Waisak dirayakan setiap bulan Mei, tepatnya pada waktu terang bulan atau dengan istilah lain yaitu Purnama Sidhi. Tahun 2021 ini jatuh pada hari ini, Rabu, tanggal 26 yang secara astronomi bertepatan dengan adanya gerhana bulan.
Waisak sendiri sebenarnya memperingati tiga peristiwa penting yang terkait dengan sosok utama pembawa/penyebar agama Budha, Sang Siddharta Gautama. Makanya, peringatan ini juga disebut sebagai Trisuci Waisak.
1. Lahirnya Pangeran Siddharta
Secara keturunan, Pangeran Siddharta adalah seorang putra dari pasangan Raja Sudodhana dan Ratu Mahamaya yang lahir di Taman Lumbini pada tahun 623 sebelum Masehi. Kelahirannya ini untuk menjadi seorang Bodhisattva yaitu calon Buddha yang akan mencapai kebahagiaan tertinggi.
2. Pangeran Siddharta mencapai Penerangan Agung
Pada usia 29 tahun, Pangeran Siddharta pernah pergi meninggalkan istana untuk mencari kebebasan dari umur tua, sakit dan mati. Hal ini tepatnya saat Purnama Sidhi bulan Waisak yang jatuh pada 588 sebelum Masehi. Pangeran Siddharta mencapai Penerangan Agung serta mendapat gelar sebagai Buddha.
3. Pencapaian Parinibbana
Di usia 80 tahun, Sang Buddha wafat atau mencapai parinibbana di Kusinara pada 543 sebelum Masehi. Para pengikutnya pun melakukan sujud sebagai bentuk penghormatan terakhir kepada Sang Buddha.
Tiga peristiwa yang melandasi sejarah Hari Waisak ini diputuskan dalam Konferensi Persaudaraan Buddhis Sedunia (World Fellowship of Buddhists-WFB ) di Sri Lanka pada 1950.
Pindapatta, Ritual dan Tradisi pra-WaisakÂ
Sama seperti umat Kristen ada tradisi puasa 40 hari sebelum Paskah, umat Islam dengan 30 hari puasa sebelum Idul Fitri. Maka, umat Budha punya tradisi Pindapatta sebelum merayakan Waisak.
Saya baru tahu hal ini ketika digelar tradisi ini di jalan raya dekat dengan kantor sekretariat umat Budha, dekat Kampus C Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, beberapa tahun lalu.
Tentu, acara ini menjadi tontonan masyarakat umum. Mereka dengan sabar menunggu saat dimulainya kegiatan ini hingga selesai.
Apa yang terjadi di sana? Para umat menyediakan berbagai macam makanan yang diberikan kepada para pendeta Budha (biksu dan biksuni). Mereka secara bergantian atau berombongan, berjalan telanjang kaki berkeliling. Menuju pada tempat umat bersiap sedia memberikan sesuatu yang telah dipersiapkan sebelumnya. Seperti mengumpulkan pemberian umat kepada mereka.
Tidak saja orang tua atau warga dewasa. Anak-anak kecil juga terlihat. Mereka juga diajar untuk memberikan --semacam sedekah- sesuatu kepada para biksu. Mereka ini juga sama, wajib melepas alas kaki.
Para biksu ini datang dengan membawa periuk dan membungkuk, supaya umat dapat memasukkan pemberiannya itu pada wadah yang dibawa.
Bagaimana jika wadah itu sudah penuh? Era kekinian, ada 'asisten' yang membantunya.
Sejarah dan Istilah Pindapatta
Bagi non-umat, ada petugas lain yang memberikan semacam brosur mengenai apa itu tradisi Pindapatta. Jadi, selain ada kegiatan yang terlihat, warga umum yang ingin mengetahui "apa dan bagaimana"-nya, bisa membaca dari selebaran yang dibagikan.
Menarik, karena dengan begitu, warga atau masyarakat luas dapat pula belajar mengenai tradisi dari kepercayaan umat beragama lainnya.
Istilah Pindapatta sendiri berasal dari 2 kata bahasa Pali, "pinda" dan "patta/patra". Pinda berarti gumpalan atau bongkahan makanan. Patta berarti mangkuk makan. Pindapatta dapat diartikan pengumpulan makanan dengan menggunakan mangkuk.
Pada masa lalu, mangkuk yang digunakan terbuat dari buah labu yang disayat bagian atasnya, lalau dikerok isinya. Sekarang, mangkuk yang digunakan para biksu berbahan keramik atau logam.
Tradisi Pindapatta ini, konon sudah ada sejak zaman kehidupan Sang Buddha Sidharta Gautama. Gunanya adalah untuk melatih para biksu dan biksuni supaya tetap rendah hati, dan juga memberikan kesempatan kepada umat Buddha untuk melakukan kebaikan.
Sebelum prosesi ini digelar, acara diawali dengan doa bersama. Baru kemudian berjalan bersama secara beriringan, menuju lokasi yang ditetapkan sebelumnya.
Konsep Pindapatta tidak sama dengan mengemis. Para biksu dan biksuni tidak boleh meminta-minta kepada umat. Umat Buddha-lah yang harus memberikan kepada para biksu dan biksuni dengan sadar dan ikhlas.
Demikian juga bagi umat, dalam memberikan sesuatu ini juga perlu persiapan. Jadi tidak asal datang begitu saja. Tidak harus pemberian itu berupa makanan siap konsumsi, tapi aneka kebutuhan lain sebagai kebutuhan hidup. Misalnya makanan kering, minuman, obat-obatan atau uang.
Dari semua pemberian umat yang terkumpul itu, sebagiannya lagi akan disumbangkan ke tempat yang membutuhkan seperti panti asuhan atau warga kurang mampu.
Belajar Kebaikan UniversalÂ
Nilai-nilai kebaikan, tentu diajarkan oleh setiap keyakinan apapun. Cinta kasih pada sesama, pasti ada dalam ajaran agama. Praktik nyatanya, tentu penghayatan itu bisa berbeda dalam bentuknya. Namun, yang jelas, ada prisip yang sama, yang berlaku secara universal.
Satu kalimat yang saya suka adalah ketika membaca stiker yang tertera di salah satu mobil. Bunyinya adalah: Â "Sabbe Satt Bhavantu Sukhitatt". Kalimat ini punya makna "Semoga semua makhluk hidup berbahagia."
Kebahagiaan yang tidak hanya ditujukan kepada manusia, tapi juga kepada hewan dan tumbuhan. Makhluk yang sama-sama mendiami bumi. Makhluk hidup yang saling berelasi dan membutuhkan.
Ya, satu lagi pelajaran buat bangsa yang juga beragam suku bangsa, bahasa, adat-istiadat dan kepercayaan. Bangsa besar yang juga perlu terus belajar saling memahami perbedaan, dan belajar nilai kebaikan. Sehingga, setiap kita bisa merasa "berbahagia" tinggal bersama di rumah bhinneka.
Selamat merayakan Trisuci Waisak 2565 BE (2021) buat saudara/i umat Budha yang berbahagia....
26 Mei 2021
Hendra Setiawan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI