Mohon tunggu...
Hendra
Hendra Mohon Tunggu... Penulis - Clear thinking equals clear writing

Lahir dan besar di Jakarta. Topik tulisan: mengatur keuangan pribadi, kehidupan di Australia dan filosofi hidup sederhana. Saat ini bermukim di Sydney.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Bekerja Korporat di Australia Vs Membuka Usaha di Indonesia

18 Januari 2020   07:05 Diperbarui: 19 Januari 2020   14:54 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

"Tinggal di Indonesia itu paling enak gak banyak aturan. Modal sepuluh juta saja udah bisa dagang gelar tikar" ujar bapak mertua ketika kami melewati pasar tradisional. 

Seperti generasi mereka pada umumnya, angkatan bapak sebagian besar membuka toko atau ikut membantu saudaranya usaha. Mereka heran generasi muda lulusan universitas luar negeri justru malah kerja sama orang sementara mereka yang hanya lulusan SMA bisa jadi 'boss'.

Saya pegawai swasta di Sydney, tapi di Jakarta orang mau lewat kadang sapa "permisi boss". Teman professional di Jakarta meski berkarir lumayan masih merendah bilang "gue mah cuma kuli" atau "besok musti nguli nih". Kesannya di Indonesia cuma ada dua kelas: Boss dan Kuli.

Orang Australia menyapa dengan 'mate' yang menyiratkan kita semua sederajat. Mereka bisa turut berbahagia dengan kesuksesan orang lain tapi tidak suka dengan tukang pamer atau mereka yang sengaja menunjukan aura superior. Alih-alih merasa kagum melayang, orang Australia akan membawa mereka turun ke bumi lewat fenomena yang dikenal 'tall poppy syndrome'.

Tulisan ini berdasarkan pengamatan langsung dan obrolan teman-teman. Usaha dalam tulisan ini sebagian besar di Jakarta dengan jumlah pegawai satu hingga sepuluh orang. 

Saya tidak bermaksud membandingkan mana yang lebih baik bekerja corporate di Australia atau membuka usaha di Indonesia. Situasi dan priortias hidup setiap orang berbeda, saya hanya berharap tulisan ini menambah perspektif baru.  

 Teori obsesi menjadi 'boss'

Seorang teman di Jakarta pernah cerita, ketika teman kerjanya sakit keras si boss panggil ke kantor dan meminta dia untuk mengundurkan diri segera mungkin. Kantor merasa si sakit sudah tidak bisa dipakai dan hanya menguras kas (kantornya ada kebijakan membayar biaya berobat terbatas).

Sementara mereka yang bekerja di toko kecil jauh lebih informal lagi. Uang berobat murni seikhlas boss. Dalam beberapa kasus gaji pegawai bisa tidak dibayar berbulan-bulan dan THR tidak cair dengan alasan usaha sedang merugi. Pegawai diharap tetap menjalankan kewajiban sementara 'boss' lebih bebas menentukan kewajiban sendiri.

Daya tawar antara boss dengan pegawai terlalu jauh. Karena di Indonesia selama ada duit apapun masih bisa dibeli, pegawai memilih menelan atau mengalah ketimbang memperjuangkan lewat jalur hukum atau paling banter lewat 'jalan kekeluargaan'. Ditambah lagi iklan lowongan kerja Indonesia yang mematok usia maksimum (age discrimination) dan budaya hieraki dimana rasa hormat terbesar mengalir pada mereka yang berada dipuncak hieraki.

Dalam lingkungan dan sistem sosial seperti ini menggelar tikar dangangan terasa lebih bermatabat ketimbang kerja sama orang sebagai manager di perusahaan besar. Dengan kata lain, membuka usaha selain  karena potensi meraup banyak uang juga berperan sebegai penegas bahwa saya adalah 'boss' atas hidup sendiri.

Mengapa teman-teman menapak karir corporate di Australia ketimbang buka usaha di Indonesia?

"Napa gak balik for good aja, bukannya bokap lu ada usaha?" tanya saya. Orang tua RM menjalani toko kecil dari muda hingga sekarang. "Kecil tapi padat" cara RM mendiskripsikan usaha orang tuanya. Meskipun menghasilkan uang dan tidak ada yang melanjutkan, RM tetap enggan balik karena merasa tidak bisa melihat masa depan dalam toko.

RM tidak peduli dengan status 'boss'. Dia mengaku mencari kualitas hidup. Di Sydney akhir pekan bisa dihabiskan bersama anak. Sementara orang tuanya bekerja 6.5 hari di toko kecuali tanggal merah libur nasional. 

Selesai tutup toko masih harus menghitung stok, dan urusan pembukuan. Waktu kecil dia melihat orang tuanya setiap hari tapi jarang menghabiskan waktu bersama mereka. Dia tidak bisa membayangkan menjalani hidup monoton seperti itu seumur hidup.

RM dan istri bekerja keras, menabung, membeli rumah dan bisa pergi jalan ke luar negeri setahun sekali. Seandainya jadi 'boss' di Indonesia, RM merasa sulit jalan lama kecuali mendapat pegawai yang bisa dipercaya untuk dilepas.

Sementara CK sempat balik for good ke Indonesia selama tiga tahun membangun usaha hingga akhirnya balik lagi ke Sydney bersama keluarga. Pada awal merintis usaha, CK sering keluar kota mencari pelanggan. 

Singkat cerita, CK kena tipu rekan bisnis dan usaha tidak berjalan seperti yang dibayangkan. Pegawai murah, pasar besar semua hanya bagus diatas kertas tanpa memperhitungkan aturan main tak tertulis, etos kerja pegawai dan perilaku pemain besar dalam industri bersangkutan.

CK saat ini bekerja sebagai analyst. Ya, dia terkadang lembur dan bekerja akhir pekan kalau sedang sibuk. Tapi beruntung perusahaan dia memiliki kebijakan 'flexible work' jadi dia bisa kerja dari rumah dan bisa menentukan jam kerja selama pekerjaan selesai dan memuaskan. 

Ketika sedang tidak ada project, dia bebas pergi makan siang selama 1.5 jam. "Ngapain pusing mikirin business 24/7 kalau gue sekarang bisa life style businessman hehe" celetuk CK.

Apakah mereka yang suka tinggal di Australia memang tidak kreatif, mental lembek dan suka di zona kenyamanan?

Saya rasa tidak. Majalah komunitas Indonesia seperti Buletin Indo atau Indomedia penuh iklan usaha orang Indonesia.

Ada juga yang menjalankan full time job dan usaha sampingan. Hari biasa bekerja sebagai senior accountant sembari menjalankan usaha bookkeeping lewat teknologi cloud. 

Beberapa teman menawarkan jasa homestay sebagai modal tambahan membeli investment property. Mereka memperlakukan rumah tinggal dan uang layaknya pegawai dengan tujuan suatu hari mencapai FIRE (Financial Independence Retire Early).

RM dan CK tidak menutup kemungkinan suatu hari buka usaha ketika anak-anak sudah lebih mandiri, biar bagaimanapun mereka berdua berasal dari keluarga pengusaha. 

Buat mereka membuka usaha lebih sebagai manifestasi kreatifitas dan tantangan bukan demi gengsi mau jadi 'boss'. Sampai hari ini kalau kumpul sama keluarga besar mereka mengaku suka ada suara nyinyir tanya ngapain jadi kuli diluar kalau bisa jadi boss.

'Kuli' di Indonesia dan Australia nasibnya beda. Dari segi life style, CK si 'kuli' mungkin hidupnya lebih baik daripada 'boss' orang tua RM yang menjalani toko. Menjadi 'boss' dalam budaya egalitarian Australia berikut dengan penegakan hukumnya berarti kekuasaan 'boss' tidak semutlak seperti di Indonesia.

Apapun jalan hidup yang dipilih semoga kita mencapai cita-cita hidup masing-masing.

"Wkwkwk.. kalau ditanya calon mertua.. kerja apa nak.. saya usaha toko jaya abadi," jelasnya
--  Pemilik Toko Jaya Abadi di Magelang yang tidak menjual apa-apa (mataram.tribunnews.com)

Info seputar UKM di Indonesia
[1]
[2]

UU Ketenagakerjaan Indonesia

Informasi seputar memulai bisnis dan mendapat grant di Sydney dan Australia
[1}
[2]

Peraturan ketenaga kerjaan Australia

Hendra Makgawinata
Sydney, 18/01/2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun