Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Konsesi Tambang dalam Wacana Krisis Multidimensi

27 Juli 2024   05:00 Diperbarui: 27 Juli 2024   22:02 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tampak puncak Gn. Tumpang Pitu, Banyuwangi, yang habis terkikis akitivitas pertambangan (Sumber: dokpri)

Konsesi tambang yang telah diberikan kepada ormas-ormas keagamaan, dapatlah menjadi poin penting dalam melihat masa depan pengelolaan sumber daya alam Indonesia di masa datang. Tak lain karena sifatnya yang dianggap positif sebagai daya dukung sosial.

Namun, apakah daya dukung sosial berbasis keagamaan dapat menjadi paradigma pengelolaan sumber daya alam? Tentu bukanlah hal mudah, manakala terjadi benturan ideologis yang tidak selama sesuai dengan konsep kemaslahatan.

Artinya, berbagai polemik sosial yang terjadi, dapat menjadi berbagai klausul munculnya krisis multidimensi. Dimana benturan terkait konsepsi ekonomi ekspoitatif, kemudian berhadapan dengan kebutuhan ruang hidup terbuka bagi masyarakat.

Kita dapat refleksi atas apa yang terjadi di berbagai daerah Indonesia belakangan. Khususnya kala masyarakat menentang eksploitasi daerahnya demi kepentingan penyerapan sumber daya alam. Termasuk dalam area pertambangan ataupun energi bumi.

Benturan persoalan yang mengemuka tak lain karena munculnya berbagai macam konflik berlandaskan kepentingan. Tak lain adalah perihal hak dan kewajiban, baik antara pemerintah dengan masyarakat yang terdampak atau sebaliknya.

Apalagi jika lingkungan eksplorasi memiliki pengaruh penting bagi masyarakat. Faktualnya terhadap masyarakat adat, dengan hak tanah ulayat sebagai area yang kerap dipersengketakan. Maka, tidak hanya modal sosial-keagamaan, jika persoalan hukum dan ham tidak terselesaikan.

Konsesi Tambang Sebagai Resolusi

Modal sosial berbasis keagamaan kiranya menjadi alasan utama konsesi tambang diberikan kepada ormas-ormas agama. Baik bagi Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, yang telah menerima kebijakan Pemerintah tersebut.

Perihal berbagai kritik yang mengemuka bukan menjadi penghambat kebijakan ini direalisasikan. Apalagi jika dua ormas tersebut telah meyakini bahwa pengelolaan tambang akan dapat diproyeksikan demi kemaslahatan bersama.

Resolusi inilah yang kiranya menjadi penting untuk dapat disosialisasikan secara terbuka. Beragam persepsi timbul, tentunya juga memiliki tujuan visioner, dengan narasi membangun. Jadi, semua pihak dapat berperan dalam pengawasan secara moral dan hukum.

Persoalan bagaimana visi dapat dijalankan dengan baik, maka dapat dikatakan poin inilah yang jadi titik baliknya. Berbagai konflik yang mengemuka belakangan ini, rata-rata berkaitan dengan kebijakan perihal eksploitasi alam secara jangka panjang.

Tak luput dengan konflik sosial yang terpantik sebagai akibat dari penerapan kebijakan kelola tambang. Termasuk beragam problematika hukum dan HAM yang kerap menyertainya.

Dimana sebaiknya persoalan tersebut dapat menjadi catatan penting bagi para pemangku kebijakan, dalam pengelolaan sumber daya alam nanti.

Termasuk dalam menyelesaikan beragam krisis multidimensi, baik secara adaptif maupun humanis. Dengan meninggalkan budaya kekerasan, yang kerap dianggap sebagai solusi taktis dalam menyelesaikan suatu konflik.

Wacana Krisis Multidimensi

Kemudian adalah wacana krisi multidimensi, dengan locus sosial, budaya, politik, hingga ekonomi. Tak lain karena fakta penting dalam tinjauan kausalitas. Seperti yang pernah terjadi di Kendeng, Jawa Tengah dan Tumpang Pitu, Jawa Timur.

Penerapan kebijakan taktis yang diterapkan pada masyarakat, justru membuat resistensi semakin kuat mengakar. Bukan justru dapat menyelesaikan persoalan secara paripurna. Pro kontra tentu saja selalu ada, namun upaya meminimalisirnya harus tetap yang utama.

Jika krisis sosial terpantik, maka yang tampak adalah resistensi budaya. Termasuk persoalan ekonomi yang semakin membuat ruang hidup menjadi tereliminasi. Apalagi jika berkaitan dengan wacana kerusakan lingkungan serta dampaknya kepada masyarakat.

Proses penyelesaian dan upaya meminimalisir konflik harus tetap mendapat porsi lebih melalui kebijakan populisnya. Dari pada orientasi yang mengedepankan massa berbasis ormas agama. Aspek inilah yang kiranya menjadi kekhawatiran bersama.

Baik melalui pendekatan sosial ataupun budaya, tanpa harus memaksakan kepentingan secara terbuka. Dalam hal ini, tentu kita tidak tengah bicara siapa yang benar maupun salah dalam paradigma hukum.

Melainkan dalam konteks kemaslahatan bersama, dengan memperhatikan berbagai wacana yang ada. Apalagi berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, sesuai amanat UUD 1945. Baik dalam aspek sosial masyarakat, hingga persoalan krisis iklim yang tengah melanda dunia.

"kita tidak hendak melihat konflik horizontal mengemuka antar anak bangsa atas kepentingan golongan demi eksploitasi sumber daya alam Indonesia".

Semoga bermanfaat, dan terima kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun