Lho, kok tumben ya pasarnya lebih sepi hari ini? Padahal biasanya jam-jam pagi begini, untuk jalan saja mengantri. Ini terlihat lebih longgar.
Tunggu-tunggu... pada ke mana pedagang tahu dan tempe? Sama sekali tak terlihat satupun. Menjelajah dari ujung jalan yang satu ke ujung jalan yang lain kok sama juga.
Wah, jangan-jangan ini ada mogok lagi. Pedagang tidak berjualan karena harga kedelai melonjak lagi.
Ya, ternyata benar juga. Di salah satu bagian pasar ternyata ada tulisan yang mengatakan begitu. Pengrajin tahu dan tempe serta pedagang melakukan mogok kerja serentak selama 3 hari. Jadi puasa dulu deh....
Naiknya harga bahan baku kedelai dari semula 8 ribu menjadi 11 ribu ditengarai menjadi faktor utama aksi mogok serentak ini.
Â
Kasus Lawas yang Belum Tuntas Tertangani
Tahu dan tempe adalah makanan dominan penduduk negeri ini. Tetapi menghilangnya tahu dan tempe di pasaran selama 3 hari pertama dalam pekan ini (21-24 Februari 2022) menimbulkan beragam pertanyaan.
Nah sebenarnya faktor apa saja yang menyebabkan tahu tempe langka semacam ini?
1. Kualitas dan kuantitas kedelai lokal masih kalah dengan kedelai impor
Sudah jamak diketahui bahwa bahan baku kedelai untuk membuat tahu dan tempe didominasi oleh produk impor, terutama dari AS. Nah kalau sudah tahu begtu, mengapa tidak menggunakan kedelai produksi lokal saja?
Produksi kedelai lokal (dalam negeri) masih kalah jauh jumlahnya. Selain itu secara mutu juga kalah dengan kedelai impor.
Kedelai lokal secara bentuk tidak begitu bagus. Tidak bulat utuh dan seragam.
Di samping itu juga banyak yang kopong. Sebagian di antaranya banyak yang berlubang-lubang terkena OPT (organisme pengganggu tanaman).
Kondisi yang demikian jika dipakai untuk membuat tahu dan tempe, hasilnya tidak bisa sebagus kedelai impor.
2. Produktivitas kedelai lokal tak mampu menyaingi kedelai impor
Pertanyaan selanjutnya, mengapa tidak bisa meningkatkan produksi kedelai dalam negeri? Bukankah lahan pertanian kita juga cukup luas?
Penjelasan dari praktisi, orang lapangan, para petani, boleh jadi akan membuka wawasan orang awam.
Penjelasan sederhananya begini. Kedelai itu sebenarnya tanaman subtropis. Indonesia secara geografis berada di wilayah iklim tropis.
Jadi meskipun kedelai bisa ditanam, dibudidayakan di sini, tetapi hasilnya tidak sebagus jika sesuai dengan habitat tumbuhnya. Makanya kualitas kedelai lokal ukurannya lebih kecil ketimbang kedelai impor.
Produktivitas kedelai di Indonesia hanya mampu menghasilkan 1,5-2 ton per hektar. Sedangkan produktivitas di AS bisa mencapai 4 ton per hektar.
Produktivitas di AS bisa lebih tinggi lantaran tanaman kedelai bisa mendapatkan penyinaran matahari sampai sekitar 16 jam. Sementara, di Indonesia hanya mampu berkisar 12 jam sehari.
3. Petani enggan menanam kedelai
Faktor lainnya yang menjadi persoalan adalah para petani kita setelah bertanam padi, mereka lebih memilih untuk bertanam jagung daripada kedelai. Mengapa begitu? Sebab hasilnya lebih menguntungkan secara nominal.
Kedua tanaman ini sebenarnya sama-sama bisa tumbuh tanpa ketersediaan air yang tinggi. Jagung dan kedelai sama-sama membutuhkan cahaya matahari yang banyak dalam proses pertumbuhannya.
Namun dalam hal perawatan, OPT pada tanaman jagung tidaklah sebesar kedelai. Jagung dibiarkan begitu saja masih bisa tumbuh, walaupun tidak optimal.
Perlakuan pada tanaman kedelai tidak bisa seperti itu. Kedelai membutuhkan ekstra perawatan. Sebab OPT-nya jauh lebih banyak dan lebih bervariasi.
Petani membutuhkan intervensi dalam hal pengadaan bibit, pupuk, obat, dan juga penjualan pasca panen. Hal ini yang seringkali menjadi momok petani sehingga enggan dan beralih pada tanaman lain yang dirasa lebih menguntungkan hasilnya.
Menanam kedelai banyak ruginya. Tidak sebanding antara biaya pemasukan dan pengeluaran. Ambil contoh harga benih kedelai 9 ribu/kg. Tetapi ketika ada panen raya, harga jual kedelai anjlok menjadi 6-7 ribu/kg.
Apes tenan....
Â
Populer tapi Tak Populis
Ya, tahu dan tempe adalah dua makanan terpopuler di Indonesia. Namun ironisnya, bahan baku utama ternyata masih harus impor. Kementerian Pertanian mencatat, ada sekitar 86,4% kebutuhan kedelai yang berasal dari impor. Perhitungan BPS, impor kedelai ini jumlahnya sebesar 2,48 juta ton. Asumsi nilainya mencapai US$ 1 miliar.
Badan Pusat Statistik (BPS), karena kepopuleran dua sejoli makanan rakyat ini, juga mencatat rerata setiap penduduk Indonesia mengonsumsi 0,152 kg tahu dalam sepekan. Sedangkan tempe sebanyak 0,139 kg per-pekan.
Mengapa kedelai impor masih menjadi andalan? Sebab kedelai lokal memiliki kelemahan di dalam pengolahannya. Seperti ukurannya yang kecil dan tidak seragam; berbanding terbalik dengan kedelai impor.
Pada proses pembuatan tempe misalnya. Kulit ari yang sulit terkelupas pada saat pencucian kedelai membuat peragian menjadi lebih lama. Setelah jadi berbentuk tempe, proses pengukusan juga lebih lama empuknya.
Menilik ke belakang, Indonesia sebenarnya pernah berjaya dengan berswasembada kedelai di tahun 1990-1992. Produksi kedelai Indonesia sempat mencapai 1,6 -1,8 juta ton per tahun. Namun kini, produksi kedelai jauh merosot, hanya berkisar 600.000 ton per tahun.
Jadi kira-kira begitulah cerita tahu dan tempe yang sempat menghilang selama tiga  hari pertama dalam pekan ini. Sebagai obat rindu dan rasa kangen masyarakat, begitu pedagang berjualan lagi, sontak mereka diserbu oleh para pembelinya.
Waduh, yang antri Buibu. Jadi rebutan; saya ngalah saja dulu... :)
27 Februari 2022
Hendra Setiawan
Â
*) Sumber tulisan:Â dialog radio Suara Surabaya, Â Katadata, Â Kompas
**) Â Sebelumnya: Â Masalah Pengeras Suara dan Matinya Tenggang Rasa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H