Salju tak kunjung turun di Paris Van Java, padahal saat itu sudah di penghujung bulan Desember. Hanya bule-bule saja yang banyak lalu-lalang di koridor, antara cafe tempatku duduk dengan sisi luar bangunan utamanya.
Aku biasa memandang ke sisi lain yang lebih terbuka dimana rindang dedaunan dari pohon-pohon beringin meneduhi mobil yang berbaris dibawahnya. Udara juga sangat sejuk disana, mungkin karena letaknya yang persis di kaki perbukitan. Tidak terlalu tinggi hingga mudah dicapai dan tidak juga berada di tengah kota Bandung yang hiruk-pikuk.
Aku selalu memilih cafe ini; sebisa mungkin di meja yang sama setiap kali aku bersama istri tiba dari Jakarta. Seperti sudah menjadi rutinitas buatku; setelah mobil kuparkir, aku membantu angkut-angkut barang milik istri, berbasa-basi sebentar dengan pramuniaga toko, kemudian langsung menuju cafe untuk menikmati cangkir demi cangkir kopi.
Sekarang sudah 4 tahun berlalu dan aku tahu tidak ada salju yang turun di Paris Van Java di setiap Desember yang dilewatinya. Hanya bule-bule saja yang banyak berlalu lalang, termasuk turis-turis dari Malaysia, Singapura, dan juga China.
Aku tahu persis karena dulu butik istriku sering mereka kunjungi untuk berbelanja. Terkadang aku heran, mereka bahkan mau membayar harga untuk pakaian yang takkan pernah mereka kenakan. Sekedar untuk oleh-oleh, jawab mereka, saat sekali waktu aku bertanya.
Aku menyukai Paris Van Java salah satunya karena kehadiran mereka, selain karena aku suka suasananya. Klise memang.
Baru-baru ini aku membaca di media tentang senjakala bisnis mal dimana masa depan yang gelap seperti menanti di ujung jalan. Tadinya aku tidak begitu peduli karena aku bukan orang yang ikut merayakan konsumerisme.Â
Namun setelah pikiran membawaku kembali pada ingatan yang mulai lusuh di Paris Van Java, lalu menapaki detail-detailnya satu persatu hingga tidak ada lagi yang tercecer, ya.., rasanya ada sesuatu yang kurindukan dari Paris Van Java. Aku ingin ia selalu ada untuk kusinggahi saat berada di Kota Bandung.
Jika kuingat-ingat lagi, masih ada tempat yang sama berkesan untukku terutama di Jakarta.
Kerapkali aku singgah di satu mal lantaran mereka menata satu tempat terbuka diantara jejeran cafe-cafe lalu mendirikan panggung diatasnya. Hanya satu malam di setiap minggunya mereka mementaskan lagu-lagu The Beatles, dan aku merasa suara vokalis band yang membawakan lagu The Beatles disana lebih merdu dari John Lennon sang vokalis asli; membuatku selalu hanyut, melebur dalam suasana.
***
Terlepas dari itu semua, dari dulu aku selalu ingin memiliki mal-ku sendiri, membangunnya sendiri, dan upacara peletakan batu pertama sudah pernah kulakukan dengan membenamkannya dalam pikiran.
Ditanganku rasanya semua akan berbeda karena aku hanya ingin mengembalikan keberadaan mal seperti pada saat pertama kali ia diciptakan.
Tentu yang pertama kupikirkan adalah Victor Gruen; seorang yang menitikkan air mata saat kematian datang menjemput. Gruen harus menelan kekecawaan karena impian besar yang belum terlaksana harus ikut terkubur bersama jasadnya.
Betapa aku ingin merangkul pundak Gruen lalu membisikkan kata-kata, "Akan kulaksanakan ide-ide itu, Gruen.., dan akan kubangun South Dale Shopping Center yang tak pernah bisa kau wujudkan itu.., di sini..!"
Tentu tidak sama persis dengan apa yang dibayangkan Victor Gruen karena zaman sudah berbeda. Namun hasrat untuk memenuhi kebutuhan ruang komunal, ruang publik, lengkap dengan berbagai fasilitasnya, untuk lebih banyak orang, untuk menghimpun lebih banyak komunitas sosial, dan sebuah tempat yang mampu membuat pengunjung merasa nyaman, itulah yang menjadi semangat utama.
Serupa dengan Gruen, aku tidak perduli dengan simbol-simbol dan icon-icon itu. Tidak akan kubangun sebuah tempat sebagai representasi "kelas menengah", sebagaimana identitas yang mereka sematkan pada sebuah bangunan bernama mal sebelumnya. Bagiku, kelas menengah sudah sirna bahkan sejak runtuhnya Eropa Pertengahan dulu.
Aku hanya akan memberi kebebasan kepada para arsitek, tanpa syarat, termasuk bebas dari belenggu komersialisasi, hingga imajinasi mereka terbang lepas kemanapun yang ia inginkan, dengan liar, lebih jauh dari yang mampu dijangkau oleh pikiran.
Belenggu komersialisasi? Ya, tentu saja. Aku tidak ingin mereka berpikir tentang penyaluran hasrat konsumerisme masyarakat melalui para pedagang yang berjualan disana. Tidak juga memikirkan keberadaan lingkungan komersial disekitar yang membuat mal selama ini hanya menjadi objek penderita bagi penjualan unit-unit apartemen, perumahan, perkantoran, dan lain sebagainya.
Aku ingin mereka menceritakan kisah mereka sendiri, dongeng mereka sendiri, bahkan kalau perlu tragedi mereka sendiri, sebelum mewujudkan representasi fisiknya secara mendetail.
Aku belum bisa membayangkan hasilnya nanti akan seperti apa. Apakah akan seperti sebuah kisah cinta yang agung yang diwujudkan Raja Shah Jehan kepada mendiang istrinya Ratu Mumtaz Mahal, atau bisa juga terbentuk dari usaha merekonstruksi ulang kepingan-kepingan sejarah yang tak lagi utuh, misalnya tentang legenda keindahan The Garden of Eden yang dulu pernah "tergantung" di Babilonia.
Entahlah.., yang aku tahu dari tempat ini nanti semua orang bisa merayakan hari-hari yang menjadi penanda di kehidupan mereka, mengekspresikan kegembiraan mereka bersama siapapun, atau bisa juga menangisi kesedihan mereka yang menyayat hati itu, sendiri.
Kebebasan yang sama berlaku bagi mereka yang hanya datang tanpa perlu alasan; sekedar untuk menikmati secangkir kopi seperti yang biasa kulakukan di sebuah cafe di penghujung Desember, kala aku biasa menunggu salju yang tak kunjung turun.
Salah besar jika ada yang berpikir aku sudah melupakan satu hal penting saat membangun tempat ini. Tidak. Aku tahu hal penting yang dimaksud; aspek bisnisnya, bukan?
Tentu saja aku ingat. Namun, mari kita semua berpikir lagi tentang "kenyamanan", karena buatku rasa nyaman itu bukan tentang segala kemewahan yang tersaji melalui kemegahan arsitektur maupun interior-interior berkilauan lengkap dengan ornamennya yang serba mahal.
Kenyamanan lebih banyak diciptakan oleh suasana. Itulah sebab mengapa aku ingin ada sebuah cerita yang ingin diekspresikan, diilustrasikan dalam detail-detail arsitektur, hingga seolah-olah mengembalikan ingatan orang-orang pada peristiwa yang terjadi di masa lalu mereka, atau menginspirasi mereka pada satu hal yang belum bisa mereka wujudkan, atau sekedar demi rasa nyaman itu sendiri.
Aku yakin, selanjutnya kenyamanan akan sanggup memanipulasi pikiran sebagaimana Paris Van Java telah memanipulasi pikiranku. Dulu semua kebutuhan keseharian kami mulai dari sepatu, berlembar-lembar pakaian, sampai parfum, semua diperoleh dari sana.
Ah.., sudah terlalu panjang aku berhayal, harus segera diakhiri.
Sebagai catatan penutup saja, cerita ini bukan tentang ekonomi kapitalis yang akan memberi ruang lebih besar bagi pemodal untuk memeras hasil keringat orang-orang hingga kering kerontang. Bukan juga tentang konsumerisme membabi-buta yang bisa mencekik leher dan melemahkan send-sendi, hingga membuat orang jatuh dan terkapar.
Bukan. Sama sekali bukan. Buatku, cerita ini hanyalah tentang sebuah tempat dimana sekali waktu aku ingin melewati senja sambil menikmati jingga yang merona itu. Hanya antara aku, imajinasi, dan secangkir kopi, dengan atau tanpa salju. Itu saja.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI