Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masalah Pengeras Suara dan Matinya Tenggang Rasa

27 Februari 2022   15:00 Diperbarui: 27 Februari 2022   15:05 616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nyanyiku tetap untukmu walau kau tak suka (ilustrasi via Instagram @katakitaig)

Hahaha.... gambar di atas seandainya tak ditambahi kata-kata 'satir' di atasnya, sebenarnya tak terlalu menjadi persoalan serius. Masih bisa mencerna atau memahai bahasa gambar.

Namun karena ada tambahan tulisan di atasnya, jadinya malah lucu. Persis menggambarkan konteks kehidupan yang ada masa kini. Bagaimana pemaksaan kehendak dibungkus dengan kalimat sakti ‘toleransi’.

“Bagiku nyanyiku. Bagimu nyanyimu. Tapi kamu harus menikmati nyanyianku.” 

Meme dari film kartun Doraemon ini betul-betul realistis. Menjadi sebuah sindiran telak.

Bagi yang pernah mengalami langsung, pasti akan merasa terhibur. Bagaimana bisa katanya menghargai orang lain bernyanyi atau punya lagu kesukaan sendiri. Tetapi di sisi lain memaksa mereka untuk menikmati lagunya sendiri.

 

Pengaturan Pengeras Suara

Isu yang lagi hits belakangan ini adalah dikeluarkannya Surat Edaran Nomor SE. 05 Tahun 2022 Tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala dari kementerian agama. Niat baik dari Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Agama teranyar republik ini rupanya menjadi bias informasi di sebagian kalangan masyarakat.

Akibatnya, niat baik yang hendak memberikan pedoman biar tidak terjadi ‘kebisingan’ dari alat pengeras suara, mendapatkan penentangan. Pokok persoalannya melebar kepada hal yang berada di luar konteks, materi peraturan yang disebutkan.

Penjelasan dari Gus Yaqut yang ditanggapi secara sepotong dari analogi yang disampaikannya, menjadi isu yang santer diperbincangkan. Ya, tak heran sih. Panggung politik kan begitu. Tak asyik kalau tak jadi polemik.

 

Alat Pengeras Suara dan Soal Tenggang Rasa

Dalam pelajaran biologi, sering diajarkan masalah polusi udara. Itu berbahaya bagi kesehatan manusia.

Nah, selain polusi udara, ada pula polusi lain yang juga bisa mengganggu kesehatan. Polusi itu bernama suara. Suara yang bising, yang mengganggu indera pendengaran.

Gangguan ini kalau dalam persoalan kehidupan secara komunal dalam masyarakat yang bertetangga, tentu bisa merenggangkan hubungan baik.

Makanya, menjadi pelajaran penting kalau bunyi-bunyian yang dihasilkan dari alat pengeras suara juga berpotensi menjadi polusi, menjadi masalah jika diperhadapkan di ruang publik.

Sekali dua kali masih bisa dimaklumi. Misalnya ada tetangga punya hajatan. Tidak setiap hari.

Tetapi kalau setiap hari ada tetangga yang membunyikan suara (misalnya lagu-lagu yang bertema itu-itu melulu) dengan amat keras dari speaker miliknya sendiri, wah... siap-siap saja dimusuhi oleh tetangga terdekatnya.

Pembiaran kecil, lama-lama kalau menumpuk, suatu ketika akan meledak menjadi sebuah persoalan yang besar. Makanya, penting dalam hidup sosial bermasyarakat untuk memiliki kepekaan.

Sadar diri untuk punya tenggang rasa. Sebuah sikap atau tindakan etis untuk dapat menghormati orang lain yang berbeda. Berbeda cara pandang atau selera atau hal-hal lain yang menjadi sumber perbedaan. Menghormati tapi tidak juga dengan menyinggung, menyakiti, melukai mereka. Seperti tergambar dalam meme di atas.


Analogi Cerita

Anggaplah begini. Di sebuah kantor, ada orang yang senangnya pada lagu-lagu lawas, tempo dulu. Karena usianya sudah senior, masa hidupnya sesuai dengan masa keluarnya lagu-lagu tadi.

Tapi di situ, juga ada anak-anak muda, yang lebih yunior. Jelas soal selera musik dan lagu-lagu yang akrab di telinga juga berbeda.

Kalau dua generasi ini sama-sama berada dalam dunianya sendiri. Mendengar selera musik sesuai dengan masanya sendiri, tak akan terjadi apa-apa.

Namun akan terjadi gesekan ketika misalnya, si senior lantas membunyikan secara keras lagu-lagu kesukaannya. Turut bernyanyi di dalamnya. Enjoy menikmatinya.

Tetapi dalam pendengaran si yunior, suaranya jelek, fals, tak sesuai kunci nada, dan seterusnya. Mengganggu bingits...

Nah, suatu saat ada yunior yang protes. Tapi karena merasa kalah usia dan kalah power, permintaannya tidak segarang jika dilakukan pada rekan sebayanya. “Pak, tolong dong, volume musiknya dikecilkan.”

Sejurus dengan itu, si yunior malah seakan disemprot balik. “Lha, lagu kesukaan saya, kok kamu protes. Ya, jangan didengarkan.”

Lha..?! Memangnya bisa? Ruang publik dianggap seperi ruang privat. Jelas jawaban yang bukan pada tempatnya.

Permintaan yunior hanyalah memohon senior supaya menurunkan volume alat pengeras suaranya. Bukan memintanya untuk mematikan sarananya.

Maksudnya adalah supaya terjadi “ketertiban” di ruang bersama. Biar sama-sama merasa nyaman dalam bekerja, beraktivitas harian.

Pengalihan Isu

Jelas sebenarnya antara meminta pengaturan volume suara dengan melarang orang dalam mendengarkan suara musik.

Rutinitas tetap bisa berjalan seperti biasanya. Tetapi juga menjaga supaya tetap ada harmoni dalam hubungan sosial bersama.

Sehingga jatuhnya bukan untuk menang-menangan. Merasa yang paling senior, dia menang. Merasa yang mayoritas dengan mudah menjajah yang minoritas.

Tidak menjawab persoalan yang disampaikan, namun mengalihkan isu di luar konteks adalah pilihan dan sikap batin yang buruk. Menganggap orang yang berbeda pandang dan selera sebagai “musuh” pengganggu kesenangan. Merasa diri tak lagi dihargai sebagai pihak yang berhak mengatur ruang publik.

Nah, lebih runyam lagi jika orang-orang yang merasa sebagai ‘penguasa ruang publik’ ini tampil bersama-sama. Betapa bertambah gaduh dan bisingnya.

Coba saja bayangkan kalau sama-sama bertahan pada ego. Ada “perang volume” suara. Suara-suara yang dihasilkan dari speaker saling bertumpang-tindih.

Justru tak bisa dinikmati keindahan dari masing-masing bunyi suara yang dihasilkannya. Jelas tidak ada kenyamanan sama sekali jika itu terjadi.

Hidup dalam lingkungan sosial yang terdiri dari beragam perbedaan, kemajemukan; semestinya juga mengedepankan prinsip tenggang rasa. Menghormati tanpa saling melukai.

Selamat menikmati ketenangan dan kenyamanan di libur panjang pekan ini...

27 Februari 2022

Hendra Setiawan

*)  Sebelumnya:   Trilogi I - Si Vis Pacem Para Bellum (Mau Damai? Ayo Perang!)

Artikel lain:  Menyusuri Likupang, Potensi Pariwisata di Ujung Utara Indonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun