Terlepas dari itu semua, dari dulu aku selalu ingin memiliki mal-ku sendiri, membangunnya sendiri, dan upacara peletakan batu pertama sudah pernah kulakukan dengan membenamkannya dalam pikiran.
Ditanganku rasanya semua akan berbeda karena aku hanya ingin mengembalikan keberadaan mal seperti pada saat pertama kali ia diciptakan.
Tentu yang pertama kupikirkan adalah Victor Gruen; seorang yang menitikkan air mata saat kematian datang menjemput. Gruen harus menelan kekecawaan karena impian besar yang belum terlaksana harus ikut terkubur bersama jasadnya.
Betapa aku ingin merangkul pundak Gruen lalu membisikkan kata-kata, "Akan kulaksanakan ide-ide itu, Gruen.., dan akan kubangun South Dale Shopping Center yang tak pernah bisa kau wujudkan itu.., di sini..!"
Tentu tidak sama persis dengan apa yang dibayangkan Victor Gruen karena zaman sudah berbeda. Namun hasrat untuk memenuhi kebutuhan ruang komunal, ruang publik, lengkap dengan berbagai fasilitasnya, untuk lebih banyak orang, untuk menghimpun lebih banyak komunitas sosial, dan sebuah tempat yang mampu membuat pengunjung merasa nyaman, itulah yang menjadi semangat utama.
Serupa dengan Gruen, aku tidak perduli dengan simbol-simbol dan icon-icon itu. Tidak akan kubangun sebuah tempat sebagai representasi "kelas menengah", sebagaimana identitas yang mereka sematkan pada sebuah bangunan bernama mal sebelumnya. Bagiku, kelas menengah sudah sirna bahkan sejak runtuhnya Eropa Pertengahan dulu.
Aku hanya akan memberi kebebasan kepada para arsitek, tanpa syarat, termasuk bebas dari belenggu komersialisasi, hingga imajinasi mereka terbang lepas kemanapun yang ia inginkan, dengan liar, lebih jauh dari yang mampu dijangkau oleh pikiran.
Belenggu komersialisasi? Ya, tentu saja. Aku tidak ingin mereka berpikir tentang penyaluran hasrat konsumerisme masyarakat melalui para pedagang yang berjualan disana. Tidak juga memikirkan keberadaan lingkungan komersial disekitar yang membuat mal selama ini hanya menjadi objek penderita bagi penjualan unit-unit apartemen, perumahan, perkantoran, dan lain sebagainya.
Aku ingin mereka menceritakan kisah mereka sendiri, dongeng mereka sendiri, bahkan kalau perlu tragedi mereka sendiri, sebelum mewujudkan representasi fisiknya secara mendetail.
Aku belum bisa membayangkan hasilnya nanti akan seperti apa. Apakah akan seperti sebuah kisah cinta yang agung yang diwujudkan Raja Shah Jehan kepada mendiang istrinya Ratu Mumtaz Mahal, atau bisa juga terbentuk dari usaha merekonstruksi ulang kepingan-kepingan sejarah yang tak lagi utuh, misalnya tentang legenda keindahan The Garden of Eden yang dulu pernah "tergantung" di Babilonia.
Entahlah.., yang aku tahu dari tempat ini nanti semua orang bisa merayakan hari-hari yang menjadi penanda di kehidupan mereka, mengekspresikan kegembiraan mereka bersama siapapun, atau bisa juga menangisi kesedihan mereka yang menyayat hati itu, sendiri.