Sesaat setelah lahir, katanya, bayi masih bisa mengingat kehidupan masa lalunya, sebelum terkontaminasi kehidupan baru. Entah itu benar atau tidak, entah aku harus percaya atau tidak, itu terdengar tidak adil bagiku. Ada seseorang yang tidak ingin aku lupakan, seseorang yang sangat kucintai, seseorang yang sering kali aku dengar suaranya menyapa di balik dinding pondok ini.Â
"Apa kabar kamu di dalam sana, Sayang?"Â
Suara itu menyapa lagi. Bertanya-tanya keadaanku berkali-kali. Berkali-kali pula aku yang meringkuk di dalam pondok bergegas membuka pintu, tetapi tak ada siapa pun di luar. Siapa pun! Psikiatriku dahulu menjelaskan bahwa itu hanya halusinasi, khayalan, atau apa pun itu sebutannya. Aku tak begitu mendengarkannya. Meski begitu, tentu saja aku percaya. Alangkah munafiknya jika aku menyanggah sesuatu yang terbukti depan mata. Nina kekasihku, tak kembali, tak akan pernah kembali, sebagaimana pun aku tinggi berharap.
Aku hanya ingin menjadi pria yang perempuan itu cintai satu-satunya. Aku tidak begitu mengerti bagaimana kegilaan ini bermula. Perempuan itu selalu datang dalam bayangan-bayangan, memanggil-manggil, berkelindan dalam pikiranku, tertanam seolah sedang tumbuh dan berkecambah dalam ingatan. Aku merasakan Nina sangat dekat, seakan ia berada sekitarku, berbicara padaku. Namun, aku harus menghadapi kenyataan bahwa hari-hari yang indah itu telah lenyap. Aku tak mungkin lagi bercengkerama dengannya, memadu kasih lagi di pondok ini seperti dahulu. Walau sungguh, aku tak sanggup melupakannya, tak mampu dan tak ingin.
****
Aku mengenalnya di Pulau Bali, ketika aku berlibur sendirian dan berkunjung ke sebuah pondok di pinggiran hutan dekat sungai yang arusnya tak begitu deras, yang suaranya menenangkan nan menentramkan jiwa. Saking tenteramnya, aku pernah berkeinginan untuk menjadikan tempat ini vila dan kafe saja. Hanya saja pondok ini milik seorang kawan. Aku sering menginap bersamanya dan kawan-kawan lain ketika penat dengan aktivitas harian di Jakarta.Â
Siang itu, aku berkendara dengan motor sewaan menuju Pantai Pandawa, ketika melihatnya di tepi jalan dengan motor vespa yang sepertinya sedang mogok. Awalnya aku berlalu, akan tetapi sesuatu dalam diri seolah menepuk-nepukku agar menghentikan motor dan membantunya.
Aku masih ingat T-shirt gombrang putih bergambar siluet kepala barong--yang saking gombrangnya mampu menyembunyikan celana hot pant jeans dibaliknya hingga hanya memperlihatkan paha putihnya--, topi anyaman jerami yang dikenakannya pada rambut ikal cokelatnya dengan tali melingkari hingga menyangga pada bawah dagunya, juga senyuman dari bibir bergincu merah muda sewarna pipinya yang merona, ketika ia berbalik padaku. Sungguh aku yang sedang berjalan menghampirinya terpesona pada pandangan pertama.
"Kau akan membantuku atau hanya berdiri di sana?" tanya perempuan itu setelah menyadari aku yang sedang berjalan ke arahnya, terhenti, karena agak lama memandanginya. Aku tersadar kikuk lalu menghampirinya dan segera mengambil alih motor vespa berwarna telur asin itu.Â
Akan tetapi, aku baru menyadari bahwa sebenarnya aku tidak begitu mengerti urusan mesin otomotif, apalagi motor antik sekelas vespa. Sebagai seorang lelaki, mungkin akan sangat memalukan jika harus jujur mengakui ketidakmampuanku itu. Maka, dengan gamang serta kesoktahuanku, aku berusaha sebisa mungkin memperbaiki.