Saya sendiri baru pasang applikasi WA tahun lalu, jujur alasan awalnya karena merasa kesepian. Setiap kali kumpul bersama keluarga dan teman, mata mereka selalu menempel pada layar ponsel sambil terseyum mayum asyik mengetik. Hanya saya sendiri yang tidak pasang aplikasi chat waktu itu. Perilaku mereka membuat saya merasa seolah-olah teman sesungguhnya ada dilayar ponsel.
Saya yakin mama dan teman-teman tidak dengan sengaja cuek dengan orang sekitar. Ini hanyalah efek samping teknologi hyper connectivity. Penggunaan sosmed berlebihan juga kurang lebih berdampak pada kemampuan otak menangkap sinyal non-verbal (sumber: newyorkbehavioralhealth.com). Terbukti, mereka tampaknya tidak menangkap arti dari wajah saya yang lebih masam dari kulit jeruk.
Tapi tunggu, bukankah berkat Facebook kita jadi lebih mudah membangun pertemanan dengan banyak orang?
Untuk lebih jelasnya, mari kita ngobrol dengan teman saya, sebut saja Edo. Tiada hari Edo lewati tanpa Facebook. Kalau ada yang ulang tahun atau anniversary, dia akan memberi ucapan selamat pada yang bersangkutan dan begitu juga sebaliknya. Bila dia ulang tahun maka dia boleh bertaruh akan menerima sejumlah ucapan selamat. Dia juga senang ketika video dan foto-foto dia mendapat Like dan komentar.
Suatu hari dia memutuskan menyembunyikan tanggal lahirnya. Betapa kecewanya dia tidak mendapat ucapan selamat satupun. Ternyata selama ini “teman-teman” mengucapkan karena notifikasi Facebook bukan karena ingat. Dia merasa “persahabatan” dunia maya sifatnya dangkal. Dari situ dia juga sadar, kecenderungan memberi Like dan komentar lebih karena perasaan tidak enak, bahkan terkesan barter i.e. saya Like foto kamu, saya harap kamu juga balas Like foto saya.
Membuang waktu
“Setiap hari, orang Indonesia rata-rata menghabiskan waktu 3 jam untuk menatap layar ponsel. Dari waktu tersebut, 95 persennya dihabiskan di dalam aplikasi,” imbuh Sri yang mengaku baru beberapa minggu didapuk menjadi pimpinan Facebook di Tanah Air (sumber:kompas.com). Berarti dalam satu minggu hampir 1 hari melayang (7 x 3 jam) depan Facebook.
Saya sendiri juga pernah mengalaminya. Rencana main Facebook lima menit karena suntuk, tanpa terasa dua jam lewat. Main Facebook memang adiktif. Sejak itu saya menfungsikan Facebook hanya sebagai buku telepon dan penyebar tulisan di beberapa group. Saya percaya teman beneran (memang kenal dari offline) akan menyapa lewat telepon kalau ada hal penting.
Lubang hitam waktu (dan data) juga datang dari group WA. Waktu itu saya di-add masuk group WA alumni SMA. Awalnya asyik bertukar sapa, anak sudah berapa, si anu sekarang tinggal mana dan seterusnya. Tiga hari kedepan, setiap kali menengok ponsel rasanya stress melihat ratusan chat. Mustahil membaca dari awal. Buka group WA hanya hapus-hapus, pembicaraan hanya hahahihi dan saya juga tidak berkontribusi apa-apa, akhirnya saya putuskan keluar dari group. Rasanya lega sekali meski harus memberi penjelasan panjang karena dicecar group admin.
Lain dengan teman saya, dia mengakui sebagian besar teman group WA kurang kerjaan. Jumlahnya hanya belasan tapi ramai sekali. Kalau salah satu anggota posting dan ada satu anggota tidak berkomentar, bakal ditanya “oiii mana suaranya dari tadi diam saja”. Keluar dari group rasanya tidak tega karena sering kumpul bareng. Dia menerima waktu meladeni group sebagai ‘biaya pemeliharaan hubungan sosial’.
Rentan menderita Kecemburuan sosial