Memaknai PengampunanÂ
Rekonsiliasi atau perdamaian di antara kedua belah pihak yang bertikai, apakah bisa dengan mudah dilakukan? Ini tidak saja dalam konteks seperti kasus di atas, namun bisa pula dalam pembahasan yang lebih umum.
Tentu saja tidak. Apalagi jika yang ditanya adalah pihak korban. "Kok enak mau berdamai? Saya sudah rugi banyak ini!" Mungkin demikian jawaban yang muncul dalam hati, yang tak bisa terkatakan karena berbagai alasan.
Luka diri, luka batin, tak akan dengan mudah hilang begitu saja. Apalagi jika "jalan damai" itu dilakukan di bawah "teror atau ancaman". Suatu saat "dendam" atas ingatan peristiwa pahit yang melukai hati bisa muncul kembali.
Apakah itu nanti bisa meledak atau makin terpendam, tergantung situasi dan kondisi yang mempengaruhinya. Ada faktor internal dan eksternal yang bisa menjadi pemantiknya.
***
Dalam upaya sebuah "perdamaian", konflik batin paling terasa ada di pihak korban. Mereka yang merasa jadi pihak terkalahkan. Ketika upaya mengembalikan keharmonisan, salah satu langkah yang dilakukan adalah mau memaafkan. Mengampuni pihak yang telah melakukan kesalahan padanya.
Mengampuni ini apakah berarti melupakan? Menganggap persoalan sebelumnya seperti tak ada? Simpel saja pertanyaan ini. Namun, jawabannya yang tak mudah.
Ambillah dari sudut pandang kita sebagai pihak yang dirugikan. Orang lain yang mencari gegara, pembuat masalah. Orang lain yang membuat luka lara. Dengan melepaskan pengampunan, berarti berusaha untuk melupakan peristiwa yang sudah terjadi; alias tidak mau lagi mengingatnya?
Nah, apakah mungkin itu dilakukan dengan begitu mudahnya? Butuh proses penerimaan diri dan cara pandang yang 'visioner'. Kualitas hidup yang begini, amat jarang bisa dijumpai dalam kenyataan.