Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Perihal Demokrasi dan Hak Asasi Manusia

11 Desember 2023   14:30 Diperbarui: 18 Desember 2023   19:17 1415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi demokrasi dan HAM (sumber: freepik via kompas.com)

Sebagai dasar negara merdeka adalah pengakuan terhadap hak asasi manusia. Dalam konsep memanusiakan manusia yang ada dalam suatu bangsa, yakni Indonesia. Secara umum, hak asasi manusia dapat dipahami sebagai bentuk pengakuan manusia atas segalanya.

Hal ini kiranya telah ditetapkan dalam Preambule UUD 1945, Alenia 1, yang menyoal hak kemerdekaan bagi setiap bangsa dan manusia. Tak terkecuali terhadap hak-hak asasi manusia, baik dalam berbangsa dan bernegara. Khususnya dalam negara demokrasi.

Pun terhadap hak dan kewajibannya sebagai warga negara Indonesia. Aturan yang ditegaskan dalam UUD 1945, Pasal 28, menjadi syarat mutlak bagaimana proses demokrasi dapat selaras dengan penerapan hak asasi manusia.

Demokrasi dan HAM masa Kolonial

Kita tentu tahu bagaimana penegakkan demokrasi pada masa kolonial Belanda nyaris tidak berlaku bagi rakyat Indonesia. Walaupun sebenarnya Belanda mengadopsi demokrasi sebagai regulasi pemerintahan pada negaranya yang monarki-aristokrasi.

Meletusnya berbagai revolusi pemerintahan di Eropa pada akhir abad 19, telah membuat konsep demokrasi sampai pada negeri-negeri jajahan. Kala itu, Indonesia masih dibawah kekuasaan Kerajaan Belanda, tanpa memberi celah bagi perkembangan demokrasi.

Walaupun pada akhirnya demokrasi berkembang di Indonesia, hasil dari kaum intelektual di Eropa. Khususnya Moh. Hatta, yang dianggap sebagai salah satu tokoh penyebar paham demokrasi di Indonesia. Singkatnya Moh. Hatta pun diasingkan oleh Belanda.

Penerapan demokrasi yang berbau kepentingan pemerintah kolonial, seringkali disebut sebagai cikal bakal demokratisasi Indonesia. Lantaran ada sistem regulasi pemerintahan yang kemudian "dibuka" secara terbatas untuk orang-orang pribumi.

Seperti yang dikemukakan oleh Ola Olson dalam jurnal "On the democratic of colonialism". Bahwa demokrasi kolonial merupakan upaya meregulasikan kepentingan ekonomi melalui aturan yang "disepakati" publik demi kepentingan bangsa kolonial.

Ruang demokrasi kala itu, senantiasa diatur guna kepentingan bangsa kolonial. Sekalipun menyertakan para wakil dari kalangan pribumi untuk terlibat dalam mengatur kebijakan publik, seperti yang dikemukakan oleh Moh, Hatta dalam otobiografinya (2011).

Bahkan, nyaris tidak menyetuh hak-hak asasi manusia (rakyat) yang hidup dibawah kekuasaan kolonial Belanda. Hak politik tanpa ada hak asasi, sama halnya dengan menihilkan kesetaraan yang dianggap sebagai salah satu norma penting dalam demokrasi.

Apalagi pada masa pendudukan Jepang. Ruang demokrasi pun dihilangkan seiring ideologi fasis yang diterapkan oleh Jepang ketika menguasai Indonesia. Berbagai bentuk organisasi kerakyatan, agama, dan politik, dihilangkan secara sistemik (Amelia F:2020).

Namun, disitulah pembelajaran penting dapat diambil. Khususnya perihal regulasi pemerintahan yang kelak dapat direalisasikan kala Indonesia mencapai kemerdekaannya. Walau harus melalui gonta-ganti kabinet selama kurun 1945 hingga 1959.

Demokrasi dan HAM masa Orde Lama

Kemudian memasuki masa peralihan kemerdekaan ke masa demorasi terpimpin pada tahun 1959. Ada upaya yang menihilkan aturan main dalam demokrasi, yang tak lain adalah perihal pelaksanaan pemilu. Lantaran Dekrit Presiden 5 Juli 1959 telah diterapkan.

Kebijakan yang dikeluarkan lebih bersifat otoriter dalam skema negara yang cenderung bersifat sosialis/komunis, seperti ungkap Rosihan Anwar dalam "Soekarno, Tentara, dan PKI; Segitiga kekuasaan sebelum prahara politik 1961-1965".

Berbagai macam sikap yang dianggap berlawanan dengan pemerintah, selalu menjadi huru-hara bersifat ideologis. Lantaran pada masa itu ada tiga ideologi besar yang menguasai politik Indonesia. Yakni golongan nasionalis, agama, dan komunis.

Adu kekuatan secara dominan dilakukan melalui berbagai organisasi sayap antar golongan. Iklim demokrasi dan HAM nyaris tidak dapat terealisasi dengan jelas. Lantaran berbagai aksi kekerasan yang terjadi selama kurun waktu 1963-1965 (Kuncoro Hadi:2017).

Sedangkan hukum, berada dalam posisi yang cenderung bersifat politis. Sesuai berbagai temuan yang terjadi kala konflik sosial muncul di masyarakat. Seperti pada kasus penyerbuan pesantren Al Jauhar, Kanigoro oleh kelompok komunis pada Januari 1965.

Para peserta mental training yang melakukan kegiatan di pondok pesantren, justru yang diamankan oleh pihak berwajib. Dengan indikasi (tuduhan) yang diarahkan kepada seorang tokoh Masyumi, sebagai upaya percobaan kup terhadap pemerintah.

Artinya bahwa, ketentuan pada Pasal 28 UUD 1945, pun tidak berlaku pada masa itu. Hak-hak asasi manusia dalam memperoleh kemerdekaan dalam berserikat dan berkumpul, menjadi sebuah hal yang dianggap berbahaya.

Kiranya kita ingat perihal konflik HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dengan CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) yang berafiliasi dengan PKI.

Demokrasi dan HAM masa Orde Baru

Pemilu yang tak lain bertujuan untuk memberi ruang terbuka bagi rakyat memilih pemimpin negara, pun hanya terjadi satu kali, pada tahun 1955. Setelah kebijakan demokrasi terpimpin diterapkan, maka tidak ada pemilu lagi hingga tahun 1971.

Tahun 1971 adalah pemilu kedua yang dilakukan usai prahara 30 September 1965. Setelah Presiden Soeharto mengambil wewenang pemerintahan dari Presiden Soekarno melalui Supersemar pada tahun 1966.

Proses non-demokrasi yang tampak pada masa Orde Baru tak lain adalah kebijakan fusi partai yang diterapkan pada tahun 1973. Hal ini dianggap sebagai penghalang demokratisasi yang dianggap penting kala itu (Tritura). Khususnya dalam hal perombakan kabinet.

Harapan bagi berjalannya demokrasi tak luput dari berbagai peristiwa yang muncul, seperti Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) tahun 1974. Kebijakan pemerintahan kala itu cenderung kepada kekuasaan yang bersifat absolut (Mocthar Lubis:2008).

Penangkapan Hariman Siregar sebagai bukti, bahwa pemerintah menolak adanya berbagai bentuk koreksi dari rakyat. Termasuk pada berbagai peristiwa pelanggaran HAM lain yang belum dianggap selesai hingga kini, seperti Petrus ataupun Tanjung Priok tahun 1984.

Akumulasi persoalan kebangsaan yang menjadi sorotan internasional tak lain menyoal demokratisasi yang dianggap tidak berjalan secara positif. Seperti yang tergambar dalam film dokumenter karya Tino Saroengallo; "Student movement in Indonesian".

Peristiwa Reformasi 1998 pun menyisakan berbagai tanya, tak lain dalam penuntasan aksi kekerasan yang terjadi selama kurun waktu tersebut. Semisal dalam peristiwa Tragedi Semanggi dan Trisakti, pun terhadap adanya penghilangan paksa dari para aktivis 1998.

Hal tersebut tentu menjadi catatan hitam demokrasi yang pernah terjadi pada bangsa ini. Lantaran hingga saat ini, belum ada upaya konkret dari pemerintah dalam penyelesaiannya. Termasuk bagi siapa saja yang terlibat pada kasus-kasus tersebut.

Demokrasi dan HAM masa Reformasi

Reformasi 1998, yang jadi tonggak berakhirnya kekuasaan absolutis, kiranya menjadi bagian penting demokratisasi dapat berjalan dengan lebih baik lagi. Walau faktanya kecenderungan yang tampak adalah pada persoalan regulasi kepemimpinan yang ada.

Seperti perihal kekuasaan pemimpin negara yang cenderung mendominasi setiap gelar pemilu dilaksanakan. Sesuai Pasal 7 UUD 1945 menjelaskan bahwa, seorang pemimpin (Presiden dan Wakil Presiden) menjabat selama 5 tahun, dan dapat dipilih sekali lagi.

Namun, seiring berjalannya pemerintahan, tentu ada saja berbagai bentuk kebijakan yang dianggap tidak sesuai dengan HAM. Khususnya dalam penerapan kebijakan yang bersifat prosedural, melalui berbagai mekanisme hukum yang diberlakukan.

Banyak narasi yang menjelaskan, bahwa semangat dan cita-cita Reformasi telah bergeser saat ini. Pun termasuk sistem demokrasi yang dianggap tidak lagi berjalan dengan baik. Lantaran kritik dianggap sebagai bentuk oposisi yang patut dinihilkan adanya.

Semisal, kasus meninggalnya Munir Said Thalib, seorang aktivis HAM yang dibunuh pada 2004 silam. Demokrasi dan HAM memang identik dengan berbagai kepentingan politik yang berkembang pada setiap masanya.

Kita tentu ingat bagaimana kisah seorang aktivis, Sondang Hutagalung, yang mengkritisi pemerintah dengan aksinya yang tragis. Pun terhadap para pejuang demokrasi yang telah menjadi "pahlawan" selama aksi Reformasi Dikorupsi beberapa waktu lalu.

Bagi para pejuang demokrasi yang gugur, kiranya dapat selalu kita kenang pengorbananya setiap saat. Baik sejak masa Arif Rahman Hakim, Malari, Reformasi, hingga saat ini. Ataupun dari berbagai peristiwa lain yang tidak disebutkan satu per satu disini.

Semua memiliki harapan positif tentunya, bagi keberlangsungan demokrasi di negeri ini. Kebijakan yang seharusnya ditujukan untuk rakyat, ya sudah semestinya berangkat dari rakyat itu sendiri. Bukan justru bersumber dari kepentingan yang bersifat oligarkis.

Dengan menihilkan proses demokratisasi agar dapat berjalan sesuai dengan kaidahnya. Catatan ini kiranya dapat menjadi rujukan dalam peringatan hari Hak Asasi Manusia Sedunia, yang selalu diperingati setiap 10 Desember, sesuai dengan pendekatan sejarah.

Semoga bermanfaat, salam damai, dan terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun