Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kala TNI Pecah Belah Karena Politik

5 Oktober 2023   05:30 Diperbarui: 5 Oktober 2023   05:40 1330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejarah Tentara Nasional Indonesia (TNI) kiranya telah memberi abstraksi perihal politik tentara. Bahwa sebuah kesatuan bersenjata resmi Republik, pernah terjebak pada politisasi suatu kelompok tertentu. Dimana perihal politisasi pada tubuh TNI ini sebenarnya pun pernah ditentang oleh Jenderal Soedirman. Hingga beliau memilih untuk terlibat dalam kelompok oposisi bersama Tan Malaka.

Tepatnya kala Amir Syarifuddin, seorang tokoh kiri, membentuk kesatuan TNI-Masyarakat pada bulan Agustus 1947. Awalnya memang, pembentukan TNI-Masyarakat ditujukan untuk mewadahi para milisi yang menolak bergabung dengan TNI reguler. Namun, faktanya, kesatuan tersebut justru menampung para milisi yang berafiliasi dengan organisasi komunis kala itu.

Seperti Laskar Pesindo, Laskar Rakyat, Laskar Minyak, dll. Lain hal dengan TNI reguler yang tetap memilih untuk bersikap netral bagi kelompok tertentu. Kecenderungan pemerintah untuk lebih mengamodoir milisi kiri, sedianya telah menuai konflik sejak saat itu. Lagi-lagi karena posisi Amir Syarifuddin, yang menjabat sebagai Menteri Pertahanan.

Kepentingan kelompok kiri sudah tentu jadi prioritasnya. Apalagi kala mendebat kebijakan Rekonstruksi dan Rasionalisasi Hatta, yang menghendaki para milisi untuk melebur menjadi satu kesatuan di tubuh TNI. Tentu dengan syarat yang tidak mudah dilewati, dengan konsekuensi eliminasi dan pelucutan senjata.

Inilah muasal pertentangan antara TNI reguler dengan TNI-Masyarakat, atau antara Amir Syarifuddin dengan Hatta. Latar belakang ideologisnya tentu saja perseteruan politik antara kelompok komunis berhadapan dengan kaum nasionalis. Soe Hok Gie menilai, bahwa sikap politik Amir Syarifuddin merupakan bentuk ketidakpercayaan terhadap TNI secara resmi.

Artinya bahwa, kelompok kiri menganggap dirinya sebagai satu-satunya milisi militan yang mampu menyelamatkan bangsa. Bukan semata-mata karena kepentingan umum, dengan konsepsi berdirinya sebuah negara. Tak lain adalah eksistensi tentara resmi, yang menjadi bagian dari simbol pertahanan sebuah negara.

Satu sisi, Jenderal Soedirman dan Bung Tomo pun berseberangan dengan orientasi politisasi tentara kelompok komunis. Walau pada akhirnya kedua tokoh tersebut lebih memproyeksikan eksistensi TNI pada berbagai front pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan. Pertentangan yang pada akhirnya memuncak kala peristiwa huru-hara di Surakarta pada September 1948.

Ir. Sakirman (kakak Jenderal S. Parman), yang merupakan pemimpin dari TNI-Masyarakat pun terlibat dalam berbagai serangkaian konflik antar pejuang Republik. Khususnya kala peristiwa Madiun meletus, dengan keterlibatan para milisi komunis yang berhadapan dengan pasukan Republik. Banyak diantara mereka yang berhasil ditumpas, pun dengan pasukan dari TNI-Masyarakat.

Jadi, pada prinsipnya memang, pembentukan TNI-Masyarakat hanya untuk menandingi TNI reguler yang dianggap diplomatis. Tidak melulu angkat senjata, dan lebih memilih untuk berunding dengan Belanda. Argumentasi tersebut memang mengemuka, sebagai dalih atas sikap memberontak milisi kiri yang identik dengan kaum revolusioner.

Padahal banyak diantara milisi kiri lainnya yang justru memihak pada strategi pemerintah, seperti Barisan Banteng. Dimana konsep perjuangan atas prinsip mempertahankan kemerdekaan lebih penting daripada urusan politik dan kepentingan kelompok. Selain kita pahami bahwa kelompok komunis kala itu pun tengah terbelah menjadi dua, yakni kelompok Musso dan Tan Malaka.

Usai peristiwa Madiun, TNI-Masyarakat pun dilebur bersama TNI. Adapun anggota-anggotanya secara selektif dipilih dengan pola distribusi. Pun terhadap mereka yang dianggap tidak dapat bergabung. Organisasi kelaskaran yang masih banyak tersebar, menjadi pilihan alternatif untuk meneruskan perjuangannya masing-masing.

Dari kisah ini, kita dapat ambil hikmah, bahwa keterlibatan tentara dalam panggung politik dapat membuat berbagai perspektif dalam sebuah pemerintahan. Khususnya kala kebijakan politis dikeluarkan untuk kepentingan negara dan rakyatnya. Dimana kita pahami bersama hal serupa pun pernah dilaksanakan kembali pada masa Orde Baru, dengan kebijakan Dwifungsi ABRI.

Seperti pesan Jenderal Soedirman, bahwa;

"TNI tidak boleh menjadi alat suatu golongan atau orang siapapun juga".

Tentu ada plus minusnya, keterlibatan tentara dalam politik kenegaraan. Mengingat tugas pokok tentara adalah menjaga kedaulatan bangsa dan negara dari berbagai ancaman. Khususnya demi kepentingan rakyat Indonesia. Apalagi TNI tercatat memiliki sejarah panjang dalam proses pembentukannya.

...

Sejarah panjang terbentuknya TNI dari masa ke masa:

Tanggal 22 Agustus 1945: Badan Keamanan Rakyat dibentuk, sebagai bagian dari upaya negara membentuk angkatan perangnya. Namun, BKR fokus kepada upaya normalisasi kondisi sosial masyarakat pasca Proklamasi Kemerdekaan. Khususnya usai Jepang menyerah kalah kepada sekutu.

Tanggal 5 Oktober 1945: Tentara Keamanan Rakyat dibentuk, sebagai cikal bakal tentara reguler yang memiliki kesatuan khususnya. Seperti TKR Darat, TKR Laut, dan TKR Djawatan Penerbangan. Mobilisasi kesatuan tempur dengan mengandalkan senjata bekas Jepang dan rampasan perang mulai diberlakukan sesuai kesatuannya masing-masing.

Tangal 7 Januari 1946: Tentara Keamanan Rakyat berubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat. Dengan tujuan mempersepsikan bahwa kehadiran tentara guna menolong korban perang di berbagai daerah. Lantaran banyak meletus pertempuran mempertahankan kemerdekaan.

Tanggal 26 Januari 1946: Tentara Keselamatan Rakyat dikembalikan lagi fungsi utamanya sebagai simbol kekuatan negara. Namun dengan nama yang berbeda, yakni Tentara Republik Indonesia atau TRI.

Tanggal 3 Juni 1947: TRI dirubah namanya menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) oleh Bung Karno. Dengan menunjuk Jenderal Soedirman sebagai Panglima Besar TNI.

Tanggal 27 Desember 1949: TNI dirubah namanya menjadi Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Dikarenakan hasil perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB), merubah sistem kenegaraan Indonesia menjadi federasi.

Tanggal 17 Agustus 1950: APRIS dibubarkan seiring bubarnya negara federasi di Indonesia. Angkatan bersenjata pun berubah kembali menjadi Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI).

Tahun 1962: Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dibentuk oleh Presiden Soekarno, dengan penyatuan kepolisian dan tentara pada tubuh angkatan bersenjata. Tujuannya tak lain adalah penyatuan kekuatan bersenjata dibawah Panglima Tertinggi yang kala itu dipegang langsung oleh Presiden Soekarno.

Tahun 1999: Beralihnya masa Orde Baru kepada masa Reformasi, menjadikan kepolisian dipisahkan kembali dengan tentara. Nama ABRI pun dikembalikan lagi menjadi TNI, dan kepolisian berdiri sendiri dengan nama Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).

Secara garis besar, rentang sejarah terbentuknya tentara tak lain adalah untuk kepentingan rakyat semata. Seperti yang pernah dikemukakan oleh Jenderal A.H. Nasution, bahwa: "Tentara yang tidak mendapatkan dukungan rakyat pasti kalah".

Jayalah terus Tentara Nasional Indonesia. Selamat memperingati HUT TNI ke 78. NKRI harga mati. Salam damai, semoga bermanfaat, dan terima kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun