Mohon tunggu...
Hendri Nova
Hendri Nova Mohon Tunggu... -

saya sudah menikah

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Ini Dia Tantangan dan Harapan Hadirnya Ruang Publik di Perkotaan

30 September 2015   21:43 Diperbarui: 30 September 2015   21:43 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Bahagia Makan bersama di Pantai"][/caption]

Akhir-akhir media sosial dihebohkan dengan topik generasi paling bahagia. Katanya sih, generasi paling bahagia itu yang lahir mulai tahun 70-80an.

Ini sedikit penggalan klaim tersebut, "“Berdasar penelitian beberapa psikolog, GENERASI BAHAGIA Itu, generasi kelahiran 1970-1990. Dan itu adalah kami.

Kami adalah generasi terakhir yang masih bermain di halaman rumah yg luas. Kami berlari dan bersembunyi penuh canda-tawa dan persahabatan. Main Petak Umpet, Boy-boynan, gobag sodor, Lompat tali, Masak-masakan, sobyong, jamuran, putri putri Melati tanpa peringatan dari Bpk Ibu. Kami bisa memanfaatkan gelang karet, isi sawo, kulit jeruk, batre bekas, sogok telik mjd permainan yg mengasyikkan.Kami yg tiap melihat pesawat terbang langsung teriak minta uang.

Kami generasi yang ngantri di wartel dari jam 5 pagi, berkirim surat dan menanti surat balasan dg penuh rasa rindu. Dan bla...bla...bla..."

[caption caption="Bermain Air"]

[/caption]

Klaim generasi bahagia oleh generasi 70-90an ternyata sangat sederhana. Satu hal yang terkhusus adalah dunia bermain di lapangan yang luas.

Jika dilihat saat ini, ruang bermain untuk anak memang jadi satu yang sangat mahal. Semua serba disewakan. Mau main, setor uang dulu, baru bisa bergembira dalam bermain.

Di kampung saya saja misalnya, dulu sekitar tahun 80-an, saya dan teman-teman bebas main di tanah lapang belakang rumah. Kami bermain galah, kasti, gim, petak umpek, main sabuik, dan masih banyak lagi.

[caption caption="Main di Pantai"]

[/caption]

Bahkan satu pohon beringin besar yang tumbuh di belakang rumah, menjadikan kami jadi lebih nyaman bermain. Kadang kalau angin kencang, kami bermain kantong plastik terbang.

Namun masa itu kini telah berlalu. Lokasi bermain saya dan teman-teman, kini sudah menjelma jadi rumah tingkat dua yang sangat besar. Pohon beringin tua di belakang rumah kini sudah tidak ada bekasnya lagi. Padahal usianya sudah ratusan tahun, memang sangat disayangkan.

Bahkan lokasi main bola dengan teman-teman di bibir pantai, kini sudah lenyap. Abrasi telah mengambil kebahagian bermain generasi setelah kami. Bahkan setelah dibuatkan grib pantai, warga sekitar mengambil pantai sebagai tempat perumahan. Miris memang.

[caption caption="Kota Tua Jakarta"]

[/caption]

Kini, saya sudah berkeluarga. Anak-anak saya tidak sebahagia dulu lagi. Untuk bermain bola, di komplek saya tak ada lapangan bola. Kadang untuk bermain badminton, anak-anak saya harus bersiteru dengan kendaraan yang lalu lalang di depan rumah. Maklum mereka hanya bisa main di jalan gang depan rumah.

Mau mengajaknya main bola di lapangan, sungguh sangat susah mencarinya. Semua lapangan bola disewakan untuk para pelatih yang melatih generasi bola masa depan.

Anak saya kini sudah belajar main bola, namun seperti anak tetangga, mereka hanya bisa main bola di dunia hayal. Game-game bola, itulah kegemarannya. Memang sangat kasihan dengan generasi yang ada sekarang.

Ruang Publik

Hilangnya ruang publik di tengah-tengah masyarakat, banyak sedikitnya disebabkan oleh pemerintah juga. Tidak adanya ketegasan bagi para pengembang perumahan untuk menyediakan ruang publik bagi warga komplek, menjadi bencana di masa datang.

Komplek disesaki bangunan yang bahkan untuk menanam pohon pun terpaksa harus dalam pot. Masyarakat rela tinggal di rumah tipe Rumah Sangat Sederhana Sempit Sekali Selonjor Saja Susah (RSSSSSSS).

Rumah saja seperti itu, bagaimana dengan ruang publiknya. Paling yang masih disisakan untuk ruang publik dan dibuat pengembang hanya tempat ibadah. Kalau ingin dikembangkan, harus dijadikan berlantai dua. Kalau ingin dilebarkan, terpaksa harus beli dan diruntuhkan beberapa rumah warga.

Akhirnya anak-anak hanya bisa bermain di gang-gang sempit. Jika terlalu semangat menendang bola, bisa-bisa memecahkan kaca jendela tetangga.

Tak jarang sumpah serapah keluar dari mulut pengendara bermotor, karena jalan mereka jadi terganggu. Halaman rumah sangat sempit, sehingga untuk parkir kendaraan saja terpaksa memakan badan jalan gang yang sudah sekarat.

Hebohnya lagi, jika ingin kondangan, tak jarang warga kota memakai badan jalan. Akibatnya, jalan jadi macet, karena warga yang memakai badan jalan untuk kondangan kadang tidak satu, dua saja di hari-hari libur. Pada satu jalan, kadang bisa sampai 4-5 orang kondangan.

Ruang publik yang menjadi hajat hidup warga, seharusnya disediakan oleh pemerintah. Setidaknya minimal untuk 50 rumah disediakan beberapa ruang publik. Baik arena bermain anak, olahraga, ibadah, sampai pada pesta.

Untuk mewujudkan hal ini tentu tidaklah mudah. Karena semua dihadapkan pada untung dan rugi. Jika pemerintah ingin memberikan ruang publik pada warganya, setidaknya terbitkan aturan ketat bagi para pengembang.

Ia baru dibolehkan membangun, jika telah menyediakan ruang-ruang publik bagi warga perumahan. Jika mereka tidak menyediakannya, maka izin untuk membangun jangan pernah dikeluarkan.

Ruang publik tidak hanya akan menjadi area untuk anak-anak, tapi bagi semua warga. Mereka bisa memanfaatkannya untuk berkumpul atau sekedar untuk bersantai.

Ruang publik sendiri seyogianya bukan ruang berbayar, namun gratis bisa dinikmati semua orang. Untuk menjaga kebersihan, hanya dibutuhkan kesepakatan warga, apa harus giliran atau iuran untuk menggaji petugas kebersihannya.

Dari paparan di atas, maka tantangan untuk kehadiran ruang publik di perkotaan itu antaranya :

Pertama, Ketersediaan lahan. Lahan yang disediakan hendaknya minimal bisa mengakomodir atau menampung warga perkotaan, jika mereka ingin berkumpul. Jadi tempatnya setidaknya harus lebih luas.

Agenda-agenda kondangan, setidaknya bisa diadakan di ruang publik sebagai milik bersama. Begitu agenda pertemuan atau peringatan-peringatan hari besar agama atau negara, bisa difokuskan di ruang publik tersebut.

Kedua, pengaturan pemakaian. Karena ruang publiknya sedikit, maka warga harus mau bermusyawarah, jika ada jadwal yang bentrok. Musyawarah ini akan membuat rasa kebersamaan dan rasa menjaga keharmonisan bisa terwujud.

Ketiga, pengaturan jadwal kebersihan. Ruang publik harus terjamin kebersihan dan kenyamanannya. Maka dari itu warga bisa berembuk, apakah pakai sistem giliran atau cukup menyumbang uang untuk menggaji satu atau dua petugas kebersihan.

Harapan pada pemerintah, tentu hendaknya bisa mengembalikan keceriaan generasi sekarang. Jangan sampai mereka hanya mahir bermain di dunia virtual. Mereka harus merasakan juga bermain di dunia nyata.

Ruang publik wajib hadir di perkotaan dan itu harus dijamin pemerintah. Jangan pernah menyepelekan kehadiran ruang publik, karena itu berarti hanya akan membuat generasi yang akan datang, hilang keceriaan masa kecilnya.

Sosialisasi mereka terbatas hanya di dunia maya atau di ujung telepon. Mereka harus bisa bertemu untuk saling bersilaturrahim, melihat dan saling mengenal satu sama lain.

Jangan lagi mereka dibatasi oleh kaca kecil sebagai media untuk bertemu. Mereka harus bisa bertemu dalam dunia nyata, agar rasa kebersamaan antar warga jadi tercipta. Jadi pemerintah melalui Kementerian PUPR hendaknya menjadi ruang publik untuk semua, sebagai prioritas bagi masyarakat perkotaan maupun di desa.

Soalnya tidak hanya masyarakat perkotaan saja yang kehilangan ruang publik, masyarakat pedesaan juga mulai merasakan hal yang sama. Semua untuk kebahagian generasi yang akan datang.

 

 

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun