Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Menafsir Kultur Peribahasa

11 Juni 2021   16:30 Diperbarui: 14 Juni 2021   02:00 838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi kata-kata yang berhamburan dari buku. (sumber: pixabay.com/Paul_Stachowiak)

Masih berlanjut soal peribahasa. Dalam kehidupan sosial, peribahasa yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, bisa memiliki tafsir yang berbeda ketika ia diciptakan. Jadi ada perubahan, peluruhan, atau perluasan makna dari yang semula ada.

Pernah tahu atau dengar yang namanya grup musik Weird Genius? Grup musik asal Indonesia yang melejit dengan lagunya “Lathi” pada tahun 2020 lalu? 

Sara Fajira yang ikut berkolaborasi dan menciptakan liriknya, ternyata memasukkan pula peribahasa dalam budaya Jawa. Walaupun secara keseluruhannya berbahasa Inggris.

Awal-awal kemunculannya memang sempat membuat pertanyaan. Lagu ini tentang apa sebenarnya? Mengapa bisa sampai meledak, viral, dan mendapat banyak penghargaan? Bahkan ia merajai selama 6 pekan tangga lagu Top 50 Chart Spotify Indonesia.

Dua baris lirik dari lagu ini berbunyi demikian (termasuk terjemahannya).

Kowe ra isa (baca: iso) mlayu saka (baca: soko) kesalahan.  Artinya, kamu tidak bisa lari dari kesalahan.
Ajining diri ana ing lathi.  Artinya, harga diri seseorang ada pada lidahnya (perkataannya)

Konteks lagu ini oleh penciptanya dihubungkan dengan masalah cinta. Hubungan percintaan yang bersifat toxic relationship. Hubungan yang membuat salah satu pihak merasa tidak didukung, direndahkan, atau diserang.

Menggairahkan Lagi Kultur Budaya 

Sumber: pixabay.com
Sumber: pixabay.com
Dalam kultur Jawa, pendidikan tata krama, sopan-santun, moralitas, sebenarnya amat banyak. Dimulai dari bangun tidur hingga tidur lagi, ada. Dimulai dari bayi lahir hingga orang meninggal, juga ada.

Tapi memang ajaran leluhur ini turun dari generasi satu ke generasi lain, pengetahuannya makin berkurang. Tidak menyalahkan siapa-siapa atau menjadi sebuah keprihatinan semata. Sebab semua pihak juga punya peran dalam meneruskan atau menghilangkan ajaran nenek moyang.

Generasi terdahulu tidak mengajari pada generasi terkemudian. Maka jatuh lagi ke generasi terkini, makin berkurang lagi pemahamannya. 

Belum lagi ditambah peran 'agamawan' yang terkadang justru seenaknya menafsir ayat KItab Suci. Budaya itu bertentangan nilai agama. Jauhi, jangan dipakai, dan seterusnya. Seakan budaya yang lebih dulu hidup dan tumbuh itu, dicabut dari akarnya. Mati.

Jadi senyampang masih ada anak-anak muda yang masih mau dan bisa meneruskan budaya nenek moyangnya, patutlah dihargai. Dalam hal ini tentu bukan cuma yang dari suku Jawa, tapi dari suku-suku Nusantara. Kasus yang memang banyak dialami dan serupa permasalahannya.

Tafsir Narasi

Kembali pada teks di atas, kata "Ajining dhiri saka lathi" sebenarnya juga penggalan dari kalimat yang utuh. Setidaknya ada tiga bagian yang terkait dari peribahasa ini.  Kedua adalah "Ajining raga saka busana." Ketiga, "Ajining awak saka tumindak."

1. Ajining Dhiri saka Lathi

Jika dipecah berdasarkan katanya, ajining dhiri berarti harga diri. Saka  (baca: soko) artinya dari. Sedangkan lathi berarti lidah.

Kata ini mengandung makna harga diri seseorang bisa dilihat dari perkataannya, ucapannya.

Lathi sendiri adalah istilah tingkatan bahasa yang halus (dipakai untuk orang yang lebih tua). Dalam pemakaian bahasa umum, tingkat pertama (dipakai oang sebaya) adalah ilat. Artinya sama semua, yaitu lidah.

Tentu ada bermacam ungkapan peribahasa yang lain jika dalam versi bahasa Indonesia. Misalnya: lidah tidak bertulang, bercabang lidah, bersilat lidah, dan lain-lain.

Artinya lidah itu peka. Salah omong, bisa jadi perkara. Orang yang suka berkata-kata tapi suka ingkar janji bisa dikatakan pembohong.

Jadi, pesannya adalah jagalah lidah. Bertutur-katalah yang baik. Harga dirimu bisa terlihat dari ucapanmu. Ucapan yang keluar dari mulut yang baik, sopan; secara tak langsung akan mencitrakan orang yang baik pula.

Namun buat catatan, bukan berarti ia jadi bermulut manis. Konteksnya berbeda. Kalau itu adalah orang yang suka obral janji.

b. Ajining Raga saka Busana

Kalau kata ini sudah mirip dengan Bahasa Indonesia. Busana (baca: busono) yang berarti pakaian, sandang.

Maknanya berpakaianlah yang sopan, sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Bukan 'saltum' (salah kostum), kalau pinjam bahasa generasi now.

Misalnya kalau menghadiri pesta pernikahan saja, memilih busana terbaik. Masa ke rumah ibadah, pakaian yang dikenakan seperti orang mau main atau tidur. Kan ya gak pantas, begitu...

Kalau mau ketemuan dengan teman akrab, mau pakai celana pendek, kaos oblong, tak jadi soal. Tapi, apa ya disamakan kalau mau bertandang ke rumah guru, camer (calon mertua), kantor, perusahaan. Tak mungkin, kan? Justru malah dipertanyakan, “Nih anak niat gak...”

Walaupun dalam konteks kekinian, pakaian juga tidak bisa sepenuhnya menjadi identitas kelas sosial (dipakai untuk mengelabhi, menipu), tapi setidaknya dengan mengenakan pakaian yang sesuai waktu dan tempat, bisa menunjukkan harga diri yang juga sesuai.

c. Ajining Awak saka Tumindak

Nah, kalau ini, awak dan tumindak berarti diri dan perbuatan. Keduanya perlu berjalan beriringan.

Makna dari ungkapan atau bebasan (peribahasa) ini adalah mengenai cara seseorang bertindak di hadapan orang lain atau banyak orang. Misalnya kalau dulu untuk mengungkapkan rasa hormat dengan cara membungkukkan badan. Kalau sekarang jika dirasa sudah tak mungkin, bisa dengan membudayakan 3S: "senyum, sapa, dan salam".

Tapi rasanya kalau senyum di era pandemi sudah tak bisa, ya? Kan ketutup masker? Tegurlah sapa, itu juga bisa menunjukkan kualitas diri lewat tindakan yang baik. Misalnya: “Permisi, Pak/Bu.” Atau cukup sapa, “Mbak, Mas...” ketika sedang lewat.

Cara ini sederhana tapi efektif. Orang yang akan disapa (kalau hatinya pas baik :) pasti akan membalas balik. “Ya, silakan.” Atau kalau bahasa Jawa, biasanya, “Nggih, mangga (baca: monggo)...”

***

Ketiga hal di atas tentunya saling terkait. Bisa melakukan ketiganya secara bersama, jauh lebih baik. Apalagi sebagai manusia sosial yang berinteraksi dengan beragam macam karakter orang.

Menjaga kualitas diri lewat ucapan, pakaian, dan tindakan; tentu punya nilai diri positif dari orang yang melakukannya. Hal yang baik itu tentunya akan bisa membawa dampak yang positif juga bagi sekitar.

Mari, tetaplah berbuat baik....

11 Juni 2021
Hendra Setiawan

*) Sebelumnya:

Peribahasa dalam Keseharian

Peribahasa dalam Musik Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun