Mohon tunggu...
Hendra
Hendra Mohon Tunggu... Penulis - Clear thinking equals clear writing

Lahir dan besar di Jakarta. Topik tulisan: mengatur keuangan pribadi, kehidupan di Australia dan filosofi hidup sederhana. Saat ini bermukim di Sydney.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Empat Alasan Besar untuk Selektif Menggunakan Sosial Media

4 Juni 2016   21:21 Diperbarui: 4 Juni 2016   21:32 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Tidak bisa dipungkiri bahwa sosial media (sosmed) seperti Facebook, Twitter, Whatsapp, Path, Instagram sudah mendarah daging dalam abad teknologi informasi sekarang ini. Kalau mau jujur kebanyakan menggunakan Sosmed karena trend, tidak mau merasa ketinggalan jaman karena orang lain juga pakai. Sementara penyedia Sosmed mengklaim bahwa berkat jasa mereka, masyarakat lebih mudah berkomuniksi, sharing, bahkan meningkatkan penjualan.

Sosmed sendiri pada dasarnya hanya alat dan saya tidak akan mendebat bahwa sosmed juga memberi manfaat positif. Pertanyaannya, berapa ongkos yang harus dibayar dengan penggunaan Sosmed? Apakah dampak positifnya sebanding dengan ongkos yang harus dibayar?

Ongkos disini tidak berupa uang (setahu saya hampir semua aplikasi sosmed gratis). Harga minimum yang harus dibayar berupa waktu dan perhatian. Belum lagi resiko data pribadi kita disalah gunakan. Konsultan marketing Jay Baer pernah berkata “the goal of social media is to turn customers into a volunteer marketing army” (tujuan dari sosial media adalah mengubah pelanggan menjadi pasukan sukarela pemasaran). Jadi kalau sebuah layanan sifatnya gratis, maka kitalah produknya.

Berikut empat alasan besar mengapa sebaiknya kita lebih selektif menggunakan sosial media.

Merusak Konsentrasi

Interaksi dalam sosmed dirancang untuk terjadi secara cepat, singkat, stimulan. Sebagian mungkin merasa lumrah membaca berita, membalas chat/email, mendengar musik dan mengganggap multitasking merupakan ‘kemampuan’ premium dijaman serba cepat. Apa yang selama ini dianggap multitasking (melakukan beberapa tugas sekaligus), sebenarnya merupakan ‘task-switching’ (mengalihkan perhatian dari satu tugas ke tugas lainnya secara bergilir).

Mutlitasking hanyalah mitos. Otak kita tidak dirancang dapat melakukan beberapa tugas sekaligus (sumber: psychologytoday). Mereka yang ‘task-switching’ cenderung lebih sering melakukan kesalahan, sulit berkonsentrasi dan kesulitan memproses informasi secara mendalam (sumber: Steinhardt.nyu.edu). 

Terobosan mutakhir, buah pikiran dan maha karya kebanyakan membutuhkan fokus penuh dan mendalam dalam pengerjaannya. Sementara aktifitas sosmed memberi instant reward lewat jumlah Like dan komentar.

George Packer, penulis tersohor The New Yorker dan pemenang penghargaan buku non-fiksi, bahkan merasa kalau dia sampai dipaksa aktif sosmed, mungkin dia akan kesulitan menafkahi anaknya (sumber: newyorker). Melahirkan tulisan berkualitas hebat memerlukan rentang konsentrasi panjang. Hasil karya luar biasa hampir pasti akan dilirik media besar yang pada ujungnya akan meningkatkan jumlah pembaca. Sedangkan rajin berinteraksi dengan ribuan followers tidak akan bisa menkompensasi kualitas tulisan rendah akibat pecahnya fokus menulis.

Perenggang Persahabatan dan Keluarga

Tahun lalu mama saya datang ke Sydney menjenguk cucu. Bukannya memanfaatkan waktu sebaik-baiknya main bersama berhubung jarang ketemu, mama malah asyik main iPad sendiri. Fenomena seperti ini juga lumrah saya jumpai di Jakarta. Satu keluarga duduk makan semeja, semua asyik dengan HP masing-masing. Sebagian orang tua yang punya anak kecil lebih suka mendiamkan anak dengan iPad ketimbang mengajak komunikasi.

Saya sendiri baru pasang applikasi WA tahun lalu, jujur alasan awalnya karena merasa kesepian. Setiap kali kumpul bersama keluarga dan teman, mata mereka selalu menempel pada layar ponsel sambil terseyum mayum asyik mengetik. Hanya saya sendiri yang tidak pasang aplikasi chat waktu itu. Perilaku mereka membuat saya merasa seolah-olah teman sesungguhnya ada dilayar ponsel.

Saya yakin mama dan teman-teman tidak dengan sengaja cuek dengan orang sekitar. Ini hanyalah efek samping teknologi hyper connectivity. Penggunaan sosmed berlebihan juga kurang lebih berdampak pada kemampuan otak menangkap sinyal non-verbal (sumber: newyorkbehavioralhealth.com). Terbukti, mereka tampaknya tidak menangkap arti dari wajah saya yang lebih masam dari kulit jeruk.

Tapi tunggu, bukankah berkat Facebook kita jadi lebih mudah membangun pertemanan dengan banyak orang?

Untuk lebih jelasnya, mari kita ngobrol dengan teman saya, sebut saja Edo. Tiada hari Edo lewati tanpa Facebook. Kalau ada yang ulang tahun atau anniversary, dia akan memberi ucapan selamat pada yang bersangkutan dan begitu juga sebaliknya. Bila dia ulang tahun maka dia boleh bertaruh akan menerima sejumlah ucapan selamat. Dia juga senang ketika video dan foto-foto dia mendapat Like dan komentar.

Suatu hari dia memutuskan menyembunyikan tanggal lahirnya. Betapa kecewanya dia tidak mendapat ucapan selamat satupun. Ternyata selama ini “teman-teman” mengucapkan karena notifikasi Facebook bukan karena ingat. Dia merasa “persahabatan” dunia maya sifatnya dangkal. Dari situ dia juga sadar, kecenderungan memberi Like dan komentar lebih karena perasaan tidak enak, bahkan terkesan barter i.e. saya Like foto kamu, saya harap kamu juga balas Like foto saya.

Membuang waktu

“Setiap hari, orang Indonesia rata-rata menghabiskan waktu 3 jam untuk menatap layar ponsel. Dari waktu tersebut, 95 persennya dihabiskan di dalam aplikasi,” imbuh Sri yang mengaku baru beberapa minggu didapuk menjadi pimpinan Facebook di Tanah Air (sumber:kompas.com). Berarti dalam satu minggu hampir 1 hari melayang (7 x 3 jam) depan Facebook. 

Saya sendiri juga pernah mengalaminya. Rencana main Facebook lima menit karena suntuk, tanpa terasa dua jam lewat. Main Facebook memang adiktif. Sejak itu saya menfungsikan Facebook hanya sebagai buku telepon dan penyebar tulisan di beberapa group. Saya percaya teman beneran (memang kenal dari offline) akan menyapa lewat telepon kalau ada hal penting.

Lubang hitam waktu (dan data) juga datang dari group WA.  Waktu itu saya di-add masuk group WA alumni SMA. Awalnya asyik bertukar sapa, anak sudah berapa, si anu sekarang tinggal mana dan seterusnya. Tiga hari kedepan, setiap kali menengok ponsel rasanya stress melihat ratusan chat. Mustahil membaca dari awal. Buka group WA hanya hapus-hapus, pembicaraan hanya hahahihi dan saya juga tidak berkontribusi apa-apa, akhirnya saya putuskan keluar dari group. Rasanya lega sekali meski harus memberi penjelasan panjang karena dicecar group admin.

Lain dengan teman saya, dia mengakui sebagian besar teman group WA kurang kerjaan. Jumlahnya hanya belasan tapi ramai sekali. Kalau salah satu anggota posting dan ada satu anggota tidak berkomentar, bakal ditanya “oiii mana suaranya dari tadi diam saja”. Keluar dari group rasanya tidak tega karena sering kumpul bareng. Dia menerima waktu meladeni group sebagai ‘biaya pemeliharaan hubungan sosial’.  

Rentan menderita Kecemburuan sosial

Ledakan sosmed melahirkan budaya “Saya Pty Ltd”. Saya makan apa, lagi apa, dimana, sama siapa, suka apa, pacar siapa, baju apa, mood apa, baru belanja apa, dapat hadiah apa, bentuk bodi apa, semua bisa dishare langsung. Tampaknya kemudahan berbagi membuat sebagian pengguna sosmed melucuti hal-hal pribadi untuk dikonsumsi publik.

Tentu saja kebanyakan orang hanya memposting event membanggakan saja, seperti kelahiran anak, prestasi sekolah atau kerja, piagam perhargaan, foto liburan, tubuh hasil gym. Kalau Anda entah kenapa merasa resah setelah melihat postingan tersebut di Facebook, Anda tidak sendirian. Menurut studi dari University of Houston dan Palo Alto University bersama University of Cologne, tampaknya ada asosiasi antara penggunaan Facebook dengan gejala depresi ringan (sumber: theatlantic.com).

Pada tahun 1950, psikolog Leon Festinger berpendapat bahwa orang cenderung menilai kemajuan hidup dan perasaan berharga dengan membandingkan diri dengan orang lain. Karena orang cenderung hanya memposting hal-hal yang membanggakan, realitas hidup orang lain seolah-olah jauh lebih baik dan tanpa sadar kita bertanya pada diri sendiri “mengapa hidup saya tidak seindah mereka”. Padahal hidup Anda mungkin baik-baik saja dan realitas hidup orang lain tidak seluruhnya seindah layar Facebook.

 

Tulisan ini tidak bermaksud mengajak pembaca untuk anti-sosmed, tapi lebih selektif dan cermat menggunakan sosmed dalam meningkatkan kualitas riil hubungan sosial dan professional. Saya lebih menyoroti sikap latah seolah-olah semua trend baru teknologi pasti bermanfaat dan wajib diadopsi tanpa memperhitungkan kebutuhan pribadi.

Kita lebih cerdas dari itu. Jangan mau membayar mahal hanya karena takut dipanggil gaptek.

“An open Facebook page is simply a psychiatric dry erase board that screams “Look at me. I am insecure. I need your reaction to what I am doing, but you’re not cool enough to be my friend. Therefore, I will just pray you see this because the approval of God is not all I need.” – Shannon L. Alder

Hendra Makgawinata

Sydney, 04/06/16

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun