Bahkan, nyaris tidak menyetuh hak-hak asasi manusia (rakyat) yang hidup dibawah kekuasaan kolonial Belanda. Hak politik tanpa ada hak asasi, sama halnya dengan menihilkan kesetaraan yang dianggap sebagai salah satu norma penting dalam demokrasi.
Apalagi pada masa pendudukan Jepang. Ruang demokrasi pun dihilangkan seiring ideologi fasis yang diterapkan oleh Jepang ketika menguasai Indonesia. Berbagai bentuk organisasi kerakyatan, agama, dan politik, dihilangkan secara sistemik (Amelia F:2020).
Namun, disitulah pembelajaran penting dapat diambil. Khususnya perihal regulasi pemerintahan yang kelak dapat direalisasikan kala Indonesia mencapai kemerdekaannya. Walau harus melalui gonta-ganti kabinet selama kurun 1945 hingga 1959.
Demokrasi dan HAM masa Orde Lama
Kemudian memasuki masa peralihan kemerdekaan ke masa demorasi terpimpin pada tahun 1959. Ada upaya yang menihilkan aturan main dalam demokrasi, yang tak lain adalah perihal pelaksanaan pemilu. Lantaran Dekrit Presiden 5 Juli 1959 telah diterapkan.
Kebijakan yang dikeluarkan lebih bersifat otoriter dalam skema negara yang cenderung bersifat sosialis/komunis, seperti ungkap Rosihan Anwar dalam "Soekarno, Tentara, dan PKI; Segitiga kekuasaan sebelum prahara politik 1961-1965".
Berbagai macam sikap yang dianggap berlawanan dengan pemerintah, selalu menjadi huru-hara bersifat ideologis. Lantaran pada masa itu ada tiga ideologi besar yang menguasai politik Indonesia. Yakni golongan nasionalis, agama, dan komunis.
Adu kekuatan secara dominan dilakukan melalui berbagai organisasi sayap antar golongan. Iklim demokrasi dan HAM nyaris tidak dapat terealisasi dengan jelas. Lantaran berbagai aksi kekerasan yang terjadi selama kurun waktu 1963-1965 (Kuncoro Hadi:2017).
Sedangkan hukum, berada dalam posisi yang cenderung bersifat politis. Sesuai berbagai temuan yang terjadi kala konflik sosial muncul di masyarakat. Seperti pada kasus penyerbuan pesantren Al Jauhar, Kanigoro oleh kelompok komunis pada Januari 1965.
Para peserta mental training yang melakukan kegiatan di pondok pesantren, justru yang diamankan oleh pihak berwajib. Dengan indikasi (tuduhan) yang diarahkan kepada seorang tokoh Masyumi, sebagai upaya percobaan kup terhadap pemerintah.
Artinya bahwa, ketentuan pada Pasal 28 UUD 1945, pun tidak berlaku pada masa itu. Hak-hak asasi manusia dalam memperoleh kemerdekaan dalam berserikat dan berkumpul, menjadi sebuah hal yang dianggap berbahaya.