Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Gimmick Politik Dalam Demokratisasi

1 Desember 2023   07:30 Diperbarui: 1 Desember 2023   09:06 749
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi teater peran "gimmick" (sumber: freepik.com)

Kiranya semua Capres dan Cawapres kini tengah bergulat dengan realitas gimmick yang jadi trending. Pun terhadap para barisan pendukung yang memiliki strateginya masing-masing dalam upaya pemenangan calon-calonnya.

Termasuk strategi gimmick politik yang tengah mengemuka saat ini. Baik dalam narasi yang positif atau negatif, sesuai dengan pandangan politik setiap konstituen dalam memberi dukungannya.

Entah terhadap pasangan Anies Baswedan-Cak Imin, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming, ataupun Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

Lantas, benarkah fenomena gimmick politik ini dapat mempengaruhi konstituen dalam Pemilu 2024 mendatang? Dalam cerita pemilih kali ini, realitasnya gimmick telah memberi berbagai kesannya yang beragam. Ada yang pro dan tentu ada pula yang kontra.

Gimmick Dalam Teori Kritis

Sebelumnya, dapat kita kupas terlebih dahulu apa maksud dari gimmick. Dalam pendekatan etimologis, gimmick direpresentasikan sebagai entitas yang lebih kental pada seni peran (teatrikal). Sesuai dengan artikulasinya serupa aksi tipu muslihat (John M. Echols).

Tujuannya tak lain adalah mencari simpati atau keterterikan publik sesuai dengan iklim yang tengah populis. Semacam adegan rekayasa yang dapat menarik perhatian orang. Tanpa harus menterjemahkannya dalam bentuk diksi yang relevan.

Sianne Ngai dalam jurnal "Theory of the Gimmick" (2017), mendeskripsikannya sebagai bagian dari upaya marketing yang negatif. Lantaran dianggap sebagai upaya meningkatkan produktivitas ekonomi tanpa harus melihat realitas pasar.

Selain itu, pengurangan tenaga kerja manusia, melalui sistem market berbasis gimmick, menjadi narasi kritis yang diungkapkan Sianne Ngai, dalam jurnal yang diterbitkan oleh University of Chicago, Amerika, tersebut.

Termasuk dalam alat produksi yang dioptimalkan daripada tenaga kerja. Inilah era dimana kapitalisme mampu bergerak didalam setiap mekanisme pasar. Ditambah peluang di era digital, tak terkecuali terhadap area kebijakan publik, dalam mode yang pragmatis.

Walau lebih menarasikan dalam wujud sinisme, Sianne Ngai menjelaskan lebih rinci dalam produk iklan yang tayang dipasaran. Parodi gimmick yang unik dan dianggap lucu, justru telah menihilkan proses-proses idealistik dalam membangun sebuah gagasan.

Seperti ungkap Theodor Lipps dalam "The Comical and Related Things" (2017); "perasaan lucu, terjadi ketika persiapan pikiran untuk menangkap sesuatu yang dianggapnya menantang ternyata melebihi jumlah usaha yang sebenarnya diperlukan".

Artinya bahwa gimmick yang unik dan menarik, akan lebih mendapatkan responden terbaik daripada memahami terkait proses "sajian" yang dianggap kuno dan menjemukan. Dimana sebagian kalangan justru menganggap gimmick bagian dari kehidupan.

Walau secara nyata gimmick telah menyingkirkan unsur humanisme sebagai antitesa dari orientasinya yang pragmatis. Bukan kepada paradigma yang lebih positif dalam mengembangkan ide yang lebih intelektualis.

Gimmick Dalam Demokratisasi

Secara faktual, teori mengenai gimmick pun nyatanya diterapkan pula dalam mekanisme politik kontemporer. Lantaran sifatnya yang dapat memberikan daya dukung massa secara kuantitatif. Sama halnya dengan pendekatan ekonomi dan dunia hiburan.

Namun, dapatkah politik direpresentasikan sebagai area ekonomi dan dunia hiburan? Kiranya kita pahami bagaimana demokrasi menjelaskan politik yang lebih positif untuk kepentingan publik. Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, seperti ungkap A. Lincoln.

Penggunaan gimmick dalam kegiatan politik tentu dapat ditafsirkan dengan beragam argumentasinya. Tak lain karena daya dukung konstituen yang identik dengan para pelaku pasar dan lekat dengan dunia digital. Kita tentu dapat pahami bagaimana selanjutnya.

Abstraksinya tak lain adalah gimmick yang menarik perhatian publiklah yang berpeluang besar mendapat dukungan. Politik memang tidak bisa dipisahkan dari sisi pragmatis. Lantaran perilakunya yang "menghalalkan" segala cara, seperti kata Niccolo Machiavelli.

Visi dan misi kini tak lagi penting untuk diperdebatkan, serupa dengan masa feodalistik yang identik dengan kuasa dan menguasai. Menihilkan ide, proyeksi, dan perspektif positif dalam membangun bangsa, yang justru menjadi poin penting dalam demokrasi.

Tak lain karena tujuannya adalah untuk masa depan rakyat melalui area politik praktis. Seperti yang selalu dipelajari dari Prof. Miriam Budiardjo, terkait tujuan demokrasi dalam konsep kebangsaan dan bernegara. Termasuk falsafah-falsafah yang mendasarinya.

Bukan sekedar mencari dukungan tanpa memberi "deal" politik kepada rakyat yang jadi konstituen dalam setiap gelar Pemilu. "Janji politik" inilah yang kiranya dapat dijadikan mode check and balance dalam proses Pemerintahan yang demokratis.

Tanpa adanya "deal" politik dengan rakyat, tentu demokratisasi tidak akan dapat berjalan secara positif. Namun, gimmick secara mekanis pun tetap dapat diorientasikan sebagai strategi politik yang positif. Tanpa harus meninggalkan esensi melalui visi misi.

Jika kekuatan visi misi dari masing-masing paslon dapat memberi abstraksi positif bagi para konstituen, maka konsepsi membangun demokratisasi akan dapat terjamin dengan baik. Lagi-lagi demi bahan "koreksi" kala kepemimpinan berjalan di kemudian hari.

Apalagi jika melihat fenomena generasi muda saat ini, yang lebih mengedepankan ketertarikannya pada area digital. Edukasi proses demokratisasi sudah sewajibnya dilakukan oleh para pelaku politik. Dengan cara kolaborasi yang transformatif dan humanis.

Bukan sekedar bermain "marketing", yang justru dapat merugikan konsumennya. Lantaran publik tidak mengetahui apa yang hendak disajikan kelak dalam wujud kebijakan publik. Baik melalui pasangan capres dan cawapres, pun dengan partai politik pendukungnya.

Semoga bermanfaat, salam pemilu damai, dan terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun