Mohon tunggu...
Hendra Wiguna
Hendra Wiguna Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausahawan

Seorang yang hobi menulis, mendaki gunung, dan nonton film. Pertama kali menulis adalah saat ingin mengabadikan momen pendakian Gunung Rinjani dalam bentuk buku yang berjudul "ITINERARY: Menggapai Rinjani" yang tayang di berbagai platform baca tulis. Sudah menerbitkan buku horor thriller dengan judul "Jalur Ilegal". Dan sering mengikuti kompetisi novel dan cerpen.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Layang-Layang Tak Kunjung Terbang

7 Maret 2024   15:36 Diperbarui: 7 Maret 2024   15:38 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siang begitu cerah di langit Desa Sangkan Kidul. Terik cahaya matahari menyinari luasnya persawahan, perkebunan kopi dan sayur-mayur yang terhampar hijau di kaki gunung, di salah satu kampung di Jawa Barat itu.

Kaleng-kaleng bekas yang tergantung pada badan orang-orangan sawah terdengar bising karena terhempas-hempas angin, menambah riuh kicauan burung pipit yang terbang berkelompok dari berbagai arah. Indra, Aep, dan Coki terlihat berjalan di antara persawahan itu masih dengan seragam merah putih.

"Mau ke mana?" tanya Indra yang berjalan paling belakang.

"Hayu, ikut saja weh" ujar Coki.

Mata Indra terus tertuju ke arah depan sambil sesekali melirik jalan tanah di tengah sawah itu. Dia tahu ke arah mana jalur itu akan membawanya: hutan, tempat yang belum pernah dijamahnya selama tinggal di desa.

Ekspresi ketakutan yang mulai terpasang di wajah Indra bukan tanpa sebab. Dirinya sering mendengar tentang mitos adanya jin penghuni hutan di kaki gunung. Bukan hanya itu, beberapa kawan bermainnya dahulu sering bercerita bahwa di sana mereka pernah melihat sosok anak kecil berkulit hitam. Mereka percaya itu adalah anak jin. Isu yang juga Indra percayai.

Satu-satunya hal yang membuat Indra masih mau mengikuti Aep dan Coki adalah matahari yang bersinar terang di atasnya. Pikirnya, mana mungkin ada hantu yang muncul siang bolong. Walaupun kegelisahan itu masih mendera, dan takut sosok itu tiba-tiba menampakan diri, Indra terus berjalan di belakang dua bocah itu.

Setelah melewati sawah dan perkebunan kopi, akhirnya mereka tiba di ujung jalan setapak yang merupakan gerbang hutan.

"Mau ke mana sih ini teh? Apa mau masuk ke sana?" tanya Indra yang mulai ragu.

"Hu'uh, hayu!"

Tanpa pikir panjang lagi dua bocah SD itu berjalan masuk ke semak-semak pohon. Indra yang ragu akhirnya harus rela mengikuti dan mulai berjalan masuk.

Itu adalah pertama kalinya Indra memasuki kawasan hutan. Hatinya benar-benar dilanda ketakutan. Sambil berjalan mengikuti jalan setapak yang sebenarnya tak tampak, Indra sesekali melihat ke arah depan untuk memastikan dirinya tak kehilangan jejak dua kawannya.

Hingga akhirnya, setelah jauh melangkah menelusuri hutan dan tak lama mendaki, mereka tiba di tempat tujuan. Indra menyibak dahan pohon terakhir dan melihat pemandangan yang belum pernah dilihatnya; hamparan sawah, perkebunan, dan pemukiman warga yang terlihat dari atas. Rupanya, Indra sedang berada di salah satu punggung gunung.

"Kelihatan itu nggak, Ndra?" tanya Coki sambil menunjuk ke barat jauh di hadapannya.

Indra yang ditanya langsung mengarahkan pandangan ke tempat yang ditunjuk. Sejauh mata memandang, hanya warna hijau dan biru yang dilihatnya. Namun, setelah matanya menelisik, Indra melihat adanya mobil yang tampak kecil berjalan membelah bukit di seberang sana.

Aep berjalan ke sebuah saung kayu tepi bebatuan, meletakan tas dan duduk di sana, diikuti Coki yang duduk di sampingnya.

"Kamu baru pertama kali ke sini, ya, Ndra?" Tanya Aep.

"Malah saya nggak tahu kalau ada tempat yang seperti ini di kampung kita," ucap Indra sambil berjalan menghampiri dua kawannya. "Apa kalian yang membuat saung ini?" tanyanya lagi agak malu-malu.

"Bukan. Abang saya yang buat. Abang saya juga yang nemu tempat ini. Dulu saya suka diajak sama abang saya main ke sini. Dia sering mengasuh saya, sampai dibawa ke hutan kayak gini," jelas Coki yang lantas tersenyum. "Tapi ini rahasia nya. Jangan sampai ada orang lain yang tahu," ujarnya kemudian.

"Rahasia?"

"Yang tahu hanya abang saya dan trnan-temannya, juga kalian saja."

Indra kemudian berjalan ke arah batu dan duduk di sana. Setumpuk arang dan abu bekas bakaran terlihat di hadapannya. Sepertinya abangnya Coki sering masak di sana, itu terpikirkan Indra saat melihat bungkus mie dan kopi di samping batu tempatnya duduk.

Mereka pun menghabiskan siang di sana. Aep merebahkan dirinya di saung sambil mendengarkan celotehan Coki, sesekali mengajak ngobrol Indra yang masih belum mau melepaskan pandangannya ke sekitar.

Ada dinding bebatuan di punggung gunung yang membuat Indra penasaran. Dia menengok ke arah seberang saung di mana ada goa yang tak terlalu dalam. Setelah memperhatikan dengan seksama, dia terkejut ketika melihat sesuatu seperti bayangan di dalam sana.

"Ada orang--" ucap Indra berbisik dan tertahan. 

Namun, dua temannya tidak mendengar. Dia lalu berdiri dan berjalan ke arah goa itu. Belum sampai di sana, seorang anak bertubuh agak jangkung muncul di balik goa. Wajahnya hitam legam menatap Indra.

"Ju--" Indra tak mampu menunjukkan ekspresi keterkejutannya, napasnya tertahan di tenggorokan. Dia terpaku berdiri. "Jurig![1]" Akhirnya teriakan itu keluar.

Aep yang mendengar langsung terbangun dan menengok ke belakang, begitu pula Coki. Sesaat kemudian, setelah melihat sosok di goa itu, mereka malah tertawa. Indra heran melihat tingkah dua kawannya itu.

Anak berkulit hitam itu kemudian berjalan ke arah saung sambil membawa layangan. Aep dan Coki masih menertawakan ketika dia duduk di samping mereka.

"Tenang, Ndra. Bukan jurig ini mah." Coki cengengesan. "Ini mah si Bangla."

"Euuuh, Cecep!" ujar anak itu tak terima dipanggil demikian dan membalasnya dengan menyebut nama asli Coki.

"Nama saya Coki!"

"Nama saya bukan Bangla!" sergah anak itu.

"Har, bapak kamu kan yang panggil kamu Bangla." Coki menertawakan

Anak itu tampak kesal tapi tak bisa menyanggah. Kemudian ia melirik pada anak yang masih berdiri di seberang saung. "Siapa itu?" tanyanya.

"Indra," jawabnya.  

"Indra? Oh, yang nggak naik kelas itu?" tanyanya lagi. Coki mengangguk.

Indra berjalan ke arah batu kembali dan duduk. Sepertinya sisa keterkejutannya masih ada. Anak yang disebut bocah bangla itu kemudian berdiri dan mencari sesuatu di dalam saung.

Setelah mendapatkan gulungan tali kenur, orang itu mengikat layangan, kemudian berjalan ke tepi tebing dan menerbangkannya.

"Si bangla mah sero[2]. Orangnya suka main layangan. Jago buatnya juga," ucap Coki. "Kalau kamu bisa menerbangkan layangan nggak, Ndra?" tanyanya kemudian.

Indra menggeleng.

"Kalau belum bisa nanti saya ajari," ujar bocah berkulit cokelat itu. "Asal layangannya beli dari saya," lanjutnya sambil tersenyum dan menaikturunkan alisnya.

Mendengar itu, Indra teringat sesuatu yang menyadarkan siapa bocah bangla itu. Dia anaknya Bu Rahmi yang pernah bekerja di Malaysia. Indra pernah mendengar cerita orang-orang, bahwa bapaknya mengamuk dan langsung menceraikan ibunya setelah dia lahir. Mungkin karena itu juga, dia sering dikucilkan dan jarang terlihat di desa.

"Gimana?" tanya bocah bangla itu sambil menatap serius Indra.

Satu hal yang juga menyadarkan Indra, bahwa mungkin anak jin yang sering diceritakan temannya dahulu adalah tentang si bocah bangla itu. Indra pun tersenyum kemudian mengangguk pelan.

Mereka pun menghabiskan waktu siang di sana dengan menikmati pemandangan alam desa yang tersaji indah di hadapan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun