Mohon tunggu...
Hendri Muhammad
Hendri Muhammad Mohon Tunggu... Wiraswasta - Welcome Green !! Email: Hendri.jb74@gmail.com

... biarlah hanya antara aku dan kau, dan puisi sekedar anjing peliharaan kita

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Antara Mahfud MD, Steve Jobs, dan Visi Pemerintahan Baru 2019

21 April 2019   00:06 Diperbarui: 21 April 2019   00:51 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi jamilazzaini.com

Ada yang sedikit mengganggu pikiranku setelah membaca pernyataan Mahfud MD pada diskusi 'Pilih yang Bersih, Cek Rekam Jejak' di kantor MMD Initiative beberapa hari yang lalu.

Bapak Mahfud mengaku selama ini memang lebih percaya pada rekam jejak daripada visi-misi resmi para calon, karena kandidat banyak yang tak paham tentang visi-misinya dan cenderung banyak bohong.

Sebelumnya, aku ingin mengunggah cerita lama yang tidak pernah usang, untuk memberi gambaran bahwa ada sesuatu yang hebat dalam sebuah visi, yang membuatnya sulit untuk dipinggirkan begitu saja.

***

"Kita semua akan bekerja pada malam hari dan akhir pekan, dan kalau mau, kami akan membagikan pistol untuk Anda yang ingin bunuh diri sekarang." Begitu kata Steve Jobs pada team design Apple, agar segera menyempurnakan project Apple iPhone pertama sebelum diluncurkan.

Begitu banyak hal baru yang berbeda yang diinginkan Jobs, yang saat itu menjabat sebagai CEO Apple, yang kerap membuat karyawannya geleng-geleng kepala. Tapi mereka tahu persis karakter Jobs; apa yang dia inginkan adalah apa yang harus segera dilaksanakan, dengan sempurna tentu saja.

Steve jobs memang seoarang perfeksionis. Tapi bukan itu saja yang membuat seri iPhone perdana yang pertama kali diluncurkan tahun 2007 di San Francisco terasa istimwea dan meledak di pasaran.

Jobs memiliki pandangan yang berbeda, pada saat itu, tentang bagaimana cara seseorang berkomunikasi, menikmati entertainment, melaksanakan pekerjaan-pekerjaan rutin kantoran, dan itu semua coba dia manifestasikan dalam sebuah produk iPhone terbaru.

Sebagian orang mengatakan apa yang dilakukan Jobs adalah revolusi. Jobs memperkenalkan ponsel iPhone yang di dominasi teknologi glass menggunakan layar sentuh, minim tombol dan tanpa papan ketik, padahal saat itu Blackberry yang sedang berada di puncak justru populer dengan papan ketik qwerty-nya.

Bahkan Mike Lazaridis dan Jim Balsillie yang merupakan co CEO BlackBerry meremehkan kedatangan Apple iPhone.

"Sebagus apapun iPhone, ia menghadirkan kesulitan bagi penggunanya. Cobalah mengetik di layar sentuh iPhone, itulah kesulitan yang nyata," kata Balsillie.

Bagi mereka, walau ada beberapa hal positif seperti kemampuan browser yang lebih baik dari Blackberry, keduanya menilai iPhone seperti ponsel mainan. Baterainya dinilai lemah dan keyboard layar sentuh iPhone juga susah digunakan dibandingkan keyboard fisik di BlackBerry.

Namun, beberapa tahun kemudian semua orang baru menyadari bahwa CEO Blackberry saat itu sudah membuat kesalahan fatal. Pemimpin BlackBerry gagal melihat visi Apple bahwa ponsel tidak hanya semata alat komunikasi, namun akan menjadi pusat entertainment dan didukung aplikasi bagus. Tahun 2007 adalah tonggak kejayaan Apple dan cikal bakal kehancuran Blackberry.

Bertahun-tahun kemudian, sejarah mencatat Apple akan menjadi perusahaan teknologi pertama yang memiliki valuasi perusahaan 1 trilliun dollar. Saat ini, Apple berdiri kokoh diantara puing-puing keruntuhan Blackberry.

Visioner, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan karakter seorang Steve Jobs, selain seorang yang perfeksionis tentu saja.

Steve Jobs memiliki pengetahuan, intuisi, dan naluri yang tajam untuk melihat jauh ke masa depan, tentang apa saja kebutuhan-kebutuhan manusia yang muncul akibat perubahan dan perkembangan teknologi, lalu menerjemahkannya dalam bentuk produk baru yang berbeda, menggunakan teknologi yang berbeda, inovasi-inovasi baru yang berbeda, dan produk ini terus dikembangkan dan disempurnakan seiring dengan berjalannya waktu.

Orang menyebut keunggulan Steve Jobs ini sebagai visi (the vision), kemampuan untuk melihat menggunakan apa yang ada dari dalam diri hingga jauh ke masa depan (insight), bukan penglihatan secara visual menggunakan mata (outsight).

***

Kembali pada pernyataan Mahfud MD yang cenderung mengenyampingkan Visi-Misi sebagaimana yang kutulis pada paragraf pembuka. Rasanya aku masih bisa menerima hal ini jika dikaitkan dengan pemilihan anggota legislatif, tapi untuk pilpres? Tentunya tidak.

Statement bahwa rekam jejak lebih dipercaya atau lebih layak dijadikan pegangan dibandingkan dengan visi-misi, dalam konteks pilpres, menurutku kurang mendidik. Kita tidak bisa menafikan rekam jejak, namun jelas kita tidak bisa meminggirkan visi-misi.

Steve Jobs bukanlah orang yang memiliki rekam jejak tanpa cacat, malah sebaliknya. Jobs memiliki karir panjang yang berliku dan kerapkali apa yang ia kerjakan berujung dengan kegagalan. Bahkan ia pernah dipecat dari Apple, perusahaan yang ia dirikan.

Namun, justru kegigihan dan kekeras-kepalaan itulah yang membentuk pengetahuannya, melatih intuisinya, dan mempertajam naluri bisnisnya untuk terus berkembang. Steve Jobs menjadi jauh lebih bernilai karena visinya, bukan karena rekam jejaknya.

Pada satu titik, aku merasa bahwa Pak Mahfud masih harus belajar banyak tentang Strategic Management agar bisa memahami betapa berharganya sebuah visi. Tapi, setelah kurenungi lagi, bisa jadi apa yang dikatakan Pak Mahfud ada benarnya juga.

Iklim politik di Indonesia memang sudah berkembang menjadi lebih personal karena politik identitas sudah jamak dimainkan. Usaha-usaha untuk mengajak masyarakat untuk lebih melihat rekam jejak adalah yang paling realistis dilakukan, ketimbang ajakan untuk mengkritisi program kerja.

Lha, sebagus apapun visi-misi tapi yang menjadi inisiator tidak punya komitment untuk melaksanakannya jika terpilih tentu tidak akan ada gunanya.

Disisi lain, dari pihak capres, cagup, atau cabup, juga terkesan tidak terlalu serius mempersiapkan visi dan misi pemerintahan mereka, karena jujur saja aspek ini tidak cukup kuat untuk secara signifikan memberi mereka insentif elektabilitas.

Menjadi dilematis memang, sementara demokrasi di Indonesia harus terus bergerak maju, masyarakat harus dibuat semakin cerdas dalam menentukan pilihan.

Ada satu jalan tengah, menurutku, yaitu memberi ruang pada visi dan misi setelah pemilihan, setelah pemilu dimenangkan oleh salah satu calon.

Ini bisa jadi moment yang pas, terutama untuk Paslon 01, Jokowi - Ma'ruf, yang sudah unggul berdasarkan versi quick count. Masih ada waktu 1 bulan lebih sampai dengan pengumuman resmi oleh KPU untuk mempertajam visi-misi mereka

Pidato kenegaraan presiden terpilih nanti bisa menjadi moment berharga untuk menghadirkan kembali visi, misi, strategi, dan program-program pembangunan mereka secara utuh. Kalau perlu gaya presentasi Steve Jobs yang fenomenal itu bisa juga diadopsi, misalnya dengan menghadirkan big screen pada background untuk mem-visualisasikan gambaran Indonesia seperti apa yang diinginkan di masa depan dan bagaimana langkah-langkah yang diambil untuk menuju kesana.

Siapapun yang terpilih menjadi presiden, itu harus menjadi kemenangan bagi seluruh rakyat Indonesia. Salam damai.

***

Sumber:

1, 2, 3

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun