Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Waisak, Kemajemukan, dan Pesan Cinta Kasih Melalui Pengampunan

18 Mei 2022   18:00 Diperbarui: 18 Mei 2022   18:01 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelepasan lampion, salah satu tradisi perayaan Hari Waisak di Candi Borobudur (foto: Kompas.com)

Lha di Sorga, Gusti Allah tak bertanya: 'Agamamu apa di dunia?' Tapi Ia bertanya: 'Di dunia kamu berbuat apa?'

'Tatkala saya haus apa kowe kasih minum?' Segantang air menyegarkan jiwa musafir 

'Tatkala saya lapar apa kowe kasih makan?' Sesuap nasi mengenyangkan jiwa musafir yang lapar dan dahaga mengarungi jagad raya

Bukan dendam kesumat kita kembang-biakkan tapi kasih sayang melambari tiap tindakan

(Linus Suryadi dalam Pengakuan Pariyem)

 

April dan Mei. Dua bulan ini, perayaan hari besar keagamaan saling berurutan datangnya. Bahkan waktunya bisa saling berdekatan.

Pertengahan April lalu, ada Pekan Paskah dan disusul Kenaikan Yesus Kristus di bulan Mei, bagi umat Kristiani. Lalu ada Idul Fitri bagi umat Islam di awal Mei. Dan di pertengahan bulan yang sama ini, ada Trisuci Waisak 2566 BE.

Potret keberagamaan dalam keberagaman masyarakat Indonesia yang majemuk, sesungguhnya disadari umat beriman sebagai sebuah karunia yang indah. Beberapa media ketika momen Idul Fitri bahkan banyak mengisahkan keindahan ini dalam liputan atau pemberitaan utamanya (baca: Kerukunan, Potret Indah Kebersamaan di Hari Lebaran).

Sayang, potret yang indah tadi sedikit tercoreng oleh kejadian yang ada di NTB. Pasalnya, malam takbiran digegerkan dengan kasus SARA yang menimpa umat Buddha. Ada peristiwa "persekusi dan bakar-bakar" bangunan. Kasus ini tentu saja "diredam" untuk mendinginkan suasana. Biar damai kembali antara kedua belah pihak yang bertikai.

Kolase tangkapan layar berita kasus SARA di NTB yang menimpa umat Buddha (dok. pribadi)
Kolase tangkapan layar berita kasus SARA di NTB yang menimpa umat Buddha (dok. pribadi)

Memaknai Pengampunan 

Rekonsiliasi atau perdamaian di antara kedua belah pihak yang bertikai, apakah bisa dengan mudah dilakukan? Ini tidak saja dalam konteks seperti kasus di atas, namun bisa pula dalam pembahasan yang lebih umum.

Tentu saja tidak. Apalagi jika yang ditanya adalah pihak korban. "Kok enak mau berdamai? Saya sudah rugi banyak ini!" Mungkin demikian jawaban yang muncul dalam hati, yang tak bisa terkatakan karena berbagai alasan.

Luka diri, luka batin, tak akan dengan mudah hilang begitu saja. Apalagi jika "jalan damai" itu dilakukan di bawah "teror atau ancaman". Suatu saat "dendam" atas ingatan peristiwa pahit yang melukai hati bisa muncul kembali.

Apakah itu nanti bisa meledak atau makin terpendam, tergantung situasi dan kondisi yang mempengaruhinya. Ada faktor internal dan eksternal yang bisa menjadi pemantiknya.

***

Dalam upaya sebuah "perdamaian", konflik batin paling terasa ada di pihak korban. Mereka yang merasa jadi pihak terkalahkan. Ketika upaya mengembalikan keharmonisan, salah satu langkah yang dilakukan adalah mau memaafkan. Mengampuni pihak yang telah melakukan kesalahan padanya.

Mengampuni ini apakah berarti melupakan? Menganggap persoalan sebelumnya seperti tak ada? Simpel saja pertanyaan ini. Namun, jawabannya yang tak mudah.

Ambillah dari sudut pandang kita sebagai pihak yang dirugikan. Orang lain yang mencari gegara, pembuat masalah. Orang lain yang membuat luka lara. Dengan melepaskan pengampunan, berarti berusaha untuk melupakan peristiwa yang sudah terjadi; alias tidak mau lagi mengingatnya?

Nah, apakah mungkin itu dilakukan dengan begitu mudahnya? Butuh proses penerimaan diri dan cara pandang yang 'visioner'. Kualitas hidup yang begini, amat jarang bisa dijumpai dalam kenyataan.

***  

Salah satu nama yang barangkali bisa menjadi inspirasi adalah Nelson Mandela. Ia dikenal sebagai tokoh dunia dengan perilakunya yang terkenal dengan paham "forgive but don't forget!".  Maafkan tapi jangan lupakan!.

Tokoh karismatik dari Afrika Selatan ini sudah kenyang dalam kehidupan di penjara. Selama 27 tahun ia mendekam di sana. Dibebaskan tahun 1990 saat usianya sudah senja, 72 tahun.

Mandela memelopori rekonsiliasi bangsanya dengan cara 'mengampuni' lawan-lawan politiknya. Sebagai presiden terpilih kemudian, ia jusstru menunjuk F.W. de Klerk sebagai wakil presidennya. Klerk adalah presiden yang digantikannya, presiden berkulit putih di era terakhir politik apartheid di Afrika Selatan.

"Mengampuni bukan berarti melupakan," terang Mandela. Hal itu untuk mengingatkan, ada masa lalu yang gelap dan pahit. Sekarang, perlu belajar kembali agar jangan sampai peristiwa yang sama itu terulang kembali.

Memulihkan Relasi

Pengalaman hidup, entah itu baik atau buruk; suka atau duka; gembira atau sedih; kesemuanya akan terekam dalam memori alias ingatan sepanjang hayat. Memaafkan, mengampuni, tidaklah sama seperti orang menghapus file-file sampah  yang ada dalam hard disk komputer atau memori hape. Tinggal di-delete, dihapus, beres dan selesai. Kosong dan lega lagi memori yang sebelumnya penuh dengan sampah itu.

Bagaimana melihat relasi antara dua orang/pihak/kelompok yang sebelumnya berseteru telah mengalami pemulihan? Tak terlalu sulit sebenarnya. Tengok saja, apakah hubungan antara keduanya dapat terbangun/terbina lagi tanpa ada gangguan yang berarti. Jika masih ada, rekonsiliasi hanya terjadi di atas kertas atau semanis ucapan belaka.

***

Menarik untuk mencermati renungan Waisak 2022 yang disusun oleh tim Mimbar Agama Buddha dari Kementerian Agama (Kemenag) RI. Secara umum dalam konteks kebangsaan juga menyoroti soal kemajemukan yang ada di dalamnya. Etnis dan agama yang berbeda memiliki dua dimensi kontras sebagai perekat atau sumber pemecah belah.

Kemajemukan ibarat taman sari. Beraneka ragam bunga ada di dalamnya. Memperindah sehingga tidak membosankan.

Perbedaan yang ada jika dipolitisasi dengan mempertajam identitas dalam konteks negatif, sanggup memecah belah persatuan. Benturan konflik yang terpolarisasi dalam aspek primordial akan memicu sentimen negatif sesama anak bangsa.

Identitas yang berbeda tidak mungkin dihapuskan melalui penyeragaman, karena itu semakin kontraproduktif. Persatuan bangsa bukan lahir dari penyeragaman, melainkan dari kesadaran akan  keberagaman yang saling melengkapi dan membutuhkan.

"Cinta kasih merupakan wujud nyata ajaran agama Buddha dalam menjunjung tinggi nilai pluralisme dan toleransi pada sesama manusia. Sang Buddha mengajarkan untuk melihat semua orang bagaikan kerabat terdekat kita sendiri."

Atas dasar itulah, seperti berkaca pada diri sendiri. Saat orang lain mendambakan kebahagiaan dan tak menginginkan adanya penderitaan, tak seharusnya di saat yang sama merebut kebahagiaan itu dengan cara menyakiti dan membenci mereka.

***

Konflik sebisa mungkin dihindari. Hidup harmoni bersama dalam rumah kebhinnekaan, tentu saja jadi dambaan. Namun kemungkinan gesekan pasti akan ada saja. Suatu saat akan terjadi dan berulang.

Menyelesaikan konflik dengan cara rekonsiliasi dan permaafan di antara para pihak adalah salah satu cara terbaik yang dapat dilakukan. Perlu kerendahan hati untuk bisa saling berkomunikasi dan menemukan titik temu atas persoalan yang terjadi.

Pengampunan yang sejati memang tidak semata-mata melupakan kasus yang tengah berlangsung. Namun setidaknya, dengan memberi pengampunan, jalan kebaikan kembali pada keharmonisan bisa terjadi.

Selamat merayakan keindahan keberagaman dalam Hari Waisak 2022. Sabbe Satt Bhavantu Sukhitatt. Semoga Semua Makhluk Hidup Berbahagia...

18 Mei 2022

Hendra Setiawan

*)  Bacaan:  PikiranRakyat,  TribunNews,  BBC

**)  Terkait sebelumnya:  

Merawat Ingatan, Melawan Lupa Tragedi Mei 1998

Lebaran, Ketika Persaudaraan Mengalahkan Paham Intoleran

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun