Sobat muda, apakah ada yang pernah mendengar mengenai mengenai Bulan Jihad seorang penjaga alam Kalimantan dan terlibat dalam perjuangan meraih kemerdekaan Indonesia?. Perjuangannya sangat ditakuti oleh penjajah Belanda hingga Jepang, dan terkenal karena keberaniannya ketika bertempur dengan senjata tradisional, Mandau.
Pulau Kalimantan adalah wilayah yang memiliki kekayaan alam luar biasa berlimpah. Suku Dayak, sebagai suku asli yang mendiami Pulau Kalimantan, sejak dahulu sangat terikat dengan adat yang mewajibkan untuk menjaga tanah leluhurnya. Menjaganya dari kerusakan adalah hal yang utama tentunya.
Seiring datangnya Belanda di Kalimantan sejak tahun 1663, dengan tujuan eksploitasi sumber daya alam, tentu tidak dapat ditoleransi keberadaannya. Walau tujuan utamanya tetap monopoli perdagangan, tetapi persoalan kerusakan lingkunganlah yang kelak menjadi latar belakang beragam peristiwa sejarah disana.
Seperti halnya ketika pertambangan batubara Oranje Nassau di Pengaron, Banjar, yang dibuka oleh Belanda pada tahun 1849. Terjadi perlawanan dari rakyat Banjar pimpinan Pangeran Antasari pada tahun 1859, beserta suku-suku Dayak yang menentang perusakan dan eksploitasi alam di Kalimantan.
Tidak hanya itu, pembukaan lahan-lahan perkebunan yang dianggap merusak tanah leluhur, juga menjadi faktor lain terjadinya konflik antara suku Dayak dengan Belanda. Terlebih ketika eksploitasi alam dilanjutkan dengan membuka lagi pertambangan batubara Julia Hermina dan Kalangan pada tahun 1853.
Eksploitasi Alam dan Keterlibatannya dalam Perang Banjar
Puncak pertikaian itu terjadi pada tahun 1859, rakyat Banjar beserta suku-suku Dayak pedalaman tidak lagi menghendaki terjadinya perusakan alam di tanah leluhurnya. Pertambangan batubara Oranje Nassau dan Julia Hermina yang dianggap telah merusak tanah leluhur harus segera dihentikan.
Batubara yang didapat melalui sistem penggalian dan pembabatan hutan tentu sangat merugikan rakyat tradisional Dayak yang tinggal atau bermukim disekitarnya. Belum lagi masalah asap hasil olahan batubara, yang dapat membuat pertanian rakyat rusak dan sumber air mengering.
Hal ini bukan hanya perkara pertentangan Belanda dengan Kesultanan Banjar. Baik dalam campur tangan politiknya terhadap kebijakan mengenai lahan garap untuk eksplorasi ataupun perihal penyerobotan tanah-tanah adat. Konflik yang terjadi tentu sudah mengarah penyelesaian persoalan lingkungan.
Kehadiran Panglima Burung sendiri diwujudkan melalui seorang perempuan pejuang dari Dayak Kenyah bernama Bulan Jihad. Ia merupakan sahabat seperjuangan Gusti Zaleha dari Kesultanan Banjar yang bahu-membahu menentang kehadiran kolonialis Belanda.
Pada masa ini, Kesultanan Banjar dan suku Dayak memiliki kesepakatan untuk saling menghargai dan tidak saling menyerang, walau menganut kepercayaan yang berbeda.
Tidak main-main, bersama dengan Gusti Zaleha, Bulan Jihad berhasil menghimpun pasukan dari suku-suku Dayak yang tersebar diseluruh tanah Kalimantan. Pasukan dari Dayak Kenyah, Ngaju, Kayan, Dusun, Siang, Bakumpai, Banjar, dan Hulu Sungai, bersatu dalam komando Sang Panglima Burung, Bulan Jihad.
Perang Banjar yang berlangsung sejak tahun 1859 hingga 1906 ini disinyalir telah menimbulkan kerugian besar pada Belanda, yang kehilangan 4000 hingga 5000 pasukannya. Belum lagi biaya perang dengan persenjataan modern yang menguras kas pemerintah kolonial.
Usai meninggalnya Pangeran Antasari, perjuangan melawan kolonialisme dilanjutkan oleh Gusti Muhammad Seman yang didampingi oleh Gusti Zaleha bersama Bulan Jihad sebagai panglima perangnya. Setiap jengkal tanah Kalimantan adalah harga mati yang harus diperjuangkan dengan tebusan nyawa.
Hingga pada tahun 1870-an ekspedisi dan eksploitasi sumber daya alam di kaki Pegunungan Meratus akhirnya dihentikan. Akibat terus terjadinya Perang Banjar yang terjadi dikawasan pertambangan, maka tambang batubara tertua di Indonesia ini pun dinyatakan berhenti beroperasi.
Turut Serta dalam Perang Banjar
Tjilik Riwut pernah bercerita bahwa Panglima Burung adalah seorang pejuang perempuan cantik yang berasal dari Dayak Kenyah, Kalimantan Timur. Ia adalah sahabat Gusti Zaleha, seorang pejuang perempuan yang berasal dari Kesultanan Banjar.
Ia dianggap sebagai Panglima Burung tak lain karena memiliki watak pemersatu dihadapan kelompok-kelompok suku Dayak Kalimantan. Ia juga pelindung dari setiap jengkal hutan yang tengah rusak akibat eksploitasi alam. Perjuangannya tidak hanya melalui senjata, tapi juga merawat dan menjaga lingkungan.
Selain memiliki kesaktian yang tinggi, gerakan kesadaran menjaga lingkungan selalu ia kembangkan di setiap suku Dayak yang ditemuinya. Seperti upayanya menanami kembali area sekitar bekas tambang batubara Oranje Nassau yang telah dirusak oleh Belanda.
Serangkaian aksi penyergapan terhadap pasukan Belanda juga menjadi agenda utamanya ketika berjuang dengan pasukan Banjar. Mandaunya dapat seketika membuat tumbang para pasukan Belanda yang berdiri dihadapannya. Selendangnya pun dapat melukai walau hanya dengan dikibaskannya.
Tak ada istilah takut ketika berhadapan dengan lawan. Bulan Jihad Sang Panglima Burung hadir layaknya dongeng yang tersebar dari tutur rakyat Dayak. Walau bukti-bukti keterlibatannya telah dikemukakan oleh para pelaku dan tokoh sejarah Indonesia.
Menjaga Alam Sepanjang Hidupnya
Gugurnya Gusti Muhammad Seman dalam suatu pertempuran dengan Belanda pada tahun 1905, membuat Gusti Zaleha menyerah kepada Belanda. Tetapi tidak dengan Bulan Jihad, ia meneruskan perjuangan dengan para pasukan Dayak yang senantiasa mengikutinya.
Sang Panglima Burung semakin melegenda, ketika pos-pos Belanda terus saja mendapatkan serangan dari pasukan Bulan Jihad. Kesaktiannya memang sungguh luar biasa, bahkan ketika pendudukan Jepang, para tentara fasis enggan bersentuhan dengannya.
Hal ini dibuktikan dengan tujuan Jepang yang hanya berupaya untuk menguasai minyak bumi di Tarakan. Mereka enggan untuk mengeksploitasi pedalaman hutan Kalimantan. Menghadapi Sang Panglima Burung adalah hal sia-sia dan merugikan.
Pedalaman hutan Kalimantan adalah rumahnya, yang harus terus ia jaga dari segala bentuk kolonialisasi ataupun eksploitasi alam. Hingga pada Januari 1954 ia memutuskan untuk turun gunung guna mencari informasi tentang keberadaan sahabatnya Gusti Zaleha.
Kemunculannya yang terakhir itu pernah dicatat oleh Pemerintahan Muara Joloi, dan tak lama kemudian ia kembali lagi masuk hutan untuk selama-lamanya. Eksotisme hutan Kalimantan mengiringi kembalinya Sang Panglima Burung untuk terus menjaga tanah kelahirannya.
Dengan harapan untuk para generasi muda, agar dapat mewarisi semangat juangnya. Untuk dapat terus menjaga alam, dari segala kerusakan dan perusakan, semuanya telah ia buktikan untuk Indonesia. Semoga hutan Kalimantan tetap terus terjaga dan terlindungi dari segala upaya eksplitasi alam.
Wallahualam, semoga menginspirasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H