"Nama saya bukan Bangla!" sergah anak itu.
"Har, bapak kamu kan yang panggil kamu Bangla." Coki menertawakan
Anak itu tampak kesal tapi tak bisa menyanggah. Kemudian ia melirik pada anak yang masih berdiri di seberang saung. "Siapa itu?" tanyanya.
"Indra," jawabnya. Â
"Indra? Oh, yang nggak naik kelas itu?" tanyanya lagi. Coki mengangguk.
Indra berjalan ke arah batu kembali dan duduk. Sepertinya sisa keterkejutannya masih ada. Anak yang disebut bocah bangla itu kemudian berdiri dan mencari sesuatu di dalam saung.
Setelah mendapatkan gulungan tali kenur, orang itu mengikat layangan, kemudian berjalan ke tepi tebing dan menerbangkannya.
"Si bangla mah sero[2]. Orangnya suka main layangan. Jago buatnya juga," ucap Coki. "Kalau kamu bisa menerbangkan layangan nggak, Ndra?" tanyanya kemudian.
Indra menggeleng.
"Kalau belum bisa nanti saya ajari," ujar bocah berkulit cokelat itu. "Asal layangannya beli dari saya," lanjutnya sambil tersenyum dan menaikturunkan alisnya.
Mendengar itu, Indra teringat sesuatu yang menyadarkan siapa bocah bangla itu. Dia anaknya Bu Rahmi yang pernah bekerja di Malaysia. Indra pernah mendengar cerita orang-orang, bahwa bapaknya mengamuk dan langsung menceraikan ibunya setelah dia lahir. Mungkin karena itu juga, dia sering dikucilkan dan jarang terlihat di desa.