Mohon tunggu...
Hendra Wattimena
Hendra Wattimena Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Puisi | Perencanaan Wilayah | Politik | Olahraga | Isu Terkini

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Relevankah Tes IQ dan Gelar Akademik Dapat Menentukan Kecerdasan Manusia?

22 Februari 2022   00:18 Diperbarui: 23 Februari 2022   18:21 2284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Coba kamu lihat anak Bu Susi, dia sudah wisuda dan dapat predikat cumlaude."

"Belajar yang rajin biar bisa dapat peringkat satu!"

"Kamu beda sama kakak mu, dia sering juara kelas sedangkan kamu cuman dapat peringkat terakhir di kelas."

Pernahkah kalian dibanding-bandingkan oleh orangtua dengan anak tetangga? Ataukah ketika di kelas, gurumu sering membandingkan kamu dengan murid terpintar di kelas? Jika mendapat nilai tinggi selalu dipuji-puji.

Ataukah kamu pernah menjadi juara kelas lalu orangtuamu menjadikan kamu sebagai bahan pembicaraan dengan orang lain seperti saat bertemu dengan tetangga atau bahkan ketika kumpul bersama keluarga besar kamu justru diunggul-unggulkan?

Orangtua memang begitu bangga ketika anaknya menjadi juara di kelas. Guru begitu senang ketika muridnya mendapatkan nilai bagus.

Jika kamu dapat nilai ulangan jelek, pastinya kamu begitu insecure dengan yang lain. Ketika pulang dimarahi orangtua, guru pun sering kali hanya mempedulikan mereka yang mendapatkan nilai bagus. Bintang kelas, juara kelas dan orang-orang cerdas di kelas merupakan anak kesayangan para guru.

Sedangkan kalian yang nilainya di bawah standar, luput dari kepedulian itu.

Sumber: Pixabay.com
Sumber: Pixabay.com
Oleh sebab itu, anak-anak sering kali belajar mati-matian untuk mendapatkan nilai bagus. Apalagi bagi kalian kalangan mahasiswa yang begitu berambisi agar mendapatkan predikat cumlaude saat wisuda, apapun akan mereka lakukan. Mulai dari yang positif misalnya belajar keras hingga dengan cara-cara curang misalnya dekat dengan dosen, cari perhatian dosen, menyogok dosen, nyontek saat ulangan, dan lain sebagainya.

Memang perlu diakui bahwa kecerdasan dan kepintaran itu sering kali dipatokan hanya dengan nilai-nilai. Angka menjadi standarisasi dalam menentukan pintar dan tidaknya seseorang di dunia pendidikan. Tapi menurut saya, semua itu salah! Nilai rapor, IPK dan nilai ulangan yang bagus itu tidak bisa serta merta menjadi variabel kepintaran seseorang. 

Sistem yang salah inilah tetap dipertahankan sampai detik ini, orang pintar dikaitkan dengan mereka yang bergelar, ranking umum dan wisuda dengan predikat cumlaude. Bagi saya semua itu pemikiran yang keliru.

Mengapa bisa demikian?

Sumber:Pixabay.com
Sumber:Pixabay.com

Jika bukan nilai akademik dan gelar yang menjadi acuan, apakah standar kepintaran seseorang di ukur dari IQ akan lebih akurat? Jawabannya juga tetap tidak.

Argumen yang saya paparkan ini bukan tanpa dasar ilmiah, hal ini diperkuat oleh beberapa pandangan para ahli dari hasil eksperimen mereka terhadap kecerdasan manusia. Kalangan ahli berpandangan bahwasanya IQ tidak bisa serta merta menjadi tolak ukur kecerdasan seorang.

Hingga detik ini pun, para ahli belum dapat menemukan suatu kesepakatan baku dalam mendefenisikan apa itu kecerdasan. Diukur menggunakan alat apa? serta arti dari score kecerdasan seseorang.

Baca Juga: Tahu Tempe Naik Harga, Anak Kos Makan Apa?

Di negara maju, baik itu para psikolog, pendidik dan sekolah-sekolah sudah tidak lagi menggunakan Intelligence Quotient atau nilai kecerdasan seseorang yang kita kenal dengan istilah IQ.

Dari kalangan umum dan non akademik berpikir bahwa kemampuan pikiran belum bisa pasti membuat seseorang menjadi terlihat cerdas dan adaptif dalam bertingkah laku karena kecerdasan pada intinya adalah suatu kemampuan manusia yang adaptif sebagai individu.

Perlu kita ketahui bahwa kecerdasan terbagi dalam berbagi hal yang tidak terbatas, makanya sangat keliru jika IQ menjadi tolak ukur kepintaran seseorang.

Sumber:Pixabay.com
Sumber:Pixabay.com

Pandangan yang dikemukakan oleh para ahli di atas berdasarkan pada hasil riset mereka seperti yang dilakukan oleh salah satu peneliti senior dari Canada Excellence Research Chair in Cognitive Neuroscience and Imaging di University's Brain and Mind Institute yaitu Dr. Adrian Owen.

Owen menyatakan bahwa hanya sebuah mitos belaka jika kepintaran diukur dari skor IQ. Hasil tes IQ tidak bisa menunjukan dengar benar kepintaran orang secara utuh dan menyeluruh.

Argumen tersebut kemudian diperkuat oleh Adam Hampshire, PhD. Seorang peneliti yang sekaligus merupakan seorang psikolog dari Brain and Mind Institute Natural Sciences Centre di London, Ontario, Kanada. 

Menurutnya, ada banyak sekali jenis kecerdasan yang dimiliki manusia. Kemudian akibat dari permasalahan di atas maka timbul kegelisahan seorang profesor pendidikan yang mengabdikan dirinya di Universitas Harvard, Amerika Serikat yaitu Howard Gardner.

Bersama para rekannya, ia mengembangkan penelitian dan konsep Multiple Intelligences (MI) mendefinisikan kecerdasan manusia yang tidak berbatas untuk mengetahui potensi unggul yang dimiliki oleh setiap orang.

Hal tersebut justru bertolak dengan apa yang diuji dalam tes IQ. Secara umum, tes IQ hanyalah dua jenis kecerdasan, yaitu kecerdasan linguistik/bahasa dan kecerdasan logika matematika.

Padahal, otak manusia ini diciptakan agar terus belajar dan menganalisis sehingga otak akan terus berkembang dari waktu ke waktu secara dinamis. IQ hanya mengukur sebagian kecil dari kecerdasan padahal kecerdasan sendiri perlu dinilai setelah mempertimbangkan berbagai macam faktor.

Bisakah mereka yang bergelar cumlaude, IPK tinggi, nilai raport bagus disebut sebagai orang cerdas?

Sumber:Pixabay.com
Sumber:Pixabay.com

Jika mengikuti penjelasan saya dari awal, maka sudah sangat tentu faktor-faktor seperti cumlaude, IPK tinggi, nilai raport ditambah dengan gelar akademik, tidak bisa serta merta menunjukkan kepintaran seseorang. Bagi saya, seorang profesor belum tentu lebih pintar dari seorang lulusan SMP atau bahkan SD. 

Kok bisa? Pasti Anda otomatis akan membantah pernyataan saya tersebut lantaran akan berpikir seorang profesor itu telah melewati berbagai jenjang pendidikan dan sudah tentu jika sudah sampai di jenjang profesor dia sudah melewati berbagai lika liku serta tidak mudah untuk sampai di tahap tersebut.

Hanya orang yang jeniuslah yang bisa melewati semua itu, serta menjadi seorang profesor sudah memenuhi syarat sesuai dengan aturan yang berlaku.

Untuk memperkuat argumen saya, mari kita lihat teori yang disampaikan oleh Howard Gardner seperti yang sudah dijelaskan di awal, ia mendefinisikan kecerdasan yang dikelompokkan menjadi delapan kecerdasan, yaitu kecerdasan linguistik (bahasa), kecerdasan logika-matematika, kecerdasan visual-spasial, kecerdasan kinestetik (gerak tubuh), kecerdasan musikal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalis. Serta yang terbaru, ia kembali menemukan satu kecerdasan yakni kecerdasan spiritual.

Kalian pasti sering menemukan jika di kelas kalian ada teman yang sangat pintar dalam bidang hitung-hitungan tapi sangat lemah dalam pelajaran bahasa.

Ada pula siswa yang sangat pandai meniru gerakan misalnya menari, bela diri dan hal-hal berkaitan dengan olahraga namun mereka susah mengikuti pelajaran teori di kelas. Orang seperti ini lebih suka pelajaran praktek sekali lihat pasti bisa mengikutinya.

Sumber: Pixabay.com
Sumber: Pixabay.com

Ada pula siswa yang dengan realistis bisa melukis, komposisi warna-warna yang dipadukan seakan membuat gambaran terlihat hidup. Atau misalnya, siswa yang pandai bermain alat musik hampir semua alat musik bisa dia mainkan. Dan terakhir siswa yang sangat pintar tapi mempunyai akhlak buruk dan masih banyak contoh lainnya. Demikian beberapa contoh dari kelompok kecerdasan yang dimaksudkan oleh Gardner.

Lalu, apa kaitannya dengan mengatakan bahwasanya seorang profesor atau yang punya gelar akademik lainnya belum tentu lebih pintar dari seorang lulusan SMP?

Jika dalam aspek kecerdasan logika dan bahasa, profesor boleh saja pintar tapi belum tentu dengan aspek  yang lain misalnya spiritual.

Misalnya yang membuktikan kalau orang  tidak bersekolah tinggi juga punya kecerdasan yang tidak bisa diremehkan, sekalipun seorang profesor  akan kalah dengan mereka.

 Mari kita lihat para ilmuan besar dunia sebut saja Thomas Alva Edison, ilmuan terkenal tersebut ternyata tidak pernah bersekolah pada masa kecilnya dia diberikan pelajaran secara privat di rumah oleh ibunya, lantaran semasa kecil dia sakit-sakitan. Nama lain yaitu Jane Goodall, Ilmuwan terkemuka Inggris tanpa gelar sarjana tapi hebatnya dia merupakan primatolog dan antropolog Inggris. Ia diakui sebagai peneliti simpanse terbaik di dunia. Serta masih banyak lagi ilmuan lainnya.

Jika gelar akademik misalnya seperti doktor atau profesor sebagai ukuran kecerdasan pada seseorang, lantas bagaimana dengan para profesor yang terjerat berbagai tindakan kejahatan? Sebut saja yang sudah tidak lazim di telinga kalian seperti Nazaruddin Syamsudin, terpidana kasus korupsi Komisi Pemilihan Umum dieksekusi dari rumah tahanan Kepolisian Daerah Metropolitan Jaya ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta pada pertengahan Februari tahun 2007. 

Dia merupakan seorang profesor lho bayangkan, atau kita sebut nama lain Dr. Azahari bin Husin, Ph.D. adalah seorang insinyur Malaysia yang diduga kuat merupakan otak di belakang Pengeboman konsulat Filipina 2000, Bom Bursa Efek Jakarta, Bom Malam Natal 2000, Bom Plaza Atrium 2001 dan kasus lainya. Serta masih banyak deretan nama lainnya. Jadi, jelas bukan?

Di satu sisi mereka cerdas tapi dalam aspek spiritual tidak seperti demikan. Ilmu yang dimiliki, mereka gunakan untuk menyusahkan orang lain.

Apakah lantas mereka disebut cerdas? Tentu, tidak! Orang cerdas adalah mereka yang mampu mengaplikasikan ilmu yang dimiliki agar dapat bermanfaat bagi masyarakat luas.

Lalu faktor apa yang membuat orang yang punya gelar akademik tinggi melakukan tindak kejahatan?

Sumber: Pixabay.com
Sumber: Pixabay.com
Faktor Paling masuk akal itu berkaitan dengan pribadi masing-masing manusia, namun perlu diakui sistem pendidikan yang lebih mengedepankan seorang anak mendapatkan nilai baik dan dituntut untuk pintar turut berpengaruh. Lantaran mereka akan melakukan berbagai cara untuk mendapatkan niai yang bagus. Guru hanya membutuhkan nilai yang bagus makanya siswa biasanya menyontek dan melakukan hal-hal yang tidak boleh dilakukan agar bisa mencapai nilai yang baik. 

Di sini moral mereka sudah dibentuk sebagai seorang penjahat. Pendidikan yang menyampingan nilai-nilai moral serta agama juga sangat berdampak, misalnya di sekolah.

Selama ini, kita sering belajar Agama dan Pkn namun kebanyakan hanya sebatas mengetahui teori semata. Implementasi di kehidupan nyata tidak begitu ditekankan. Belajar agama tapi saat ulangan nyontek bagaimana jadinya? Seharusnya, dua mata pelajaran ini   tidak perlu ada banyak teori, tidak perlu ada ulangan dan tes. 

Kedua mata pelajaran ini haruslah menjadi garda terdepan dari semua mata pelajaran yang ada. Tak perluh meluluskan siswa yang mimiliki moral jelek sekalipun dia pintar, kedua pelajaran ini pada saat jam pelajarannya harus lebih melakukan aksi nyata, misalnya guru mengajak siswa pada jam agama melakukan kegiatan bakti sosial.

Kesalahan terbesar sistem pendidikan kita

Sumber:Pixabay.com
Sumber:Pixabay.com

Kemudian, yang sangat saya sesali di dunia pendidikan kita, masih sangat mendiskriminasi pelajaran seni dan olahraga. Mereka lebih menekankan siswa agar pintar dalam mata pelajaran yang berkaitan dengan kecerdasan linguistik (bahasa) dan kecerdasan logika-matematika sedangkan bagi siswa yang memiliki kemampuan di bidang kecerdasan visual-spasial, kecerdasan kinestetik (gerak tubuh), kecerdasan musikal, dan lainya seakan di paksa agar dapat menguasai apa yang sebenarnya mereka tidak bisa. 

Mana mungkin kita mengajar kemudian menguji kecepatan seekor ikan memanjat pohon dengan seekor monyet. Tentu sangat tidak masuk akal. Pendidikan kita hanya menuntut siswa belajar untuk bisa menguasasi pelajaran sesuai dengan sistem yang ada dan belum tentu bermanfaat bagi siswa tersebut. Permasalahan tersebutlah yang perlu dicari solusi bersama oleh kita.

Baca Juga: Catatan Kritis untuk Dunia Pendidikan

Anak yang pintar bukan mereka yang pintar Matematika, Bahasa Inggris, Kimia Atau Fisika. Tapi mereka juga yang memiliki bakat dibidang lain misalnya seni dan olahraga.

Semua anak itu istimewa, jadi sebagai guru jangan pernah membeda-bedakan si pintar dengan si bodoh. Apalagi dengan salah satu sistem yang membagikan kelas anak tergantung tingkat kecedasan di bidang akademik. Anak yang punya nilai tertinggi dikategorikan satu kelas sedangkan yang biasa-biasa saja dipisahkan. 

Hal tesebut jelas memberikan sekat antara si pintar dan si bodoh, seakan pendidikan melabelkan siswa begitu kejam. Dan kedapatan mereka yang pintar akan selalu diberikan perhatian lebih mendapatkan pelajaran dari guru-guru terbaik.

Sedangkan mereka yang biasa-biasa saja dibiarkan begitu saja tanpa ada suatu ke istimewaan. Pendidik sejati harus mendidik si bodoh jadi pintar bukan hanya mendidik si pintar makin pintar.

Guru yang hebat bukan guru yang hanya mau mengajarkan siswa pintar tapi guru yang sanggup mengubah siswa bodoh jadi siswa yang luar biasa di bidangnya.

Sumber:Pixabay.com
Sumber:Pixabay.com

Kejamnya dunia pendidikan kita juga yaitu ketika masuk sekolah harus di tes terlebih dahulu, mereka yang memiliki nilai tertinggi saja yang boleh bersekolah, masuk kuliah juga demikian. Suatu kekejaman dunia pendidikan sesungguhnya.

Akibatnya, universitas terbaik akan menerima mahasiswa dengan nilai akademik tertinggi, sekolah favorit akan menerima siswa dengan hasil tes tertinggi. 

Padahal yang seharusnya lembaga pendidikan disebut terbaik adalah mereka yang bisa mencerdaskan anak-anak yang bodoh. Mereka yang ingin bersekolah adalah mereka yang ingin belajar, ibarat gelas kosong mereka perlu diisi. Bukan malah mengisi air pada gelas yang sudah penuh.

Fungsi tes untuk masuk sekolah atau perguruan tinggi haruslah menjadi acuan melihat bakat dan potensi yang dimiliki seseorang agar nantinya bisa dikategorikan sesuai dengan potensi masing-masing agar diasah lebih baik lagi. Bukan malah menjadi jurang bagi orang bodoh yang ingin belajar jadi pintar.

Orangtua juga perlu berperan penting meningkatkan bakat yang dimiliki anak. Tidak perlu memaksakan anak agar bisa semua bidang. Kalau di kelas nilai matematikanya jelek, tidak perlu sampai memarahinya. Dia bukan bodoh, tapi bidang tersebut bukanlah bakat yang dimilikinya.

Lihat dan kenali potensi anak, kemudian fokuskan dia agar menjadi ahli di bidang tersebut. Jika anak kerjanya hanya suka main musik, jangan dimarahi, berikan dukungan dan fasilitasi dia agar menjadi musisi terkenal.

Apa kesimpulan yang bisa diambil?

Sumber:Pixabay.com
Sumber:Pixabay.com
Sesungguhnya, setiap manusia pada dasarnya memiliki kepintaran dan kecerdasan. Akan tetapi, kepintaran tersebut berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain.

Maka dari itu, kita harus melihat kepintaran dan kecerdasan seseorang dari potensi yang diunggulkan dan bukan dari aspek pengukuran seperti IQ. Seorang guru matematika akan pintar matematika dan seorang petani akan pintar bertani.

Jadi, masing-masing punya bidang tertentu yang ditonjolkan.

Nilai raport atau IPK bukan menandakan bahwa orang tersebut cerdas, tapi menandakan orang tersebut berpendidikan. Kepintaran tidak selalu berdasarkan pada pendidikan seseorang yang S1, S2 atau S3 belum tentu lebih cerdas dari mereka yang hanya tamatan SMP.

Maka dari itu, sebagai orangtua kita tidak bisa membanding-bandingkan anak kita dengan anak orang lain. Mereka punya bakat dan minat masing-masing.

Jika anak Anda lemah dalam akademik tapi punya potensi di bidang musik, maka bantu dia untuk mengembangkan bidang tersebut. Berikan stimulasi yang tepat agar potensi tersebut bisa menjadi baik dan dia akan jadi ahli di bidang tersebut.

Akhir kata, saya menarik satu garis besar yang menjadi hipotesis saya untu  kemudian bisa kita setujui bersama, yakni: "semua orang memiliki kecerdasan masing-masing di bidangnya. Angka ataupun gelar tidak bisa menunjukkan kepintaran seseorang hal tersebut hanyalah bukti kalau orang tersebut pernah menjalani jenjang pendidikan. Kecerdasan atau kepintaran seseorang diukur dari seberapa banyak orang tersebut menghasilkan karya dan gagasan yang berdampak positif  terhadap kehidupan umat manusia".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun