Petang yang  bersalju  terasa dingin di kulit meski  jacket tebal telah lengket membalut tubuh.Angin kencang tak pernah berhenti  menderu menerpa dinding2 beton Airport JF Kennedy, New York.Ditengah kesuraman kota, hujan gerimis bersalju  melayang berputar diatas jalan beraspal hitam berkilat.Sekali dua kali kulap embun di kaca mobil seraya memperhatikan satu persatu  penumpang pesawat yang keluar dari pintu Kedatangan.Sengaja kuparkir mobil sedikit jauh dari situ supaya tidak diusir oleh security.
Disamping kananku kulihat sang istri lagi tidur pulas.Tangan kirinya masih tergenggam tongkat kesayangannya.Jarak Virginia ke New York City, yang hampir 3 1/2 jam,pasti membuatnya capek.Perlahan kuelus dan  kugenggam tangannya, lalu mendongak ke atas kap mobil sambil mendengar dentuman lemah hujan gerimis.
Buat  kesekian kalinya kucek lagi text Lina, mengabarkan kedatangannya dari Indo pukul 4.30 pm.Setelah itu aku rebahkan badan, memejamkan mata sekedar beristirahat..Perlahan suara gerimis membawaku hanyut, jauh, dan kegelapan mulai menampakkan waujudnya.Aku berusaha tetap sadar namun aku tak kuasa dibuatnya.Dan akhirnya gambar2 kabur menjadi semakin jelas.Mungkinkah aku tertidur.Aku tidak tahu.
Kulihat, aku dan Lina melangkah keluar dari sebuah pintu gereja lalu disambut hembusan angin malam sepoi2.Di sisi kanan gereja kulihat sebuah lapangan rumput luas dan kosong.Dari gereja kami telusuri jalan di bawah penerangan  lampu2 jalan yang berjejer dan berhadap-hadapan..Beberapa rumah telah kami lewati, tapi kami berdua masih  tetap membisu.Keheningan malam hanya di tenggarai oleh gonggongan anjing, sembrutan sinar lampu dari jendela rumah,  dan sayup2 kudengar potongan alunan lagu "Seikat Janji,"
Kebisuan masih merayap terus,tapi tidak membuat kami kaku.Sampai akhirnya Lina memecahkan suasana.
"Apa yang di katakan Pastor tadi rasanya bijak untuk disimak,"
"Maksudmu?" Aku tidak mengerti
"Tentang kasih dan kesetian,"
"Betul, itu wajib dipupuk.Termasuk kita berdua.Aku masih percaya dengan apa yang kamu ucapkan"
Aku berhenti melangkah, lalu menatap Lina tajam.
"Kau tak perlu kuatir padaku," balasnya tersenyum sambil menatap keatas langit hitam berawan.Angin  bertambah kencang hingga membuat rambutnya berantakan.
"Terima kasih.Gimana acara Posma nya tadi pagi?"
"Biasa. Seniornya gantian gojlok  kami,"
"Yeah, mereka hanya mau balas dendam atas perlakuan senior mereka dulu,"
Kataku menghibur.Tahun itu, Lina sedang mengikuti masa orientasi mahasiswa di Unika Atma Jaya.Kebetulan aku salah seorang seniornya.Namun kami tetap jaga jarak.Tidak mau perlihatkan  personal feeling.Aku biarkan aja acara berlangsung  seperti biasa.Namun perasaanku kadang tidak enak melihat teman sekelas, selalu berusaha mendekati Lina.Ini telah aku sampaikan pada Lina sendiri, tapi jawabnya selalu sama.
"Trust me katanya, nothing gonna happen," kadang dia ngomong Inggris.Maklum kami ngambil jurusan yang sama.
Malam yang tadinya bersahabat, nyatanya berubah.Hembusan angin semakin kencang di sertai kilat dan  guntur ber-sahut2an.Tak lama kemudian, gerimis  jatuh satu persatu.Aku tengok sana sini, cari taxi atau becak, tapi tak satupun yang nongol.Untung rumah Lina tidak jauh dari gereja.Tapi tetap saja kami basah meski tidak  sampai kuyup.Begitu sampai di rumah, Lina tergopoh-gopoh permisi, namun sempat kutarik tangannya membuat dia kaget  tersentak.
Pakaiannya yang basah seketika ada di pelukkanku sembari kukulum bibirnya.Matanya terbelalak di depan mataku.Pasti dia shock, tapi perlahan mata iu redup dan terpejam.Aku tidak berhenti, malah membuatku tambah beringas.Rasanya aku melayang ke langit 17.
Esok petangnya, kebetulan malam minggu, aku sudah siap2 wakuncar(wajib kunjung pacar) lagi.Pakaian favoriteku udah mulus  kusetrika.Tak lupa kusemprot ketiakku dengan eodoran.Mulut juga kubersihkan dengan Lesterin warna hijau.Pendeknya aku sudah,jaga2 kalau nanti kami ngok  lagi.Namun apa yang terjadi? Apa yang kuidam-idamkan semuanya berantakan sewaktu sampai di depan rumah Lina.Sebuah sepeda motor Vespa keluaran terahir terparkir manis dekat pintu pagar.Instick aku cepat berkata, itu sepeda motor Denny, si berengsek, teman kelasku.Jelas dia sudah ngebet ama Lina.Padahal dia tahu, semua orang tahu dia adalah pacarku.
Kuusahakan berpikir positif, sampai  kuinjak ruang tamu.Namun apa yang kusaksikan membuat darahku mendidih.Mereka kudapati  pegang tangan  dan duduk mesra berdampingan sambil nonton tv.Darahku seketika naik di ubun-ubun.Kucoba tenang dan ber-pura2 santai sambil cari bahan omongan.Tapi nampaknya si Denny udah tahu situasi lagi gawat makanya dia cepat2 pamit.
Dan malam itu perang mulutpun tak bisa di hindarkan.Beberapa kali aku berkata kasar, tapi tak pernah dia hiraukan.Ku ejek dia ber-tubi2:
"Apa yang telah kalian lakukan?Ciuman?"
"Kata2 manis apa yang telah kau bisikkan ke telinganya?" bentakkuÂ
" Janji apa yang kau tepati?"
Dia  hanya terdiam.Tidak merespon.Mungkin tidak tahu apa yang dia ,mau ucapkan selain menangis sengungukan.Aku kehabisan akal.Habis kesabaran.Imbuhku :
"Sebelum Denny muncul, semuanya baik2 saja.Kamu tidak begini,"
 Kami terdiam.Cukup lama.Lina masih tetap tersisak sambil me-milin2 ujung taplak meja.Akupun masih kalap.Masih tidak mengerti.Akhirnya kuputuskan berlalu dari situ.Pulang dengan kecewa.Persis aku diluar, guntur menggelegar keras sekali dan saat itu juga gerimis berjatuhan menyapu wajahku.Aku tak peduli.Kupacu terus motorku tanpa tujuan hingga subuh datang menyapa.
Di hari ketiga, gerimis masih tetap menghadang.Padahal hari itu aku telah  berniat membereskan urusan cinta segi tiga kami.Tapi gerimis tetap saja membandel, sebaliknya aku tambah nekat.Akhrnya kukenakan jas hujan lalu menerobos hujan lebat.
Tapi tak tahu kenapa, aku berubah pikiran  sewaktu mendekati rumahnya.Dalam hati aku bertanya-tanya:
"Perlukah aku menemuinya?Jelas2 mereka sudah kupergoki berdua bermesrahan.Ngapaian butuh jawaban?Kalau dia pilih Denny, ngapain a ngemis cintanya?Tidak adakah cewek lain?"
Aku termangu sambil menatap pekarangan rumahnya dari jauh.
Pagi itu, aku ngambil keputusan buat melupakannya, lalu balik kerumah menerobos banjir dan angin ribut.
Deringan cellphone membuat lamunanku buyar. Sampai2 tidak tahu mengapa aku berada disitu.Aku baru sadar  ketika kudengar suara Lina memberitahu bahwa  dia telah nunggu di  exit 18.Aku secepatnya meluncur kedepan.Dari jauh sudah kukenal bentuk tubuhnya di temani seorang remaja lelaki.Begitu sampai, tak sadar kami berangkulan tanpa basa-basi.Selesai, kupandangi wajahnya, masih tetap seperti dulu, meski sudah berusia  lanjut.
"Gimana kabarmu?" tanyanya
"Baik, terima kasih,"
"Oh yah, ini cucuku, Ridwan.Dia yang selalu temani aku sejak opanya meninggal,"
"Oh, very good.Ridwan, aku Om Alex, teman kuliah almarhum Opamu," sekilas senyum  kolantarkan kearah Lina.
"Senang berkenalan Om,"
"Kog, bisa2nya kalian  kemari di musim dingin?" tanyaku
"Soalnya  Ridwan pingin lihat salju,"  Lina yang jawab.
"Kebetulan kalau gitu. Diluar salju sedang  ngamuk.Ayo...!!!"
Tiba di trotoar, kulihat  istriku  sudah berdiri  nunggu kami.
"Kenalkan istriku, Desy.Dia telah banyak membantu aku di New York,"
Merekapun saling bersalaman.Dan setelah semua kopor di tumpuk  mobil, kami meninggalkan bandara menuju sebuah hotel di daerah downton, China Town.Lalu lintas yang macet karena cuaca buruk membuat kami cari bahan omongan buat membunuh  waktu.Mulai  dari issue2 pilpres di Indo, kasus Sambo, kasus Vina, lalu IKN.
Aku sendiri tak banyak nimbrung karena sedang konsentrsi nyetir.Sekali2 kutatap wajah Lina di kaca spion.Bila mata kami sempat beradu, dia cepat2 alihkan pandangannya kearah lain.Rasanya, banyak hal yang perlu aku dengar darinya.Tapi kalau dia enggan, tidak apa.Soalnya aku  tidak dendam sama sekali.Di hatiku hanya ada sebuah persahatan yang sejati.
Tak terasa hari sudah menjelang senja. Malampun sebentar lagi  datang menyelimuti kota Manhattan  yang  suram dan basah.Rasa jenuh yang berkanjangan kucoba atasi dengan mencari lagu dangdut dari  U-Tube.
Yeah, it works, kami  berdendang ria di sepanjang jalan kenangan
Work of fiction in the backyard of Salem Field housing complex, Fredericksburg, Virginia
06/23/24, 2.10 pm