Jauh sebelum CCS mengemuka, para pegiat lingkungan di Kendeng pun telah mempersoalkan perihal emisi karbon yang merugikan ini. Bukan perihal regulasi dalam menjalankan program, melainkan solusi menyelamatkan alam dari kerusakan berkelanjutan.
Alih-alih menjadikan sebagai wacana solutif, justru CCS masih diperdebatkan dalam berbagai hal. Tentunya dapat dipahami, bahwa apa yang menjadi solusi kontemporer dalam mengurai persoalan krisis iklim, belum sepenuhnya dapat direalisaikan secara baik.
Selain faktor kebutuhan dalam industri ekstraktif, bangsa ini masih bergelut pada kebijakan penerapan hukum di lapangan. Lantaran masih banyak ditemukan penyimpangan dalam mengatasi limbah industri. Khususnya ketika kajian KLHS dijadikan argumentasinya.
Walaupun dapat diakui, bahwa proyeksi jangka panjang dalam mengurai krisis iklim harus selalu dinarasikan. Namun, tentunya melalui berbagai kajian-kajian akademis dan komprehensif yang memiliki potensi positif bagi alam dan lingkungan hidup sekitarnya.
Bukan sekedar mewacanakan, tanpa mengetahui potensi-potensi yang justru dapat merugikan alam dan lingkungan. Khususnya bagi para aktivis lingkungan, yang tentunya merespon pernyataan ini sebagai wacana negatif dengan berbagai konsekuensinya.
Pun terhadap pemangku kebijakan, yang seharusnya dapat memberi solusi alternatif bagi keberlangsungan alam dan lingkungan. Tanpa unsur politis yang merugikan dan identik dengan kepentingan kelompok/golongan. Meminjam kata-kata dari mas Gunretno;
"Ibu bumi wis maringi, ibu bumi dilarani, ibu bumi kang ngadili". Keberpihakan kepada alam dan lingkungan, kiranya dapat menjadi narasi besar bagi para calon pemimpin bangsa ini. Tanpa harus diangkat sebagai sarana perdebatan semata.
Semoga bermanfaat, salam pemilu damai, dan terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H