Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sitti Hasanah Nu'mang Menantang Westerling

28 Juli 2021   11:46 Diperbarui: 28 Juli 2021   15:29 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang tidak kenal dengan nama Raymond Westerling? Seorang Kapten Belanda dari kesatuan Depot Speciale Troepen (Depot Pasukan Khusus) yang melakukan pembantaian terhadap ribuan rakyat Sulawesi Selatan.

Usai pengakuan menyerah Jepang pada tahun 1945. Seluruh departemen dan lembaga pemerintahan diambil alih oleh tentara NICA. Mereka datang bersama Sekutu guna mengkondisikan keadaan pasca Perang Dunia II di Indonesia. Tak lebih, hanya ingin menjajah Indonesia kembali tentunya.

Pada akhir bulan Agustus hingga September 1945, NICA mulai mengkondisikan pemerintahan di Sulawesi untuk diambil alih semuanya dari Jepang. Begitu pula dengan tangsi-tangsi militer Jepang beserta seluruh persenjataan yang tersisa. Tentara Jepang benar-benar dilucuti.

Tetapi tidak dengan para pejuang Republik. Mereka tetap mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih Indonesia pada 17 Agustus 1945. Baik dengan jalan diplomasi ataupun bertempur. Ya, diplomasi sambil bertempur, seperti kata Nasution. Hingga pasukan DST itu tiba di Makkasar pada 5 Desember 1946.

Rakyat Sulawesi Selatan Melawan NICA

Seluruh rakyat Sulawesi Selatan menyambut kemerdekaan Indonesia. Mereka mendengar kemerdekaan Indonesia satu hari usai Proklamasi dikumandangkan melalui Andi Ahmad dan secara resmi dikabarkan pada 23 Agustus 1945. Begitu pula dengan keluarga Sitti Hasanah.

Sejak masa Jepang, keluarga Sitti merupakan pejuang kemerdekaan yang gigih menentang segala bentuk penjajahan. Tatkala Indonesia merdeka dan Belanda melalui NICA berupaya kembali lagi menjajah. Tak gentar keluarga Sitti membangun basis gerilya bagi perjuang dirumahnya, Pare-Pare.

Berkali-kali para pasukan NICA mengadakan patroli disekitar kediamannya, berkali-kali pula ia luput dalam penangkapan. Walau bendera Merah Putih disembunyikannya dikolong tempat tidurnya. Dokumen-dokumen penting perjuangan ia simpan didekat dapur, agar mudah dibakar ketika ada penyergapan.

Tentara NICA yang tengah mencari Wolter Monginsidi melakukan tindak kekerasan terhadap rakyat Sulawesi Selatan yang tidak mau bekerjasama. Tidak hanya ditangkapi, tindak kekerasan fisik dan seksual terjadi dimana-mana tanpa ada peraturan militer yang sedikit manusiawi.

Tak sedikit rakyat yang menjadi korban keganasan pasukan DST NICA. Para pejuang Republik yang melancarkan perlawanan secara gerilya juga tidak mampu menolong akibat kalah kekuatan dan persenjataan. Walau sesekali tetap melakukan perlawanan kecil di sekitar Pare-Pare.

Para pemuda yang kedapatan atau dicurigai memiliki akses dengan para pejuang segera ditangkap oleh NICA. Mereka rata-rata dijebloskan di penjara Pare-Pare. Begitu pula dengan keluarga Sitti, pada akhirnya semuanya ditahan dan dipenjarakan.

Sitti Menantang Westerling

Westerling yang mendirikan markasnya di Matoangin, mulai melancarkan serangannya terhadap rakyat Batua, Tanjung Bunga, Kalungkuang, Jongaya, Polombangkeng, Renaja, Komara, hingga Gowa. DST NICA mulai melakukan pembantaian bagi seluruh rakyat Makassar.

Bersama pasukannya ia mengadakan sweeping penduduk tanpa dasar pertimbangan militer yang jelas. Siapapun yang mereka curigai langsung ditembak ditempat. Entah itu orang tua, pemuda, wanita, bahkan anak-anak, tak luput dari pembantaian. Sisanya dikirim ke penjara, untuk diselidiki.

Keluarga Sitti segera ditangkap oleh DST dan dibawa ke Pare-Pare untuk diinterograsi mengenai keterlibatannya dengan pejuang Republik. Mereka semua disiksa di tahanan tanpa ampun, diluar batas kemanusiaan. Hingga pada awal Januari 1947, seluruh pejuang yang tertangkap dieksekusi satu per satu.

Sabtu, 4 Januari 1947, kelompok pejuang Sitti diangkut menuju ke suatu tempat pembantaian. Di hadapan lubang maut, mereka dibariskan. Sitti bersama ayah dan saudara-saudaranya dihadapkan dengan Westerling sebagai algojonya.

Seketika, ayah dan saudara-saudaranya satu per satu gugur diterjang peluru pasukan DST. Tatkala Westerling berhadapan dengan Sitti, justru bukan suara gemetar atau doa yang terdengar. Melainkan sebuah tantangan!

"Heh, Tuan, kami bukan perampok! Tuan-tuanlah yang merampok! Ini adalah negeri kami sendiri!", teriak Sitti seraya mengancam Westerling. "Kamu orang memang keras kepala, tidak mau tunduk sama Belanda! Besok lusa, pasti saya kasih kamu punya bahagian, ya?!!", teriak Westerling yang menunjuk Sitti.

"Kenapa musti menunggu besok, he?!". Entah apa yang ada dibenak Westerling kala itu. Tantangan Sitti memang tidak ia temui ketika berhadapan dengan pejuang di ujung maut. Tak lama ia dibebaskan dengan status tahanan kota oleh tentara NICA di Sulawesi Tenggara.

Sitti Hasanah Nu'mang Pejuang yang Terlupakan

Selama pendudukan NICA di Sulawesi, status tahanan kota serta pengawasan terhadap dirinya tidak membuat Sitti patah arang. Ayah dan saudaranya telah tiada, Ibu dan adik-adiknya membutuhkan biaya untuk hidup. Ia harus mencari uang sambil terus berjuang.

Tentu tidak ada pekerjaan apapun yang didapat. Ia berstatus tahanan politik. Sulawesi sepenuhnya masih berada dibawah kekuasaan Belanda. Walau sudah merdeka, masa inilah yang dikenal sebagai masa mempertahankan kemerdekaan.

Hingga hasil perundingan Konferensi Meja Bundar di tahun 1949 disepakati, berangsur-angsur dominasi Belanda di Sulawesi mulai berkurang. Mereka fokus di Hollandia, Papua, untuk membangun pangkalan perangnya disana.

Sementara itu Sitti sudah tercatat sebagai pengajar di Sekolah Rakyat (SR) sejak pertengahan tahun 1948. Kebetulan, pemilik sekolah adalah seorang tokoh yang mendukung kegiatan para pejuang. Sitti mengajar di SR Wanita Labukkang hingga tahun 1950, karena harus pindah ke Jawa Timur.

Tercatat kurang lebih 40.000 jiwa meninggal dalam upaya penumpasan pejuang Republik  di Sulawesi Selatan. Selama bulan Desember 1946 hingga Maret 1947, DST NICA dibawah komando Westerling bertanggung jawab terhadap tragedi berdarah ini. Keluarga Sitti ada diantara para korbannya.

Ia adalah satu dari puluhan pejuang yang selamat dari tragedi pembantaian di Sulawesi Tenggara oleh Westerling. Para pejuang yang tidak berharap untuk dapat dikenang. Tetapi berharap agar kisah perjuangannya jangan sampai kita lupakan. Khususnya untuk generasi yang akan datang. Semoga mengispirasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun