Ya, tahu dan tempe adalah dua makanan terpopuler di Indonesia. Namun ironisnya, bahan baku utama ternyata masih harus impor. Kementerian Pertanian mencatat, ada sekitar 86,4% kebutuhan kedelai yang berasal dari impor. Perhitungan BPS, impor kedelai ini jumlahnya sebesar 2,48 juta ton. Asumsi nilainya mencapai US$ 1 miliar.
Badan Pusat Statistik (BPS), karena kepopuleran dua sejoli makanan rakyat ini, juga mencatat rerata setiap penduduk Indonesia mengonsumsi 0,152 kg tahu dalam sepekan. Sedangkan tempe sebanyak 0,139 kg per-pekan.
Mengapa kedelai impor masih menjadi andalan? Sebab kedelai lokal memiliki kelemahan di dalam pengolahannya. Seperti ukurannya yang kecil dan tidak seragam; berbanding terbalik dengan kedelai impor.
Pada proses pembuatan tempe misalnya. Kulit ari yang sulit terkelupas pada saat pencucian kedelai membuat peragian menjadi lebih lama. Setelah jadi berbentuk tempe, proses pengukusan juga lebih lama empuknya.
Menilik ke belakang, Indonesia sebenarnya pernah berjaya dengan berswasembada kedelai di tahun 1990-1992. Produksi kedelai Indonesia sempat mencapai 1,6 -1,8 juta ton per tahun. Namun kini, produksi kedelai jauh merosot, hanya berkisar 600.000 ton per tahun.
Jadi kira-kira begitulah cerita tahu dan tempe yang sempat menghilang selama tiga  hari pertama dalam pekan ini. Sebagai obat rindu dan rasa kangen masyarakat, begitu pedagang berjualan lagi, sontak mereka diserbu oleh para pembelinya.
Waduh, yang antri Buibu. Jadi rebutan; saya ngalah saja dulu... :)
27 Februari 2022
Hendra Setiawan
Â
*) Sumber tulisan:Â dialog radio Suara Surabaya, Â Katadata, Â Kompas