Namun buat catatan, bukan berarti ia jadi bermulut manis. Konteksnya berbeda. Kalau itu adalah orang yang suka obral janji.
b. Ajining Raga saka Busana
Kalau kata ini sudah mirip dengan Bahasa Indonesia. Busana (baca: busono) yang berarti pakaian, sandang.
Maknanya berpakaianlah yang sopan, sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Bukan 'saltum' (salah kostum), kalau pinjam bahasa generasi now.
Misalnya kalau menghadiri pesta pernikahan saja, memilih busana terbaik. Masa ke rumah ibadah, pakaian yang dikenakan seperti orang mau main atau tidur. Kan ya gak pantas, begitu...
Kalau mau ketemuan dengan teman akrab, mau pakai celana pendek, kaos oblong, tak jadi soal. Tapi, apa ya disamakan kalau mau bertandang ke rumah guru, camer (calon mertua), kantor, perusahaan. Tak mungkin, kan? Justru malah dipertanyakan, “Nih anak niat gak...”
Walaupun dalam konteks kekinian, pakaian juga tidak bisa sepenuhnya menjadi identitas kelas sosial (dipakai untuk mengelabhi, menipu), tapi setidaknya dengan mengenakan pakaian yang sesuai waktu dan tempat, bisa menunjukkan harga diri yang juga sesuai.
c. Ajining Awak saka Tumindak
Nah, kalau ini, awak dan tumindak berarti diri dan perbuatan. Keduanya perlu berjalan beriringan.
Makna dari ungkapan atau bebasan (peribahasa) ini adalah mengenai cara seseorang bertindak di hadapan orang lain atau banyak orang. Misalnya kalau dulu untuk mengungkapkan rasa hormat dengan cara membungkukkan badan. Kalau sekarang jika dirasa sudah tak mungkin, bisa dengan membudayakan 3S: "senyum, sapa, dan salam".
Tapi rasanya kalau senyum di era pandemi sudah tak bisa, ya? Kan ketutup masker? Tegurlah sapa, itu juga bisa menunjukkan kualitas diri lewat tindakan yang baik. Misalnya: “Permisi, Pak/Bu.” Atau cukup sapa, “Mbak, Mas...” ketika sedang lewat.