Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Hukum yang Memerdekakan: "Maafkan Saya karena Telah Melaporkan Pencuri"

10 September 2021   18:00 Diperbarui: 10 September 2021   18:00 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada banyak kasus hukum yang menyita perhatian publik. Kasus pertama, misalnya seorang lansia divonis bersalah karena dianggap mencuri kayu di lahan milik korporasi (perusahaan). Padahal ia merasa itu milik mendiang suaminya, ditanam di pekarangannya sendiri.

Kasus kedua, ada tersangka korupsi divonis lebih ringan dari tuntutan jaksa karena dianggap masih memiliki anak kecil (balita). Atau juga terdakwa ini hukumannya diperingan karena sebelumnya telah mendapatkan cyber bullying dari warganet. 

Sesuatu yang cukup ‘aneh’ karena selama ini yang jamak dikenal adalah karena faktor terdakwa berkelakuan baik dan kooperatif selama masa persidangan.

Nah, kasus hukum terbaru pekan ini –sebut saja ketiga- terjadi di Blitar, Jawa Timur. Justru bisa jadi pertanyaan, karena pihak korban meminta maaf karena telah melaporkan si pencuri ke polisi. Padahal memang benar, si pencuri ini tertangkap tangan. Inipun bukan kasus pertama, karena sebelumnya juga terjadi dan oleh pelaku yang sama.

Jadi kalau begitu, model hukum apakah yang ada di Indonesia? Menerapkan aturan secara ketat, dianggap salah dan tak berkeadilan seperti contoh kasus pertama. Dilonggarkan, jadinya seperti kasus kedua, yang juga bisa dianggap tak adil bagi sebagian besar orang. 

Dan ada lagi model ketiga berupa pemaafan atau perdamaian. Kasus tak berlanjut ke persidangan dan dianggap selesai secara kekeluargaan.

Alasan Pemaaf dan Alasan Pembenar

Jujur harus diakui bahwa adab masyarakat Indonesia akan lebih berpihak kepada mereka yang secara ekonomi dan fisik lebih lemah. Jadi kalau ada dua pihak berperkara, kecenderungan untuk mendukung yang jadi ‘korban’ akan terasa lebih kuat. 

Terlepas dari duduk perkara itu sendiri, sebenarnya siapa yang berada di posisi lebih benar secara hukum.

Kasus pencurian termasuk dalam ranah hukum pidana. Ancaman hukumannya paling lama 5 (lima) tahun. Itu prinsip umum pemidanaan yang diatur dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana).

Tentunya kalau ada hal-hal yang lebih spesifik, aturan ini bisa memperberat ancaman hukumannya. Misalnya pencurian itu dilakukan di malam hari, pencurian yang disertai kekerasan, dan seterusnya.

Namun, dalam penerapan hukum ini juga memberikan ‘jalan lain’ apakah si pelaku dapat ‘diampuni’ kesalahannya tadi. Hal ini dikenal sebagai nama “Alasan pemaaf dan Alasan Pembenar”.

Artinya, ada kalanya dalam keadaan tertentu, hakim tidak dapat mengadili pelaku pidana atau menjatuhkan hukuman terhadapnya. “Dasar peniadaan hukuman” ini merupakan alasan penghapus pidana.

Enak dong? Tentu saja tidak, karena syaratnya juga tidak mudah untuk mendapatkannya. Untuk ‘Alasan Pembenar’, UU memberikan 4 jenis perbuatan, yaitu: karena (a) daya paksa Pasal 48 KUHP); (b) pembelaan terpaksa (Pasal 49 Ayat (1) KUHP); (c)  sebab menjalankan perintah undang-undang (Pasal 50 KUHP); dan (d)  sebab menjalankan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 Ayat (1) KUHP).

Sedangkan untuk ‘Alasan Pemaaf’, UU juga memberikan 4 jenis perbuatan, yaitu: (a) ketidakmampuan bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP);  (b) daya paksa (Pasal 48 KUHP);  (c) pembelaaan terpaksa yang melampaui batas (Pasal 49 Ayat (2) KUHP); dan (d)  menjalankan perintah jabatan tanpa wewenang (Pasal 51 Ayat (2) KUHP).

Apa beda dari kedua hal ini? ‘Alasan Pembenar’ artinya alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum dari suatu tindak pidana. Ini bersifat obyektif dan melekat pada perbuatannya atau hal-hal lain di luar batin si pelaku.

Sedangkan “Alasan Pemaaf” berarti alasan yang menghapuskan kesalahan dari pelaku tindak pidana. Ini bersifat subjektif dan melekat pada diri orangnya, khususnya mengenai sikap batin sebelum atau pada saat akan berbuat.

 

Delik Aduan dan Asas Restorative Justice

Dalam perkara pidana, pemrosesan perkara di tingkat lebih lanjut dapat dilihat dari ‘delik’-nya. Buat awam, kata ini diserap dari bahasa Latin, yakni “delictum”. Dalam bahasa lainnya, di Jerman disebut “delict”, dalam bahasa Prancis disebut “delit”, dan dalam bahasa Belanda disebut “delict”.

Delik sendiri menurut KBBI adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang; tindak pidana. Delik ini ada dua jenis, yaitu "delik biasa" dan "delik aduan".

Delik aduan artinya sebuah ‘kasus’ baru dapat diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana. Misalnya: perzinahan, penghinaan, pencemaran nama baik, pelanggaran HAKI (hak atas kekayaan intelektual), pencurian dalam keluarga.

Delik biasa berarti sebuah dalam sebuah kasus atau perkara dapat diproses walaupun tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban). Misalnya: penganiayaan, pembunuhan, pencurian (pada umumnya), perampokan, penggelapan, pemerkosaan.

Nah, kembali pada kasus pencurian 65 item barang yang terjadi di Blitar, bukankah semestinya kasus ini termasuk “delik biasa”? Walaupun si korban juga melakukan pengaduan dan kemudian mencabut kembali laporannya. Bukankah ada ‘kewajiban’ bagi penegak hukum untuk melanjutkan kasusnya walaupun telah ada ‘perdamaian’ di antara para pihak?

Hal ini jelas berbeda jika perkaranya termasuk delik aduan. Selama korban dan tersangka belum “berdamai”, laporan juga belum dicabut, perkara masih berjalan. Kecuali sebaliknya, proses hukum akan berhenti. Selesai.

Perdamaian antara korban dan tersangka alias pelaku tindak pidana secara emosional atau pendekatan humanis dalam adat budaya bangsa Indonesia adalah hal yang lumrah. 

Apalagi ada anggapan kuat, masuk ke persidangan itu lama proses waktunya. Tentunya juga akan memakan biaya yang besar. Jadi lebih baik kalau bisa diselesaikan secara kekeluargaan saja. Lebih simpel waktunya dan tak dana yang dibutuhkan juga bisa lebih sedikit.

Namun demikian, sebenarnya ketentuan tertulis secara tersurat atas hal ini tidaklah diketemukan dalam sistem hukum kita. Model pendekatan hukum dalam menyelesaikan tindak pidana di tingkat penyidikan ala  "restorative justice"  nampaknya menjadi alternatif jalan tengah guna memenuhi asas ketertiban dan keadilan dalam hukum.

Restorative Justice  -sebagaimana  dikemukakan pihak penyidik yang menangani kasus ini- secara sederhana diartikan sebagai sebuah pendekatan yang bertujuan untuk membangun sistem peradilan pidana yang peka tentang masalah korban. 

Model pendekatan ini muncul sebagai bentuk kritik terhadap sistem peradilan pidana yang cenderung mengarah pada tujuan “retributif”. Apakah itu? Pemidanaan yang menekankan pada pembalasan dan mengabaikan peran korban dalam terlibat menentukan proses perkaranya.

Model penerapan restorative justice yang dikembangkan ini sebetulnya berasal dari telegram (surat edaran) Kapolri yang terbit pada 22 Februari 2021 lalu.  Tindak pidana ini secara khusus terkait pada pengenaan UU ITE. Kasus-kasus pencemaran nama baik, fitnah, atau penghinaan dapat dilakukan melalui restorative justice. Sehingga penyidik Polri tidak perlu melakukan penahanan pada seseorang.

Namun tindak pidana yang mengandung unsur SARA, kebencian terhadap golongan atau agama dan diskriminasi ras dan etnis, serta penyebaran berita bohong yang menimbulkan keonaran, tidak dapat diselesaikan dengan restorative justice.

Interpretasi Hukum

Dalam pemberitaan di media, korban pencurian pada akhirnya mencabut laporan dan akhirnya berdamai dengan pelaku. Tentu saja aneka ragam komentar warganet bermunculan. 

Seperti, mengapa korban justru meminta maaf? Bukankah yang salah itu pelaku pencuriannya? Kalau pencurinya mengulang perbuatannya, bukannya itu jadi 'profesi'? Mengapa tidak dihukum saja biar jera? Dan seterusnya...

Sebagai pembaca yang juga tidak mengetahui persis kejadian di balik layarnya, tentu hal ini juga bisa menjadi ‘preseden’ (model) penanganan kasus pidana serupa. 

Model pendekatan hukum ini akan berkutat kembali pada persoalan klasiknya. 

Aturan hukum akankah dilaksanakan secara rigid (sakleg, kaku, sesuai bunyi pasal) ataukah bisa lentur? Rigid untuk kepastian hukum atau lentur untuk memenuhi rasa keadilan. Adu kekuatan paham yang memang tak mudah untuk mempertemukannya.

10 September 2021

Hendra Setiawan

*)  Bacaan:  Kompas-regional,  Kompas-nasional,  LBH-Unpar,  DoktorHukum,  HukumOnline

**)  Sebelumnya:  Playing Victim, Bentuk Penghindaran Rasa Bersalah dan Tanggung Jawab

***)  Artikel Utama:  Childfree, Pilihan Bebas yang Tak Bebas Nilai

Haus Tak Hilang Walaupun Sudah Minum, Waspada Dehidrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun