Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Jangan Gengsi dan Malu dengan "Bahasa Ibu"

22 Februari 2022   16:30 Diperbarui: 22 Februari 2022   16:44 688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berbeda bahasa tapi mempersatukan (gambar: pixabay.com/doki7)

Kemarin, saya absen menulis. Rasanya seperti punya hutang karena tak bisa membuat "one day one article".

Tak apalah, saya juga cukup senang karena tulisan terakhir "Trending ala Livi: Muda, Kaya, Bahagia" sanggup nangkring menjadi "Terpopuler" kategori "Lyfe". Juga menjadi turut trending di posisi kedua pada kategori umum. Haha..., ikutan trending dari yang membuat trending.

Pada ilustrasi gambar paling akhir di artikel itu, pada tangkapan layar cuitan Livi terlihat bahagia dengan keberadaan teman yang berasal dari dua kota di Indonesia: Semarang dan Surabaya. Dari statusnya di Twitter dituliskan, "My fiends in Sydney dari Semarang & SBY, lucu bangett mereka ajarin aku jawa", sembari menutupnya dengan emoticon.

Kata-kata dalam bahasa Jawa yang dituliskan Livi antara lain: "Ayuu kabehh" dan "Ga karuwaaann." Juga "JANCOK!!"

Kolase tangkapan layar twitter @livyyrenata
Kolase tangkapan layar twitter @livyyrenata

Hahaha... yang terakhir ini pasti tahu dari mana kosakata ini berasal. Kalau yang merasa asli Surabaya, pasti tahu artinya apa. Buat yang tak paham, kata itu bukan cuma punya arti tunggal seperti rusuh, umpatan kemarahan. Sebenarnya netral, tergantung kalimat yang digunakan. Jadi bisa dimaknai hubungan kedekatan, atau malah pujian.

 

Hari Bahasa Ibu Internasional

Pada tanggal 21 Februari kemarin, sebenarnya ada peristiwa penting terkait dengan bahasa. Ada namanya peringatan "Hari Bahasa Ibu Internasional."

Bahasa Ibu sendiri bisa diartikan sebagai bahasa lokal, bahasa adat, bahasa komunitas. Ia bisa ada di wilayah tertentu, atau bisa pula dituturkan oleh orang-orang tertentu, walaupun tidak berada/tinggal di satu lingkup wilayah tersebut.

Misalnya bahasa Jawa tadi. Orang yang tinggal di luar negeri bisa mempergunakan Bahasa Ibu-nya. Bukan semata orang Jawa yang tinggal di Jawa.

PBB menetapkan peringatan ini bertujuan untuk mengajak masyarakat dunia untuk bisa melestarikan sekaligus melindungi bahasa lokal yang digunakan sejak lahir. Walaupun ada beragam bahasa di dunia, namun PBB hendak memproklamasikan persatuan melalui keragaman bahasa.

Awalnya hal ini melalui mandat dari badan PBB, UNESCO (1999) yang berusaha untuk melestarikan perbedaan budaya dan bahasa sebagai penggerak toleransi antar sesama. Hal itu dipandang penting karena keberagaman bahasa keberadaannya mulai terancam dan makin banyaknya bahasa yang hilang.

Secara global, 40% populasi tidak memiliki akses pendidikan karena tidak menggunakan atau memahami bahasa yang digunakan. Karena itu, UNESCO bersama PBB terus membuat kemajuan di bidang pendidikan, khususnya multibahasa.

Diharapkan, masyarakat bisa hadir melalui bahasa yang mereka gunakan. Sekaligus melestarikan pengetahuan dan budaya tradisional secara berkelanjutan.

UNESCO percaya pendidikan berbasis bahasa harus dimulai sejak usia dini. Selain itu, penggunaan teknologi untuk pembelajaran multibahasa juga bisa memiliki peluang, namun juga sekaligus menjadi tantangan.

Oleh karena itulah maka tema Hari Bahasa Ibu Internasional 2022 adalah: "Menggunakan Teknologi untuk Pembelajaran Multibahasa: Tantangan dan Peluang." Tema ini bermaksud untuk mengangkat peran teknologi dalam memajukan pendidikan multibahasa serta mendukung pengembangan pengajaran yang berkualitas.

                                                                     

Bahasa Ibu, Sengaja Ditinggalkan (?)

Omong-omong soal Bahasa Ibu, sebagai orang yang lahir di tanah Jawa, bahasa Jawa tentu saja menjadi Bahasa Ibu bagi saya. Namun jujur saja saya malu kalau ada pakar Bahasa Jawa yang ternyata berasal dari luar negeri. Ia justru lebih pintar berbahasa Jawa ketimbang orang Jawa asli.

Flashback, ini kisah nyata. Peristiwanya sudah lama, lebih dari dua dekade. Sebutlah namanya, Dr. Christian Gossweiler. Pria kelahiran Pforzheim/ Baden, Jerman yang sudah jadi WNI ini justru tampil menjadi pembicara utama dalam salah satu seminar/talk show di Surabaya. Kebetulan saya mengikuti acara yang juga diliput beberapa media lokal.

Haha... memalukan! Menurut Gossweiler, keluarga memiliki peran penting dalam keberlangsungan sebuah bahasa. Bahasa itu bisa lestari atau musnah karena keluarga. "Daripada saya mengajar anak saya bahasa Jawa yang grotal-gratul, nanti malah salah. Lebih baik pakai bahasa Indonesia saja."

Menanggapi alasan klasik seperti ini, dosen di salah satu PTK di Ungaran ini justru malah menantangnya sekalian. "Apakah Anda yakin bahasa Indonesia yang Anda ajarkan benar 100%? Justru yang paling aman, Anda tidak usah mengajar bahasa apa-apa, karena bahasa apapun mesti ada yang keliru."

Dalam bahasa Jawa ia menuturkan, "Lantaran perfeksionisme kados mekaten, tiyang Jawi dados mungsuh utami kangge basanipun piyambak, badhe mejani basanipunbasanipun piyambak."

Arti bahasa Indonesianya, "Karena perfeksionisme seperti ini, orang Jawa menjadi musuh utama bahasanya sendiri, mereka akan menghancurkan bahasanya sendiri."

Selain faktor internal, faktor eksternal adalah pengaruh globalisasi. Ketimbang belajar Bahasa Jawa, mending belajar bahasa internasional seperti Inggris dan bahasa pergaulan global lainnya.

Perkuat Bahasa Ibu

Memiliki kemampuan Bahasa Ibu sebenarnya menyenangkan. Kita jadi tahu juga budaya lokal yang ada. Tradisi yang masih hidup dan dipertahankan.

Ke tempat wisata atau lagi kuliner-an, kalau saling memahami Bahasa Ibu, bisa dapat diskon, haha....

Tak usah malu dan gengsi dengan Bahasa Ibu yang kita miliki. Justru kalau bisa adalah mewariskannya kepada generasi penerus.

Bahasa Ibu adalah khas dan unik. Ia menjadi  pertanda sebuah peradaban. Kalau hilang, kita tak bisa belajar sumber sejarah yang tertulis dalam Bahasa Ibu.

Seandainya pun kalau mau ke luar negeri, cukup modal bahasa Jawa untuk sekadar pergi ke Suriname, hehe....

Masih bisa dikaitkan dengan HPN (Hari Pers Nasional) 2022 juga,  pers atau media sebenarnya juga bisa mendorong keberlangsungan Bahasa Ibu melalui salah satu kolom atau kanal khusus yang disediakan. Saya percaya pasti itu ada peminatnya sendiri. Dengan begitu, orang juga turut belajar untuk mengerti, dari semula yang tidak tahu.

Oh, ya, tolong, kalau ada orang luar yang tidak ngerti Bahasa Ibu suatu daerah, jangan diberi contoh bahasa yang 'ngadi-ngadi' (aneh-aneh). Memang sih, terdengar lucu bagi yang paham, tapi itu saru, wkwkwk...

Salam cinta dalam bahasa yang ber-bhinneka....

22 Februari 2022

Hendra Setiawan

*)  Bacaan:  NewsDetik,  Majalah DUTA 

**)  Sebelumnya:  Trending ala Livi: Muda, Kaya, Bahagia

Artikel Utama:  Mengapa Bertahan "Demi Cinta"?


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun