Privilese ini hanya dimiliki oleh para imam yang menjalankan kehidupan selibat. Saat merayakan misa, seorang imam tidak hanya melakukan in persona Christi, tetapi secara lebih spesifik ia melakukannya sebagai seorang laki-laki in persona Christi dengan kesadaran mendalam bahwa Kristus juga seorang laki-laki.
Selain itu, ketika seorang imam mengucapkan "Inilah Tubuh-Ku" dalam doa syukur agung, ia sebenarnya masuk dalam hubungan yang dekat dan tak terpisahkan antara Kristus dan Gereja-Nya. Kata-kata "Inilah Tubuh-Ku" merupakan pemberian diri secara total Kristus kepada umat-Nya yang dilanjutkan oleh imam kepada umat Katolik saat misa.Â
Hal ini menyebabkan seorang imam sebagai laki-laki selibat memberikan dirinya secara total kepada umat Kristus baik dalam ekaristi maupun pelayanan sakramental dan pastoral lainnya.
 Di sini, ada implikasi bahwa imam haruslah seorang laki-laki yang sudah secara biologis dan anatomis menyatakan diri sebagai pihak yang memberikan benih kehidupan baru sementara itu di pihak lain perempuan dan Gereja merupakan pihak yang menerima benih tersebut dan menyediakan tempat untuk pembuahan serta pertumbuhan benih tersebut.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, saya menyimpulkan bahwa peraturan selibat dalam Gereja Katolik mesti tetap dipertahankan karena dua alasan.Â
Pertama, selibat merupakan suatu cara hidup adikodrati atau supernatural karena mencerminkan kehidupan sesudah kematian (kebangkitan).Â
Kedua, selibat merupakan suatu in persona Christi imam saat melakukan ekaristi dengan menyerahkan seluruh totalitas kelelakiannya sebagaimana Kristus menyerahkan diri-Nya wafat di salib untuk menebus dosa-dosa dunia. Melalui selibat seorang imam memberikan benih kehidupan kasih kepada semua umat Kristus, bukan hanya kepada segelintir orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H