Bagi mereka, walau ada beberapa hal positif seperti kemampuan browser yang lebih baik dari Blackberry, keduanya menilai iPhone seperti ponsel mainan. Baterainya dinilai lemah dan keyboard layar sentuh iPhone juga susah digunakan dibandingkan keyboard fisik di BlackBerry.
Namun, beberapa tahun kemudian semua orang baru menyadari bahwa CEO Blackberry saat itu sudah membuat kesalahan fatal. Pemimpin BlackBerry gagal melihat visi Apple bahwa ponsel tidak hanya semata alat komunikasi, namun akan menjadi pusat entertainment dan didukung aplikasi bagus. Tahun 2007 adalah tonggak kejayaan Apple dan cikal bakal kehancuran Blackberry.
Bertahun-tahun kemudian, sejarah mencatat Apple akan menjadi perusahaan teknologi pertama yang memiliki valuasi perusahaan 1 trilliun dollar. Saat ini, Apple berdiri kokoh diantara puing-puing keruntuhan Blackberry.
Visioner, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan karakter seorang Steve Jobs, selain seorang yang perfeksionis tentu saja.
Steve Jobs memiliki pengetahuan, intuisi, dan naluri yang tajam untuk melihat jauh ke masa depan, tentang apa saja kebutuhan-kebutuhan manusia yang muncul akibat perubahan dan perkembangan teknologi, lalu menerjemahkannya dalam bentuk produk baru yang berbeda, menggunakan teknologi yang berbeda, inovasi-inovasi baru yang berbeda, dan produk ini terus dikembangkan dan disempurnakan seiring dengan berjalannya waktu.
Orang menyebut keunggulan Steve Jobs ini sebagai visi (the vision), kemampuan untuk melihat menggunakan apa yang ada dari dalam diri hingga jauh ke masa depan (insight), bukan penglihatan secara visual menggunakan mata (outsight).
***
Kembali pada pernyataan Mahfud MD yang cenderung mengenyampingkan Visi-Misi sebagaimana yang kutulis pada paragraf pembuka. Rasanya aku masih bisa menerima hal ini jika dikaitkan dengan pemilihan anggota legislatif, tapi untuk pilpres? Tentunya tidak.
Statement bahwa rekam jejak lebih dipercaya atau lebih layak dijadikan pegangan dibandingkan dengan visi-misi, dalam konteks pilpres, menurutku kurang mendidik. Kita tidak bisa menafikan rekam jejak, namun jelas kita tidak bisa meminggirkan visi-misi.
Steve Jobs bukanlah orang yang memiliki rekam jejak tanpa cacat, malah sebaliknya. Jobs memiliki karir panjang yang berliku dan kerapkali apa yang ia kerjakan berujung dengan kegagalan. Bahkan ia pernah dipecat dari Apple, perusahaan yang ia dirikan.
Namun, justru kegigihan dan kekeras-kepalaan itulah yang membentuk pengetahuannya, melatih intuisinya, dan mempertajam naluri bisnisnya untuk terus berkembang. Steve Jobs menjadi jauh lebih bernilai karena visinya, bukan karena rekam jejaknya.