Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) punya analisa beberapa model Politik Dinasti yang ada di tanah air (sumber: Didik Gunawan Suharto dkk., "Pilkada, Politik Dinasti, dan Korupsi, 1997).
Pertama, model arisan. Ini merupakan model kekuasaan yang menggumpal dalam satu trah keluarga yang berjalan turun-temurun. Hal ini banyak dijumpai pada jabatan Lurah atau Kepala Desa.
Kedua, model lintas kamar. Artinya ada pembagian atau cabang kekuasaan. Misalnya, dalam satu keluarga, ada yang menjadi Walikota/Bupati. Anggota keluarga yang lain menduduki posisi sentral di DPRD atau di sektor lain di pemerintahan.
Ketiga, model lintas daerah. Model ini mengisyaratkan adanya anggota keluarga yang menjadi pemimpin daerah tidak di satu wilayah yang sama. Ia bisa ada di sembarang tempat, namun sebenarnya masih punya darah kekerabatan yang sama.
Demokrasi Sehat nan Cerdas
Namanya kekuasaan itu sensitif. Sejarah cukup banyak mengulasnya. Terlebih misalnya di era Nusantara ketika masih berdiri banyak kerajaan. Ambisi kekuasaan seseorang bisa mengorbankan sebanyak-banyak penduduknya.
Terjadinya Dinasti Politik, pertama-tama adalah sarana melanggengkan kekuasaan untuk melindungi kepentingan yang sedang dirancang. Gagasan awal itu tidak boleh mengalami kemerosotan, atau bahkan punah dalam sekejab hanya gegara gagal mempertahankan kekuasan mayoritas yang diraih sebelumnya.
Pada prinsip dasar seperti ini, tentulah pantas untuk dipahami. Dasar dan bangunan yang baik dan belum selesai dalam satu masa pemerintahan, harus bisa dilanjutkan oleh kepemimpinan berikutnya yang punya visi-misi yang sama atau setingkat pemahamannya.
Namun jika Dinasti Politik kemudian mengarah pada jalan yang berbeda dan berubah haluan, maka itu pantas untuk dihentikan. Tak ada ruang bagi penguasa yang hanya berambisi melanggengkan kepentingan pribadi dan kelompok terdekat dalam lingkaran kekuasaan yang dibangunnya.
Tentu, pilihan itu akhirnya kembali berpulang pada rakyat sebagai pemegang suara tertinggi dalam prinsip hidup berdemokrasi. Â Tapi, yang pasti, supaya kehidupan demokrasi kita makin bernas dan sehat, maka cerdaslah dalam memilih calon pemimpin bangsa.
Ia berpotensi meneruskan gagasan kebaikan dari kepemimpinan sebelumnya yang pro kesejahteraan bersama? Ataukah calon penguasa yang terindikasi hanya ingin menjadikan kekuasaan sebagai alat membangun trah kepentingan elite pribadi?