Pada satu titik, aku merasa bahwa Pak Mahfud masih harus belajar banyak tentang Strategic Management agar bisa memahami betapa berharganya sebuah visi. Tapi, setelah kurenungi lagi, bisa jadi apa yang dikatakan Pak Mahfud ada benarnya juga.
Iklim politik di Indonesia memang sudah berkembang menjadi lebih personal karena politik identitas sudah jamak dimainkan. Usaha-usaha untuk mengajak masyarakat untuk lebih melihat rekam jejak adalah yang paling realistis dilakukan, ketimbang ajakan untuk mengkritisi program kerja.
Lha, sebagus apapun visi-misi tapi yang menjadi inisiator tidak punya komitment untuk melaksanakannya jika terpilih tentu tidak akan ada gunanya.
Disisi lain, dari pihak capres, cagup, atau cabup, juga terkesan tidak terlalu serius mempersiapkan visi dan misi pemerintahan mereka, karena jujur saja aspek ini tidak cukup kuat untuk secara signifikan memberi mereka insentif elektabilitas.
Menjadi dilematis memang, sementara demokrasi di Indonesia harus terus bergerak maju, masyarakat harus dibuat semakin cerdas dalam menentukan pilihan.
Ada satu jalan tengah, menurutku, yaitu memberi ruang pada visi dan misi setelah pemilihan, setelah pemilu dimenangkan oleh salah satu calon.
Ini bisa jadi moment yang pas, terutama untuk Paslon 01, Jokowi - Ma'ruf, yang sudah unggul berdasarkan versi quick count. Masih ada waktu 1 bulan lebih sampai dengan pengumuman resmi oleh KPU untuk mempertajam visi-misi mereka
Pidato kenegaraan presiden terpilih nanti bisa menjadi moment berharga untuk menghadirkan kembali visi, misi, strategi, dan program-program pembangunan mereka secara utuh. Kalau perlu gaya presentasi Steve Jobs yang fenomenal itu bisa juga diadopsi, misalnya dengan menghadirkan big screen pada background untuk mem-visualisasikan gambaran Indonesia seperti apa yang diinginkan di masa depan dan bagaimana langkah-langkah yang diambil untuk menuju kesana.
Siapapun yang terpilih menjadi presiden, itu harus menjadi kemenangan bagi seluruh rakyat Indonesia. Salam damai.
***
Sumber: