Walau lebih menarasikan dalam wujud sinisme, Sianne Ngai menjelaskan lebih rinci dalam produk iklan yang tayang dipasaran. Parodi gimmick yang unik dan dianggap lucu, justru telah menihilkan proses-proses idealistik dalam membangun sebuah gagasan.
Seperti ungkap Theodor Lipps dalam "The Comical and Related Things" (2017); "perasaan lucu, terjadi ketika persiapan pikiran untuk menangkap sesuatu yang dianggapnya menantang ternyata melebihi jumlah usaha yang sebenarnya diperlukan".
Artinya bahwa gimmick yang unik dan menarik, akan lebih mendapatkan responden terbaik daripada memahami terkait proses "sajian" yang dianggap kuno dan menjemukan. Dimana sebagian kalangan justru menganggap gimmick bagian dari kehidupan.
Walau secara nyata gimmick telah menyingkirkan unsur humanisme sebagai antitesa dari orientasinya yang pragmatis. Bukan kepada paradigma yang lebih positif dalam mengembangkan ide yang lebih intelektualis.
Gimmick Dalam Demokratisasi
Secara faktual, teori mengenai gimmick pun nyatanya diterapkan pula dalam mekanisme politik kontemporer. Lantaran sifatnya yang dapat memberikan daya dukung massa secara kuantitatif. Sama halnya dengan pendekatan ekonomi dan dunia hiburan.
Namun, dapatkah politik direpresentasikan sebagai area ekonomi dan dunia hiburan? Kiranya kita pahami bagaimana demokrasi menjelaskan politik yang lebih positif untuk kepentingan publik. Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, seperti ungkap A. Lincoln.
Penggunaan gimmick dalam kegiatan politik tentu dapat ditafsirkan dengan beragam argumentasinya. Tak lain karena daya dukung konstituen yang identik dengan para pelaku pasar dan lekat dengan dunia digital. Kita tentu dapat pahami bagaimana selanjutnya.
Abstraksinya tak lain adalah gimmick yang menarik perhatian publiklah yang berpeluang besar mendapat dukungan. Politik memang tidak bisa dipisahkan dari sisi pragmatis. Lantaran perilakunya yang "menghalalkan" segala cara, seperti kata Niccolo Machiavelli.
Visi dan misi kini tak lagi penting untuk diperdebatkan, serupa dengan masa feodalistik yang identik dengan kuasa dan menguasai. Menihilkan ide, proyeksi, dan perspektif positif dalam membangun bangsa, yang justru menjadi poin penting dalam demokrasi.
Tak lain karena tujuannya adalah untuk masa depan rakyat melalui area politik praktis. Seperti yang selalu dipelajari dari Prof. Miriam Budiardjo, terkait tujuan demokrasi dalam konsep kebangsaan dan bernegara. Termasuk falsafah-falsafah yang mendasarinya.