangun secara perlahan akhirnya tiba di puncak. 

Setelah drama selesai (biasanya happy ending) kita biasanya dapat memilah-milah mana drama yang mampu memainkan emosi penonton dan mana yang sekedar hiburan belaka.

Kekuatan antagonisme dalam meramu konflik akan memberi kita moral cerita; tentang pelajaran-pelajaran hidup yang bisa kita ambil dari cerita yang sedang dikisahkan. Tanpa itu sebuah drama akan menjadi datar dan biasa-biasa saja, sekedar untuk hiburan sesaat sebelum hilang ditelan waktu.

Di tulisan ini aku bukan ingin bercerita tentang dunia perfilman, tapi tentang antagonisme yang dihadirkan oleh Tommy Welly atau Bung Towel dalam drama persepakbolaan kita belakangan ini.

Jika sepak bola kita diibaratkan sebuah drama, dengan beberapa peristiwa yang terjadi sejak Kualifikasi Piala Asia 2023, Piala Asia 2023, lalu Kualifikasi Piala Dunia 2026 yang diawali dengan kekalahan telak dari Irak, diikuti imbang dengan Filipina, kemudian dua kemenangan beruntun dari Vietnam, maka ada plot cerita yang turun naik dimana Bung Towel selalu hadir sebagai tokoh antagonis.

Dinamika konflik yang dimainkan Bung Towel sebagai tokoh antagonis menurutku layak membuat drama sepak bola kita mendapatkan nominasi pemenang Piala Citra.

Pergulatan emosi penonton (baca: netizen) dari drama sepak bola ini secara personal sudah dirasakan oleh Bung Towel; mulai dari rundungan dan ejekan di media sosial, sampai yang sangat disayangkan dan tidak bisa diterima adalah rundungan dan ejekan netizen ke keluarganya.

Pihak yang menghadirkan pertentangan-pertentangan yang memicu konflik harusnya melahirkan perdebatan yang basisnya adalah argumen. Ada proses dialektika di situ. 

Dalam sebuah drama, muatan emosi yang bermain dalam dinamika konflik hanyalah bumbu yang menjadi bagian tak terpisahkan dari drama itu sendiri.

Aku terus terang bersimpati pada Bung Towel; juga sangat respect pada jalan terjal yang dia tempuh dengan konsisten, walaupun sebagai fans timnas aku tegas berdiri di posisi berseberangan, berdiri di gerbongnya para protagonis

Aku berbeda dalam banyak hal dengan Bung Towel, terutama tentang orientasi proses di sepak bola. Bung Towel kerap kali menyatakan bahwa "prestasi" tidak bisa diraih secara instan, butuh proses yang panjang dan milestone pencapaian mulai dari level Asia tenggara, Asia, baru kemudian tingkat Piala Dunia.

Sebenarnya bukan sesuatu yang aneh jika ada seseorang menggunakan paradigma proses untuk menghasilkan sesuatu apalagi kalau kita memandangnya dalam konteks industri. Namun hanya mengacu pada proses di era kompetisi seperti sekarang menurutku sudah kurang relevan.

Orientasi manajemen zaman now harus bisa menjalankan dua hal baik proses maupun hasil secara parallel, secara bersamaan. 

Cara berpikirnya adalah bagaimana mendorong penjualan (hasil) agar industri bisa secara terus menerus membiayai perbaikan dan pengembangan (proses).

Sebaliknya, aspek perbaikan dan pengembangan yang terus dilakukan akan memacu peningkatan kualitas yang pada akhirnya akan mendorong penjualan.

Jadi tantangan para pelaku bisnis di era kompetisi sekarang ini adalah bagaimana bisa terus tampil kompetitif jika masih ingin tetap bertahan.

Kaitannya dengan sepak bola Indonesia, Pak Erick Thohir sebagai Ketua Umum PSSI secara eksplisit sudah menyampaikan bahwa target PSSI selama ia menjabat sampai 2027 adalah berada di level 100 besar dunia. Itu artinya PSSI menghadapi tantangan bagaimana boosting peringkat lebih dari 50 anak tangga untuk mencapai posisi tersebut, lalu bagaimana mempertahankan level sepak bola kita minimal terus bertahan di sana .

Pak Erick dan kita semua pasti menyadari bahwa ekosistem sepak bola yang sudah berjalan di Indonesia akan sulit menghasilkan pemain Tim Nasional yang kuat yang mampu bersaing untuk mencapai target besar tersebut. Itulah alasan mengapa PSSI melaksanakan program naturalisasi yang massif untuk memperkuat timnas.

Idealnya, nama-nama pesepak bola timnas akan mekar bersama dengan prestasi yang akan diraih, menjadikan mereka role model dan idola-idola baru generasi muda kita. Sepak bola tiba-tiba akan melahirkan euforia dan gairah yang tinggi di masyarakat terutama di kalangan anak muda yang tentunya akan meningkatkan nilai komersial sepak bola Indonesia di mata para pebisnis.

Tapi disisi lain, jika prestasi itu bisa dicapai tapi momentumnya tidak diikuti dengan perbaikan pada proses, lantas mau ke mana sebenarnya arah pengembangan sepak bola Indonesia?

Pada salah satu talkshow di kanal Youtube baru-baru ini, jelas sekali bahwa apa yang ingin dilakukan PSSI di bawah kepemimpinan Erick Thohir adalah fokus yang jauh lebih besar pada tim nasional, walaupun Erick juga bicara tentang blueprint sepak bola Indonesia sampai 2045.

Pada titik ini, aku juga harus jujur bahwa jika menggunakan perspektif Bung Towel yang selalu menunjuk Liga 1 sebagai sumber pemain yang mengisi komposisi pemain tim nasional ternyata ada benarnya juga.

Secara teori, kualitas kompetisi profesional domestik akan merepresentasikan juga kualitas tim nasional satu negara. 

Jadi jika PSSI tidak hanya ingin mendongkrak prestasi tapi juga ingin mengembangkan sepak bola Indonesia maka seharusnya pembinaan dan kompetisi harus bisa dijalankan secara parallel..

Aku ingin kita semua berkaca pada sepak bola Vietnam. Dua kekalahan dari Indonesia pada kualifikasi piala dunia 2026 yang berdampak besar bagi sepak bola mereka, mulai dari pemecatan pelatih Troussier hingga penurunan point FIFA terbesar dunia pada periode Maret 2024. 

Tapi tidak hanya itu saja, insan sepak bola Vietnam mulai menyadari satu hal: bahwa kesuksesan pelatih Park Hang-seo telah menyembunyikan fakta bahwa sepak bola Vietnam masih memiliki banyak hal untuk diperbaiki.

Komentator sepak bola Vietnam Vu Quang Huy di surat kabar Thanh Nien mengomentari kekurangan sistem sepak bola Vietnam saat ini dengan mengatakan, "Tidak ada gadis yang dapat menjalani seluruh hidupnya dengan riasan," ujarnya, "tetapi saat ingin memiliki kecantikan abadi Anda harus memiliki kecantikan yang bersumber dari dalam diri Anda sendiri."

Jika menggunakan ungkapan Vu Quang Huy di atas, pertanyaan untuk sepak bola Indonesia adalah mau sampai kapan seluruh komposisi pemain timnas sangat bergantung dari program naturalisasi?

Ah, sudahlah.. Tulisan ini akan ku posting beberapa saat sebelum Kick-off pertandingan Qatar U23 vs Indonesia U23 pada Piala Asia 2024, yang akan menghasilkan drama-drama baru bagi sepak bola kita.

Aku akan menunggu kicauan-kicauan Bung Towel selanjutnya, semoga dia tetap konsisten dalam peran antagonis bagi sepak bola kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun